Resume Pengantar Pendidikan Pendidikan Sepanjang Hayat



RESUME
 PENGANTAR PENDIDIKAN
PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT 

DISUSUN OLEH :


DOSEN PEMBIMBING:


PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
2014

PENGANTAR PENDIDIKAN
PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT

A.    Wujud Sifat Hakekat Manusia
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Adapun wujud sifat hakikat manusia adalah sebagai berikut:

1.      Kemampuan Menyadari Diri
Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri.
Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikarunia kemampuan untuk membuat jarak (distansi) diri akunya sendiri. Aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subjek kemudian memandang dirinya sebagai objek. Untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Inilah manifestasi dari puncak karakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dari hewan. Oleh karena itu pendidikan memiliki keharusan untuk menumbuhkembangkan kemampuan peserta didik. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri yang oleh Langeveld disebut self forming perlu mendapat perhatian (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 4-5).
2.      Kemampuan Bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 5-6).

3.      Kata Hati (Conscience of Man)
Kata Hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian yang mengikuti perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 6).
4.      Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri. Moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi (luhur) (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 7).
5.      Tanggung Jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Hal ini mengimplikasikan bahwa pendidikan moral sangat penting bagi peserta didik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 8).
6.      Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan  tuntutan kodrat manusia” yang berarti ada ikatan.
Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 9).

7.      Kewajiban dan Hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban. Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin.
8.      Kemampuan Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan menusia. Kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu, merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi dari kesemuanya itu menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia” (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 12-13).
Manusia adalah makhluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungannya, dirinya sendiri, dan Tuhan. Beerling mengemukakan sinalemen Heinemann bahwa pada abad 20 manusia mengalami krisis total. Disebut demikian karena yang dilanda krisis bukan hanya segi-segi tertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis energi, dan sebagainya, melainkan yang krisis adalah manusianya sendiri (Beerling, 1951: 43).
Dalam hubungan ini, pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk menghantar peserta didik mencapai kebahagiaan, yaitu dengan jalan membantu mereka meningkatkan kualitas hubungannya dengan dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 15).
B.     Aspek-Aspek Hakekat Manusia
1.      Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Terdapat dua pandangan filsafat yang berbeda tentang asal-usul alam semesta,  yaitu (1) Evolusionisme dan (2) kreasionisme. Menurut Evolusionisme, alam semesta menjadi ada bukan karena diciptakan oleh sang pencipta atau prima causa, melainkan ada dengan sendirinya, alam semesta berkembang dari alam itu sendiri sebagai hasil evolusi. Sebaliknya, kreasionisme menyatakan bahwa adanya alam semesta adalah sebagai hasil ciptaan suatu creative cause atau personality yang kita sebut sebagai Tuhan YME (J. Donal Butler, 1968). Bertolak dari pandangan tersebut, secara umum ada dua pandangan yang berbeda pula tentang asal-usul manusia. Menurut evolusionisme beradanya manusia di alam semesta adalah sebagai hasil evolusi. Hal ini, antara lain dianut oleh Herbert Spencer (S.E. Frost Jr., 1957) dan Konosuke Matsushita (1997). Sebaliknya kreasionisme menyatakan bahwa beradanya manusia di alam semesta sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan. Filsul yang berpandangan demikian, antara lain Thomas Aquinas (S.E.Frost Jr., 1957) dan Al-Ghozali (Ali Issa Othman, 1987).
Oleh karena manusia berkedudukan sebagai makhluk Tuhan YME maka dalam pengalaman hidupnya terlihat bahkan dapat kita alami sendiri adanya fenomena kemakhlukan (M.I. Soelaeman, 1998). Fenomena kemakhlukan ini, antara lain berupa pengakuan atas kenyataan adanya perbedaan kodrat dan martabat manusia daripada Tuhannya. Manusia bersifat fana, sedangkan Tuhan bersifat abadi, manusia merasakan kasih sayang Tuhannya, namun ia pun tahu begitu pedih siksanya. Semua itu melahirkan rasa cemas dan takut pada diri manusia terhadap Tuhannya. Tetapi dibalik itu diiringi pula dengan rasa kagum, rasa hormat, dan rasa segan karena Tuhannya begitu luhur dan suci. Semua itu mengunggah kesediaan manusia untuk bersujud dan berserah diri kepada penciptanya. Selain itu menyadari akan  maha kasih sayangnya sang pencipta maka kepada-Nya lah manusia berharap dan berdoa. Adapun hal tersebut dapat menimbulkan kejelasan akan tujuan hidupnya, menimbulkan sifat positif  dan familiaritas akan masa depannya, menimbulkan rasa dekat dengan penciptanya (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.6-1.7).
2.      Manusia sebagai Kesatuan Badan Roh
Terdapat empat paham berkenaan dengan struktur metafisik manusia, empat paham tersebut sebagai berikut:
  a.         Materialisme
Gagasan para penganut materialisme, seperti Julien De La Mattie dan Ludwig Fauerbach bertolak dari realita sebagai mana dapat diketahui melalui pengalaman diri atau observasi. Karena itu, alam semesta atau reliatas ini tiada lain adalah serba materi, serba zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga manusia tidak berbeda dari alam itu sendiri. Yang esensial dari manusia adalah badannya, bukan jiwa atau rohnya. Manusia adalah apa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang, urat syaraf). Segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia dipandang hanya sebagai resonansi saja dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968).
  b.         Idealisme
Bertolak belakang pandangan di atas, menurut penganut edialisme bahwa esensi dari manusia adalah jiwanya atau spiritnya atau rohaninya. Hal ini sebagai mana dianut oleh Plato. Sekalipun Plato tidak begitu saja mengingkari aspek badan, namun menurut dia, jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Dalam hubungan dengan badan, jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang menggerakan semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai spiritualisme (J.D. Butler, 1968).
  c.         Dualisme
C.A.Van Peursen (1982) mengemukakan pihak lain secara tegas bersifat dualistik yakni pandangan dari Rene Descartes. Menurut Descartes esensi diri manusia terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa oleh karena itu manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa) maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957) namun demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu paralel dengan peristiwa badaniah atau sebaliknya. Contohnya jika jiwa sedih maka secara Paralel badan pun tampak murung atau menangis. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai paralelisme (J.D. Butler, 1968).
  d.         Kesatuan Badani-Rohani
 Berbeda dengan ketiga paham diatas (Materialisme, Idealisme, dan Dualisme), E.F. Schumacher (1980) memandang manusia sebagai kesatuan dari hal yang bersifat badani dan rohani yang pada hakikatnya berbeda dari benda material, tumbuhan, hewan maupun Tuhan. Sejalan dengan pandangan Schumacher, Abdurahman Sholih Abdullah (1991) menegaskan bahwa: ’’meski manusia merupakan pendahuluan dua unsur yang berbeda, roh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang integral“. Berdasarkan penegasan ini, jelaslah bahwa manusia itu adalah kesatuan badani-rohani. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi, memiliki historisitas dan dinamika (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.8-1.9).

3.      Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagaimana anda alami bahwa manusia menyadari keberadaan dirinya sendiri. Manusia akan dirinya sendiri merupakan perwujudan individualitas manusia. Sebagai individu, manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan manusia yang lainnya sehingga bersifat unik,  dan merupakan subjek yang otonom. Sebagai individu, manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh.
Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik. Perbedaan ini baik berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan berpikirnya, minat dan bakatnya. Dunianya, cita-citanya. Pernakah anda menemukan anak kembar siam? Manusia kembar siam sekali pun tak pernah memiliki kesamaan dalam keseluruhannya (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.9).
4.      Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri. Manusia hidup dalam keterpautan dengan sesamanya. Dalam hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat) setiap individu menempati kedudukan (status) tertentu. Di samping itu setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri, terdapat pula kesadaran sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesamanya lah manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987) (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.10).
5.      Manusia sebagai Makhluk Berbudaya
Manusia memiliki inisiatif dan kretif dalam menciptkan kebudayaan hidup berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bukan sesuatu yang ada di luar manusia, bahkan hakikatnya meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Kebudayan bertautan dengan kehidupan manusia sepenuhnya, kebudayaan menyangkut sesuatu yang nampak dalam bidang eksistensi setiap manusia. Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena dan bersama kebudayaanya (C.A. Van Peursen, 1957). Sejalan dengan ini Ernst Cassier menegaskan bahwa “Manusia tidak menjadi manusia kerena sebuah faktor didalam dirinya, seperti misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaanya, kebudayaanya. Demikianlah kebudayaan termasuk hakekat manusia” (C.A.Van Pursen, 1988) (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.11).
6.      Manusia sebagai Makhluk Susila
Manusia sadar akan diri dan lingkunganya, mempunyai potensi dan kemampuan untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya potensi untuk berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia memiliki aspek kesusilaan. Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilan karena pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Sebagai makhluk yang otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada suatu alterntif tindakan yang harus dipilihnya. Adapun kebebasan berbuat ini juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatanya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatannya (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.12).
7.      Manusia sebagai Makhluk Beragama
Aspek keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk  pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Hal ini terdapat pada manusia manapun, baik dalam rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang) maupun dalam rentang geografis dimana manusia berada. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama.
Manusia hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mulak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-masing individu. Hal ini baik berkenaan  dengan sistem keyakinanya, sistem peribadatan maupun berkenaan dengan pelaksanaan tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam. Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dan berbagai aspek kehidupanya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.13).



C.    Hubungan Hakekat Manusia dengan Pendidikan
1.      Asas-Asas Keharusan atau Perlunya Pendidikan bagi Manusia
a.       Manusia sebagai Makhluk yang Belum Selesai
Manusia tidak mampu menciptakan dirinya sendiri, beradanya manusia di dunia bukan pula sebagai hasil evolusi tanpa Pencipta sebagaimana diyakini penganut Evolusionisme, melainkan sebagai ciptaan Tuhan. Manusia berbeda dengan benda. Perbedaan itu antara lain dalam hal cara beradanya. Menurut Martin Hedegger, benda-benda di sebut sebagai “yang berada” (Seinde), dan bahwa benda-benda itu hanya “vorhanden”, artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu, benda-benda itu baru berarti. Sedangkan manusia, ia berinteraksi di dunia di mana ia secara aktif “mengadakan” diriya, tetapi bukan dalam arti menciptakan dirinya sebagai mana Tuhan menciptakan manusia, melainkan manusia harus bertanggung jawab atas keberadaan dirinya, ia harus bertanggung jawab menjadi apa atau menjadi siapa nantinya.
Sebagai kesatuan badan-rohani manusia memiliki historisaitas dan hidup bertujuan. Karena itu, eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya (misal ia berada karena diciptakan Tuhan, lahir ke dunia dalam keadaan tidak berdaya sehingga memerlukan bantuan orang tuanya atau orang lain, dan seterusnya), dan sekaligus menjangkau masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Manusia berada dalam perjalanan hidup, perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah manusia, tertapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan diri sebagai manusia (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.18-1.19).
b.      Tugas dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia
Manusia hidup di dunia ini dalam keadaan belum tertentukan menjadi apa atau menjadi siapa nantinya. Sebagai individu atau pribadi, manusia bersifat otonom, ia bebas menentukan pilihan mau menjadi apa atau menjadi siapa di masa depannya. Andaikan seseorang menentukan pilihan dan berupaya untuk tidak menjadi manusia atau tidak mewujudkan aspek-aspek hakikatnya sebagai manusia, maka berarti yang bersangkutan menurunkan martabat kemanusiannya.
Sebagai pribadi setiap orang memang otonom, ia bebas menentukan pilihannya, tetapi bahwa bebas itu selalu berarti terikat pada nilai-nilai tertentu yang menjadi pilihannya dan dengan kebebasannya itulah seseorang pribadi wajib bertanggung jawab serta akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, tiada makna lain bahwa berada sebagai manusia adalah mengemban tugas dan mempunyai tujuan untuk menjadi manusia, atau bertugas mewujudkan berbagai aspek hakikat manusia. Karl Jaspers menyatakannya dalam kalimat “to be a man is to become a man”, ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973). Implikasinya jika seorang tidak selalu berupaya untuk menjadi manusia maka ia tidaklah berada sebagai manusia (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.19-1.20).
c.       Perkembangan Manusia Bersifat Terbuka
Dalam kenyataan hidupnya, perkembangan manusia bersifat terbuka atau mengandung berbagai kemungkinan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya atau mampu menjadi manusia, sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang sesuai atau bahkan tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaanya. Menurut Gehlen seorang pemikir Jerman mengemukakan kesimpulan yang sama dengan Teori Retardasi dari Bolk, yaitu bahwa “Pada saat kelahirannya taraf perkembangan manusia tidak lebih maju dari hewan, tetapi kurang maju daripada hewan yang paling dekat dengan dia (primat) sekalipun. Manusia lahir prematur dan tidak mengenal spesialisai seperi hewan. Ia adalah makhluk yang ditandai kekurangan” (C.A. Van Peursen, 1982). Nietzsche juga mendukung kesimpulan ini yang menyebut manusia sebagai das nicht festgestellte Tier, artinya sebagai hewan yang belum ditetapkan.
Pada dasarnya kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki, kemampuan berperilaku lainnya yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya, kemampuan untuk hidup sesuai individualitas, sosialitasnya, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar, melalu bantuan berupa pengajaran, bimbingan, latihan, dan kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan.
Dari hal inilah dapat dipahami bahwa manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, adapun untuk menjadi manusia ia memerlukan pendidikan atau harus dididik. “Man can become man through education only”, demikian pernyataan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M. J. Langeveld. Bahkan sehubungan dengan kodrat manusia seperti dikemukakan di atas, Langeveld memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan Animal Educandum (M.J. Langeveld, 1980) (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.20-1.22).
2.      Asas-Asas Kemungkinan Pendidikan
Atas dasar studi fenomenologis yang dilakukannya, M.J. Langeveld (1980) menyatakan bahwa “manusia itu sebagai animal educandum, dan ia memang adalah animal educabile”. Jika kita mengacu kepada uraian terdahulu tentang sosok manusia dalam berbagai dimensinya, ada 5 asas antropologis yang mendasari kesimpulan bahwa manusia mungkin dididik yaitu:
a.       Asas Potensialitas
Berbagai potensi yang ada pada manusia yang memungkinkan ia akan mampu menjadi manusia, tetapi untuk itu memerlukan suatu sebab, yaitu pendidikan. Contohnya dalam aspek kesusilaan, manusia diharapkan mampu berperilaku sesuai dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang diakui. Ini adalah salah satu tujuan pendidikan atau sosok manusia ideal berkenaan dengan dimensi moralitas. Oleh karena itu manusia akan dapat dididik karena ia memiliki berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.23).
b.      Asas Dinamika
Jika ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan dilakukan dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar menjadi manusia ideal. Di pihak lain, manusia itu sendiri (peserta didik) memiliki dinamika untuk menjadi manusia ideal. Oleh karena itu, dimensi dinamika mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.23-1.24).
c.       Asas Individualitas
Individu antara lain memiliki kedirisendirian (subjektivitas), ia berbeda dari yang lainnya dan memiliki keinginan untuk menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya sendiri. Pendidikan dilaksanakan untuk membantu manusia dalam rangka mengaktualisasikan atau mewujudkan dirinya. Pendidikan bukan untuk membentuk manusia sebagaimana kehendak pendidik dengan mengabaikan dimensi individualitas manusia (peserta didik). Di pihak lain manusia sesuai dengan individualitasnya berupaya untuk mewujudkan dirinya. Oleh karena itu individualitas manusia mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.24).
d.      Asas sosialitas
Sebagai insan sosial, manusia hidup bersama dengan sesamanya, maka ia butuh beraul dengan orang lain. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik setiap individu akan menerima pegaruh dari individu yang lainnya. Kenyataan ini memberikan kemungkinan bagi manusia untuk dapat dididik, oleh karena itu upaya bantuan atau pengaruh pendidikan itu disampaikan justru melalui interaksi atau komunikasi antar sesama manusia dan bahwa manusia dapat menerima bantuan atau pengaruh pendidikan juga melalui interaksi atau komunikasi dengan sesamanya (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.24).
e.       Asas Moralitas
Manusia memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak baik, dan pada dasarnya ia berpotensi untuk beperilaku baik atas dasar kebebasan dan tanggung jawabnya (aspek moralitas).
Pendidikan pada hakikatnya bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem nilai dan norma tertentu serta diarahkan untuk mewujudkan manusia ideal, yaitu manusia yang diharapkan sesuai dengan sistem nilai dan norma tertentu yang bersumber dari agama maupun budaya yang diakui. Pendidikan bersifat normatif dan manusia memiliki dimensi moralitas karena itu aspek moralitas memungkinkan manusia untuk dapat dididik (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.24-1.25).
Atas dasar berbagai asas di atas, pendidikan mutlak harus dilaksanakan. Jika berbagai asumsi tersebut diingkari, kita harus sampai pada kesimpulan bahwa manusia tidak perlu dididik, tidak akan dapat dididik karena itu kita tak perlu melaksanakan pendidikan.
D.    Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat dan Implikasinya
Dalam GBHN dinyatakan bahwa “Pendidikan berlansung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan ialah tanggung jawab bersama antar keluarga, masyarakat, dan pemerintah”.
Hal ini berarti bahwa setiap manusia diharapkan supaya selalu berkembang sepanjang hidup, dan di lain pihak masyarakat dan pemerintah diharapkan agar dapat menciptakan situasi yang menantang untuk belajar. Prinsip ini berarti, masa sekolah bukanlah satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, melainkan hanya sebagian dari waktu belajar yang akan berlansung seumur hidup.
Konsep pendidikan sepanjang hayat atau seumur hidup merumuskan suatu asas bahwa pendidikan adalah suatu proses yang terus-menerus (continue) dari bayi sampai meninggal dunia. Konsep ini sesuai dengan konsep islam seperti yang tercantum dalam hadist Nabi Muhammad SAW., yang menganjurkan belajar mulai dari buaian sampai ke liang kubur. Sebenarnya ide pendidikan seumur hidup telah lama dalam sejarah pendidikan, tetapi baru popular sejak terbitnya buku Paul Langrend An Introduction to Life Long Education (Sesudah Perang Dunia II). Kemudian diambil alih oleh International Commision on the Development of Education (UNESCO) (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 40-41).
Dalam kenyataan hidup sehari-hari dari dahulu sudah dapat dilihat bahwa pada hakikatnya orang belajar sepanjang hidup, meskipun dengan cara yang berbeda dan melalui proses yang tidak sama. Pendeknya tidak ada batas usia yang menunjukkan tidak mungkinnya dan tidak dapatnya orang belajar. Dorongan belajar sepanjang hayat itu terjadi karena dirasakan sebagai kebutuhan. Setiap orang merasa butuh untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya dalam menghadapi dorongan-dorongan dari dalam dan tantangan alam sekitar yang selalu berubah. Sepanjang hidupnya manusia memang tidak pernah berada di dalam suatu vakum. Mereka dituntut untuk mampu menyesuaikan diri secara aktif, dinamis, kreatif, dan inovatif terhadap diri dan kemajuan zaman.
Kegiatan mendidik diri setiap saat sepanjang hidup selalu merupakan kebutuhan terlepas dari hasilnya. Juga bukan semata-mata sebagai bekal untuk kehidupan di masa datang. Dengan kata lain pendidikan itu merupakan bagian integral dari hidup itu sendiri. Prinsip pendidikan seperti itu mengandung makna bahwa pendidikan itu lekat dengan diri manusia, karena dengan itu manusia dapat terus-menerus meningkatkan kemandiriannya sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat, meningkatkan self fulfillment (rasa kepenuhmaknaan) dan terarah kepada aktualisasi diri. Dalam hubungan dengan lingkungan mereka dapat menyesuaikan diri secara adaptatif dan kreatif terhadap tantangan zaman.
Pendidikan sepanjang hayat yang dalam prakteknya telah lama berlangsung secara alamiah dalam kehidupan manusia itu dalam perjalanannya menjadi pudar disebabkan oleh semakin kukuhnya kedudukan sistem pendidikan persekolahan di tengah-tengah masyarakat. Sistem pendidikan persekolahan yang polanya mentradisi membentuk masyarakat tersendiri dan memisahkan diri dari lingkungan masyarakat luas dengan pagar pekarangan sekolah, memdindingi kelas, membatasi waktu belajarnya sampai usia tertentu dan jangka waktu tertentu. Seolah-olah sekolah membentuk masyarakat khusus yang mempersiapkan diri untuk kehidupan di hari depan, bukan kehidupan sekarang ini, dengan membekali diri berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan menurut porsi yang telah ditetapkan dengan keyakinan bahwa bekal tersebut pasti cocok dengan tuntutan zaman. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat selalu berubah dengan membawa tuntutan baru. Bekal yang telah dipersiapkan secara baku pada saat seseorang ditempa di sekolah tidak selalu sesuai dengan kebutuhan di lapangan yang nantinya akan diterjuni. Pendidikan sepanjang hayat bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, PSH merupakan suatu proses bersinambungan yang berlangsung sepanjang hidup.
Selanjutnya Pendidikan sepanjang hayat didefinisikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasiannya dan penstrukturan ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia dari usia yang paling muda sampai paling tua. (Cropley: 67).
Implikasi Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat
Implikasi pendidikan sepanjang hayat pada program pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Ananda W.P. Guruge, dalam garis besarnya dapat dikelompokkan dalam enam kategori, sebagai berikut:
1.      Pendidikan Baca Tulis Fungsional
Program ini tidak saja penting bagi pendidikan sepanjang hayat atau seumur hidup karena relevansinya dengan kondisi yang ada pada negara-negara berkembang karena masih banyaknya penduduk yang buta huruf, melainkan juga sangat penting ditinjau dari implementasinya.
Jadi melek huruf fungsional itu di samping merupakan isi program sekaligus juga merupakan sarana terlaksananya pendidikan seumur hidup. Namun kemampuan membaca menulis apabila tidak ditunjang oleh tersedianya bahan-bahan bacaan tidak ada artinya. Sebab itu realisasi baca tulis fungsional itu harus memuat dua hal, yaitu:
a.       Memberikan kecakapan membaca – menulis – menghitung (3M) yang fungsional bagi anak didik; dan
b.      Menyediakan bahan-bahan bacaan yang diperlukan untuk mengembangkan lebih lanjut kecakapan yang telah dimilikinya itu (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 48-49).
2.      Pendidikan Vokasional
Apakah pendidikan vokasional itu sebagai program pendidikan di luar sekolah bagi anak didik di luar batas usia sekolah, ataukah sebagai program pendidikan formal dan non formal dalam rangka apprentice-skip training, merupakan salah satu program penting dalam rangka pendidikan seumur hidup. Pada kebanyakan negara berkembang yang sistem pendidikan formal umumnya diambil dari negara Barat, out put pendidikan sekolah pada umumnya dirasakan kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Sebab itu program pendidikan yang bersifat remedial agar para lulusan sekolah itu menjadi tenaga kerja yang produktif dan menjadi sangat penting (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 49-50).
3.      Pendidikan Profesional
Dalam tiap-tiap profesi hendaknya telah tercipta built-in mechanism yang memungkinkan golongan profesioanal selalu mengikuti perubahan dan kemajuan dalam metode perlengkapan, tekhnologi dan sikap  profesionalnya. Ini merupakan realisasi dari pendidikan seumur hidup (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 50).
4.      Pendidikan ke Arah Perubahan dan Pembangunan
Pendidikan bagi anggota masyarakat dari berbagai golongan usia agar mereka mampu mengikuti perubahan sosial dan pembangunan merupakan konsekuensi penting daripada asas pendidikan seumur hidup. Abad ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu pengaruhnya telah menyusup dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan masyarakat (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 50).
5.      Pendidikan Kewargaan Negara dan Kedewasaan Politik
Tidak saja bagi warga negara biasa, melainkan para pemimpin masyarakat pun sangat membutuhkan pendidikan kewargaan negara dan kedewasaan politik itu. Dalam alam pemerintahan dan masyarakat yang demokratis, maka kedewasaan warga negara dan para pemimpinnya dalam kehidupan bernegara sangat penting. Untuk itu program pendidikan kewargaan negara dan kedewasaan politik itu merupakan bagian yang penting dari pendidikan seumur hidup (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 51).
6.      Pendidikan Kultural dan Pengisian Waktu Luang
Spesialisasi yang berlebih-lebihan dalam masyarakat, bahkan yang telah dimulai pada usia muda dalam program pendidikan formal di sekolah, membuat manusia menjadi berpandangan sempit pada bidangnya sendiri, buta kekayaan nilai-nilai kultural yang terkandung dalam warisan budaya masyarakat sendiri. Seorang yang disebut “educated man” harus memahami dan menghargai sejarah, kesusastraan, agama, filsafat hidup, seni dan musik bangsa sendiri. Sebab itu pendidikan kultural dan pengisian waktu senggang secara kultural dan konstruktif merupakan bagian penting dari pendidikan seumur hidup (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 51).

 DAFTAR PUSTAKA

Fuad Hasan, Drs. H. 1995. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Bineka Cipta.
Umar Tirtarahardja, Prof. Dr. dan Drs. La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Bineka Cipta.
Wahyudin, Dinn dkk. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Post a Comment

0 Comments