Makalah Islam Dan Kemasyarakatan Dalam Ruang Lingkup Masjid Dan Konteks Pemasyarakatan



MAKALAH

ISLAM DAN KEMASYARAKATAN DALAM RUANG LINGKUP MASJID DAN KONTEKS PEMASYARAKATAN


DISUSUN OLEH :

                   

MATA KULIAH :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DOSEN PEMBIMBING :

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BATURAJA
2014  

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.          
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Penulis  menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang penulis harapkan. Untuk itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

                                                                              November 2014
                                                                                      Penulis
 DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C.     Tujuan ........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Masyarakat .............................................................................. 3
B.     Masyarakat dan Negara ............................................................................. 4
C.     Kemasyarakatan dalam Islam .................................................................... 9
D.    Majelis Islam .............................................................................................. 9
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 14

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai teori atau konsep, civil society sebenarnya sudah lama dikenal sejak masa Aristoteles pada zaman Yunani Kuno, Cicero, pada zaman Roma Kuno, pada abad pertengahan, masa pencerahan dan masa modern. Dengan istilah yang berbeda-beda, civil society mengalami evolusi pengertian yang berubah dari masa ke masa. Di zaman pencerahan dan modern, isttilah tersebut dibahas oleh para filsuf dan tokoh-tokoh ilmu-ilmu sosial seperti Locke, Hobbes, Ferguson, Rousseau, Hegel, Tocquiville, Gramsci, Hebermas.Dahrendorf, Gellner dan di Indonesia dibahas oleh Arief Budiman, M.Amien Rais, Fransz, Magnis Suseso, Ryaas Rasyid, AS. Hikam, Mansour Fakih.
Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun kota budaya bukan sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat lokal, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan .
Umat Islam telah memperkenalkan konsep masyarakat peradaban, masyarakat madani, atau civil society, adalah Nabi Muhammad, Rasulullah S.A.W. sendiri yang memberikan teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban tersebut. Setelah perjuangan di kota Makkah tidak menunjukkan hasil yang berarti, Allah telah menunjuk sebuah kota kecil, yang selanjutnya kita kenal dengan Madinah, untuk dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat peradaban yang dicita-citakan. Di kota itu Nabi meletakan dasar-dasar masyarakat madani yakni kebebasan. Untuk meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik,  Nabi diizinkan untuk memperkuat diri dengan membangun kekuatan bersenjata untuk melawan musuh peradaban. Hasil dari proses itu dalam sepuluh tahun, beliau berhasil membangun sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan dilandasi ketaqwaan dan ketaatan kepada ajaran Islam. Salah satu yang utama dalam tatanan masyarakat ini adalah pada penekanan pola komunikasi yang menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan pada tataran vertikal. Nurcholis Madjid (1999:167-168) menyebut dengan semangat rabbaniyah atau ribbiyah sebagai landasan vertikal, sedangkan semangat insyanyah atau basyariah yang melandasi komunikasi horizontal.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian masyarakat?
2.      Bagaimana masyarakat dan negara?
3.      Bagaiamana kemasyarakatan dalam pandangan Islam?
4.      Bagaimana ruang lingkup masyarakat dalam majelis Islam?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian masyarakat.
2.      Untuk mengetahui masyarakat dan negara.
3.      Untuk mengetahui kemasyarakatan dalam pandangan Islam.
4.      Untuk mengetahui ruang lingkup masyarakat dalam majelis Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup dalam wilayah yang sama dan memiliki tujuan yang sama. Unsur-unsur pembentukan masyarakat :
1.      Bahasa
Bahasa memungkinkan manusia membentuk hubungan rohaniah. Secara jasmaniyah warga masyarakat terpisah antara satu dengan lainnya tetapi secara rohaniah mereka berhubungan. Tanpa hubungan rohaniah masyarakat tidak terbentuk. Dengan bahasa si A menyampaikan apa yang ada dalam dirinya kepada si B. Tanpa saluran itu si B tidak akan tahu apa-apa yang dipikirkan ,dirasakan,diinginkan,dan dialami oleh si A. Dengan adanya bahasa terjadilah interaksi antara seseorang dengan orang lain atau sekelompok dengan kelompok lainnya. Dengan interaksi timbullah kerja sama dan kehidupan bersama antara kelompok pribadi itu, sehingga terbentuklah masyarakat.
2.      Api
Api memberi manusia energi. Dengan api ia dapat memasak melunakkan bahan makanan yang mentah dan ia memakan yang sudah dimasak. Api memberikan energi teknik. Tenaga manusia yang sangat terbatas menjadi tanpa batas oleh energi kerja itu. Apabila tidak ada tenaga api yang dalam bentuk modernnya menjadi uap, listrik, dan atom apa yang akan terjadi?Kita akan hidup seperti nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu.
3.      Agama
Manusia bersahaja dahulu ketika pada awal pembentukan pengetahuan ,menghadapi alam dan peristiwa-peristiwa alam dalam kehidupan dengan penuh tanda tanya. Mana yang tak terjawaboleh pengetahuan mereka yang dangkal mereka pulangkan pada hal-hal yang gaib. Apa yang tak terjawab oleh pengetahuan mereka yang dangkal,dipulangkan pada agama,antara lain tentang hidup mati, keraguan dan ketakutan dalam mengahadapi berbagai peristiwa, harapan setelah meniggalkan dunia ini. Tanpa agama manusia terdampar pada kehidupan jasmaniah saja. Tanpa kehidupan rohaniah lenyap tempat tegak etika dan moral serta kepercayaan kehidupan di seberang kubur.

B.     Masyarakat dan Negara
Ibnu khaldun mengemukakan bahwa penyebab masyarakat berkembang adalah karena perbedaan tata pemerintahan dan perubahan keluarga yang memerintah, karena pencampuran kebiasaan tiap-tiap keluarga dengan kebiasaan keluarga yang terdahulu, kecendrungan alami yang terdapat pada orang-orang yang diperintah untuk memeruntah datang membawa kebiasaan dan tradisi yang berbeda-beda dengan kebiasaan keluarga terdahulunya serta tradisinya:” Selama bangsa dan generasi silih berganti raja dan sultan, perbedaan pada kebiasaan-kebiasaan dan hal ihwalnya akan tetap terjadi (Al Muqaddamah, al Bayan:253)2. Dari kutipan pernyataan tersebut sudah jelaslah bahwa bagi Ibnu Khaldun, adanya masyarakat, negara, dan peradaban tidak bergantung pada adanya agama.
Hal lain jika pemikir besar Yunani Kuno seperi Plato dan Aristoteles tidak membeadakan antara masyarakat dengan negara. Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang bebeda, mengenai masyarakat lahir dengan tabiat serta fitrah kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat, manusia itu memerlukan masyarakat, sebab mereka memerlukan kerjasama antarsesama untuk dapat hidup, baik ini dalam rangka memperoleh makanan sehari-hari maupun untuk mempertahankan diri.
Ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang tumbuh dan tenggelam lepas dari soal apakah agama dalam pengertian nubuwwah datang atau tidak, karena ia mengakui bahwa banyak peradaban dan Negara tumbuh dan tenggelam tanpa didatangi oleh ajaran-ajaran nabi. Bagi Khaldun, adanya masyarakat, Negara dan peradaban tidak bergantung pada adanya agama. Meski di lain pihak Khaldun adalah seorang yang ditandai oleh ajaran-ajaran agama Islam, terutama fikih dan tafsir. Ini mempengaruhi sikapnya terhadap tuhan, manusia dan masyarakat.
Ibnu Khaldun telah membedakan antara masyarakat dan negara. Menurut pemikiran Yunani Kuno bahawa Negara dan masyarakat adalah identik. Adapun Khaldun, berpendapat bahwa berhubung dengan tabiat dan fitrah kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat, artinya bahwa manusia itu memerlukan kerjasama antara sesamanya untuk dapat hidup; baik untuk memperoleh makanan maupun mempertahankan dirinnya sendiri. Sungguhpun ada perbedaan antara Negara dan masyarakat, namun antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Negara dihubungkan dengan pemegang kekuasaan yang dalam zamannnya disebut daulah merupakan bentuk masyarakat. Sebagaimana bentuk suatu benda tidak dapat dipisahkan dari isi, maka demikian pulalah keadaannya dengan Negara dan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang menetap, yang telah membentuk peradaban, bukan yang masih berpindah-pindah mengembara seperti kehidupan nomaden di padang pasir.
Ibnu Khaldun seorang kritikus dan pakar sosiologi, berpendapat bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat yang telah banyak dikemukakan oleh para ahli sosiologi, bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon politicon) atau makhluk sosial. Manusia akan merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya jika ia hidup sendirian tanpa adanya institusi yang mengorganisasikannya.
Kebutuhan utama manusia adalah makanan dan keamanan. Dua kebutuhan tersebut tidak dapat tercapai seorang diri, maka secara otomatis manusia memerlukan kerjasama antar sesamanya. Hal inilah yang menyebabkan manusia membutuhkan organisasi kemasyarakatan. Setelah terbentuknya organisasi kemsyarakatan dan peradaban, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pelaksana keadilan di antara mereka. Manusia selain membtuhkan rasa keadilan juga memiliki rasa agresif dan watak tidak adil, maka keberadaan seseorang yang mampu mengayomi dan melindungi hak-haknya dari serangan dan kelaliman sesamanya sangat dibutuhkan.
Fenomena riil inilah yang akhirnya mengilhami Ibnu Khaldun untuk memikirkan tentang asal mula negara dan menjadi embrio konsep negara menurut Ibnu Khladun. Karena negara dalam skala makro menempati posisi organisasi kemasyarakatan yang dapat memenuhi kebutuhan kodrati manusia. Gagasan ini juga serupa dengan yang telah diungkapkan terlebih dahulu oleh Plato.
Menurut Khaldun, kehidupan padang pasir itu belumlah disebut Negara. Negara mengandung peradaban dan ini hanya mungkin tercapai dengan kehidupan menetap. Negara pun harus mengandung kekuasaan, kehidupan menetap mendorong kemauan untuk berkuasa dan kekuasaan inilah dasar pembedaan Negara dan masyarakat. Dan untuk tercapainya suatu tujuan dari relasi antara masyarakat dan negara akan dibutuhkan suatu Ashabiyah untuk menyatukan interest setiap masyarakat.
Dalam bernegara, diperlukan rasa Ashabiyah, rasa golongan untuk mengikat warga negara, rakyat negara itu atau golongan pendukung negara bersangkutan, bila diperlukan untuk mempertahankan negara dibawah suatu pemimpin, penguasa atau kepala negara. Menurut Khaldun, suatu suku mungkin dapat membentuk dan memelihara suatu Negara apabila suku itu memiliki sejumlah karakteristik social-politik tertentu, yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabah. karakteristik ini justru berada hanya dalam kerangka kebudayaan desa. Oleh karena itu penguasaan atas kekuasaan dan pendirian Negara, sehingga munculnya kebudayaan kota akan membuat sirnanya ashabiyah yang mengakibatkan melemahnya Negara. Dalam soal Ashabiyah ini menunjukkan, bagi pendapat Ibnu Khaldun negara itu tidak terikat dengan adanya nubuwwah, hal yang penting dalam soal penguasa atau kepala negara.
Menurut Ibnu Khaldun, solidaritas kelompok (Ashabiyyah) sangatlah diperlukan karena dapat melahirkan semangat saling mendukung dan saling membantu serta rasa ikut malu dan tidak rela jika di antara mereka diperlakukan tidak adil atau hendak dihancurkan. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun untuk menguraikan teori ‘ashabiyyah ini, antara lain:
a.       Secara alamiah solidaritas kelompok itu terdapat dalam watak manusia.
b.      Adanya solidaritas kelompok yang kuat merupakan suatu keharusan dalam membangun suatu negara.
c.       Seorang kepala negara, agar dapat secara efektif mengendalikan ketertiban negara dan melindunginya, harus mampu menumbuhkan solidaritas kelompok.
Solidaritas kelompok dapat melahirkan pemimpin yang unggul dan superior. Negara menurut Khaldun adalah suatu makhluk hidup yang lahir, mekar menjadi tua dan akhirnya hancur. Negara mempunyai umur seperti makhluk hidup lainnya. Khaldun berpendapat bahwa umur suatu Negara adalah tiga generasi, yakni sekitar 120 tahun. Satu genarasi dihitung umur yang biasa bagi seseorang yaitu 40 tahun. ketiga generasi tersebut ialah:
a.       Genersi pertama, hidup delam keadaan primitive yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota, masih tinggal di pedesaan dan padang pasir.
b.      Generasi kedua, berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan Negara, sehingga generasi ini berlih dari kehidupan primitive yang keras ke kehidupan kota yang penuh dengan kemewahan.
c.       Generasi ketiga, Negara mengalami kehancuran, sebab generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut dan kehilangan makna kehormatan, keperwiraan dan keberanian.
Pemikiran Ibnu Khaldun dan Sosial Politik Indonesia
Gagasan Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa asal mula suatu negara ditimbulkan karena kodrat manusia yang tidak hanya sebagai makhluk individu tetapi juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dan yang memiliki kepentingan dan kebutuhan masing-masing. Untuk memenuhi kebutuhan itu, manusia membutuhkan kerjasama yang terakomodasi dalam bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat aturan yang disepakati. Dalam konteks ini, maka negara sangat berperan. Di Indonesia, negara menjalankan fungsinya sebagai organisasi yang mengatur semua tata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman.
Di dalam menjalankan fungsinya, negara harus dipimpin oleh seorang kepala negara. Konsep kepala negara yang dicitakan oleh Ibnu Khaldun haruslah seorang yang berilmu, adil, mampu, sehat, dan dari keturunan Quraiys. Jika konsep ini diterapkan di Indonesia maka sangatlah tepat dan relevan, kendati harus dilakukan reaktualisasi dan rekontekstualisasi dalam konteks ke-Indonesia-an. Kepala negara yang akan memimpin bangsa Indonesia haruslah orang yang memiliki integritas keilmuan yang tinggi. Mustahil seorang dapat menjalankan fungsi kepemimpinannya secara optimal jika tidak mempunyai perangkat keilmuan. Kontekstualisasi dari syarat ‘dari keturunan Quraiys’ adalah bahwa kepala negara atau pemerintah harus mempunyai kewibawaan dan mendapatkan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat. Suatu pemerintahan yang tidak legitimate akan mendapatkan kendala dalam menjalankan tugasnya.
Bagi Ibnu Khaldun, idealnya suatu negara berdasarkan nilai Islam secara formal untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, namun ia juga tidak menutup realitas beberapa negara yang dapat berkembang secara progresif, mandiri, dan mencapai kesejahteraan tanpa harus berasaskan Islam secara formal. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai negara yang plural, multikultural, dan multireligius, tidak mutlak harus berdasarkan Islam tetapi nilai-nilai Islam yang menjadi ruh (soul) dan jiwa (spirit) dari peraturan dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia.
Dalam konteks penerapan syariat Islam di Indonesia misalnya, maka sangat sulit diterapkan, karena kondisi geografis dan kultur masyarakat Indonesai jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Arab ketika ayat al-Qur’an diturunkan. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk peraturan dan sistem ketatanegaraan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam secara substantif bukan menjadi hal yang signifikan.
Bagi Ibnu Khaldun sendiri tidak terlalu mempersoalkan apakah negara itu harus mengikuti sistem pemerintahan Islam seperti pada masa Rasulullah dan para sahabatnya. Yang paling esensi baginya adalah bahwa tujuan diadakannya negara untuk melindungi rakyat dan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran tercapai, dengan tetap mengapresiasi dan mengakomodasi nilai-nilai universal Islam yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya. Itu semua memiliki tujuan agar ajaran Islam yang komprehensif, universal dan berjiwa rahmatan li al-‘alamin tidak mengalami kejumudan (stagnancy) jika didialogkan dengan kondisi nyata sosio-kultur masyarakat pada saat ini.

C.    Kemasyarakatan dalam Pandangan Islam
Masyarakat Islam adalah kelompok manusia dimana hidup terjaring kebudayaan Islam, yang diamalkan oleh kelompok itu sebagai kebudayaannya. Dalam artian kelompok itu bekerja sama dan hidup bersama berasaskan prinsip Al Qur’an dan Hadist dalam kehidupan.
Masyarakat dalam pandangan Islam merupakan alat atau sarana untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bersama. Karena itulah masyarakat harus menjadi dasar kerangka kehidupan duniawi bagi kesatuan dan kerja sama umat menuju adanya suatu pertumbuhan manusia yang mewujudkan persamaan dan keadilan.
D.    Majelis Islam
1.      Pesantren
Di Indonesia istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok pesantren”, yaitu suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan terebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di indonesia. Lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaanislam masuk ke Indonesia. Pesantren merupakan sebuah kompleks dengan lokasi umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu terdiri dari beberapa bangunan, di antarnya rumah kediaman kyai, sebuah masjid, tempat pengajaran diberikan diasrama tempat tinggal para santri. Ada lima elemen atau unsur penting dalam pesantren, yaitu kyai, santri, pondok dan masjid, dan kitab-kitab islam klasik.
Menurut para ahli pesantren baru dapat disebut pesantren bila memenuhilima syarat, yaitu: ada kiai, ada pondok, ada masjid, ada santri, ada pelajaran membaca kitab kuning.
Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi Arab, hukuk Islam, sistem yurisprudensi islam, Hadis, tafsir Al-Quran, teologi islam, tasawuf, tarikh, dan retorika. Dan literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah “kitab kuning”. Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang terdapat, yaitu didalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal.
2.      Madrasah
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan. Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan pada umumnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.
 Istilah madrasah pada masa klasik berbeda pada masa sekarang. Pada masa klasik madrasah disamakan dengan Universitas, namun pada masa sekarang adalah fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang kehadirannya pada awal abad ke-20. Lembaga pendidikan madrasah, sejak tumbuhnya merupakan lembaga pendidikan yang mandiri, tanpa bantuan atau bimbingan dari pemerintah kolonial belanda. Setelah Indonesia merdeka barulah madrasah dan pesantren mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Dalam hal ini pembinaan dan tuntunan, wewenang diserahkan ke Departemen Agama.
 Kementrian Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor I tahun 1952. Menurut ketetapan ini yang di namakan madrasah ialah tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam islam menjadi pokok pelajaran.
3.      Majelis Taklim
Menurut akar katanya, istilah majelis taklim terdiri dari dua kata: majelis yang berarti tempat dan taklim berarti pengajaran. Majelis taklim adalah suatu lembaga pendidikan diniyah non formal yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia bagi jamaahnya.
Majelis Taklim adalah lembaga pendidikan islam non formal merupakan salah satu wadah tempat berlangsungnya proses penyampaian dan peralihan ajaran-ajaran Islam. Tujuan majelis taklim adalah untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah, antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah Swt. Dan berfungsi sebagai taman rekreasi rohaniah, karena penyelenggaraannya santai, sebagai ajang berlangsungnya silaturrahmi missal yang dapat menghidup suburkan dakwah dan ukhuwah Islamiyah.
Dalam prakteknya majelis taklim merupakan tempat pengajaran atau pendidikan agama Islam yang paling fleksibel dan tidak terkait dengan waktu. Majlis taklim bersifat terbuka terhadap segala usia, lapisan atau strata sosial, dan jenis klamin. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat, bisa pagi, siang, sore, atau malam. Tempat penyelenggaraanya pun bisa dilakukan dirumah, masjid, gedung, dan halaman.
Eksistensi majelis taklim beserta perangkatnya sebagai lembaga pendidikan dan dakwah serta lembaga kemasyarakatan telah tumbuh dan berkembang bersama warga masyarakatnya sejak berabad-abad. Oleh karena itu secara kultural lembaga ini bisa diterima, tetapi juga ikut serta membentuk dan memberikan corak serta nilai kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa tumbuh dab berkembang. Figur kyai, jama’ah serta seluruh perangkat fisik yang menandai sebuah majelis taklim senantiasa dikelilingi oleh sebuah kultur yang bersifat keagamaan.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pada hakikatnya manusia adalah sama. Hanya ketaqwaanlah yang membedakan derajat mereka di sisi Allah. Allah menciptakan manusia dengan beragam jenis perbedaan. Agar manusia bisa mengenal dan menerima perbedaan tersebut kemudian saling bersaudara. Karena sesungguhnya seluruh umat Islam adalah saudara. Islam mengajarkan Ukhuwah Islamiah dan membenci perceraian. Tanpa ukhuwah atau rasa kekeluargaan tidak akan terwujud persatuan dan kesatuan. Salah satu keistimewaan umat Islam adalah rasa solidaritas dan kebersamaan yang mereka miliki sehingga Islam menjadi agama yang kuat berkat kesatuan yang terbentuk dikalangan umatnya.
Kita patut bersyukur,meskipun ada 5 agama yang diakui di Indonesia, tetap damai dan tidak pernah terjadi war of religions seperti yang pernah terjadi di Eropa pada abad ke 16 sampai awal abad ke 17 M.
Begitu juga dalam bermasyarakat. Apabila dalam suatu masyarakat sudah mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, maka akan tercipta suasana yang rukun dan harmonis. Rasa kekeluargaan dan kebersamaan yang tertanam dalam diri mereka akan menghasilkan sifat gotong royong dalam segala aktifitas bersama. Hal ini sesuai dengan arti agama Islam sebagai agama yang sejahtera, aman sentausa, damai dan selamat.
DAFTAR PUSTAKA

Mujib, Abdul. .Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Penada Media. 2006
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. ke-9. Jakarta: Kalam Mulia. 2011
http://ningsihsriutami.wordpress.com/konteks-penerapan-syariat-islam-di-indonesia/

Post a Comment

0 Comments