Sistem Peringatan Dini tentang Banjir
TAMPAKNYA banjir pada akhir tahun 2002 dan
diperkirakan berlanjut sampai tahun 2003 berpeluang lebih dahsyat dibandingkan
dengan awal tahun 2002, karena selain terjadi banjir dan genangan juga diikuti
terjadinya tanah longsor. Wilayah yang sebelumnya tidak pernah mengalami banjir
dan longsor sekarang dibuat porak- peranda oleh kemarahan alam yang dirusak
manusia.
Prakiraan ini diperkuat dengan hasil prediksi
indikator curah hujan oleh NOAA, Amerika Serikat yang menunjukkan adanya
peluang peningkatan gerakan uap air ke wilayah Indonesia. Menyedihkan lagi,
awal tahun 2003 pemerintah sudah memutuskan untuk menaikkan harga bensin, tarif
dasar listrik, dan telepon.
Pertanyaannya adalah, mengapa pemerintah
seolah-olah menganggap banjir sebagai cerita lama dengan episode baru tanpa ada
upaya konkret dengan target yang jelas untuk antisipasi dini banjir?
Banjir dan tanah longsor sebenarnya bukan
merupakan masalah baru, justru karena seringnya terjadi, orang menyebut
fenomena ini sebagai cerita lama episode baru yang semakin tidak menentu.
Korban dan kerugiannya terus tambah banyak namun
kemampuan dan kecepatan antisipasi pemerintah harus diakui sangat rendah.
Indikatornya terlihat dari tindakan yang
dilakukan pemerintah selama ini umumnya setelah semuanya babak belur, seperti
pemadam kebakaran yang datang setelah semuanya hangus.
Padahal kalau mau jujur, dengan SDM Indonesia
yang ada, kita mampu untuk melakukan antisipasi dini tentang banjir, genangan,
dan tanah longsor asalkan didukung dengan komitmen pemerintah yang memadai.
Lalu apa yang harus diperbuat pemerintah untuk meringankan beban masyarakat
yang terus terpuruk ini?
Pemasangan sistem peringatan dini di daerah rawan
banjir seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Kerinci, Cilacap, dan wilayah rawan
banjir lainnya merupakan salah satu alternatif pemecahannya.
Sistem
peringatan dini
Sistem peringatan dini tentang banjir pada
prinsipnya dimaksudkan supaya masyarakat yang bermukim di daerah endemik banjir
agar: (1) dapat memperoleh informasi lebih awal tentang besaran (magnitude)
banjir yang mungkin terjadi, (2) waktu evakuasi korban memadai sehingga risiko
yang ditimbulkan dapat diminimalkan. Besaran tersebut meliputi: besarnya debit
puncak (peak discharge) dan waktu menuju debit puncak (time to peak discharge).
Akan lebih baik lagi apabila dilengkapi dengan
informasi tentang tinggi genangan yang mungkin terjadi dan di mana wilayahnya.
Informasi tersebut, selanjutnya pemerintah bersama masyarakat dapat merumuskan
bagaimana cara dan prosedur evakuasinya.
Sistem peringatan dini tentang banjir di
Indonesia sangat penting karena: (1) intensitas dan keragaman hujan menurut
ruang dan waktu sangat tinggi sehingga banjir bisa terjadi secara tiba-tiba
atau yang dikenal sebagai banjir bandang (flash flood), (2) hujan besar umumnya
terjadi pada sore sampai malam hari sebagai akibat proses orografis, sehingga
terjadinya debit puncak umumnya malam hari di saat masyarakat tidur lelap.
Menurut data penelitian, hampir sebagian besar
banjir di Indonesia tidak dapat diantisipasi karena belum tersedianya sistem
peringatan dini tentang banjir. Akibatnya, penanganan banjir lebih ditekankan
pada rehabilitasi pascabanjir yang tentu memerlukan tenaga, waktu, dan biaya
yang sangat besar karena korban cenderung meningkat dengan adanya efek
pascabanjir.
Untuk membangun sistem peringatan dini tentang
banjir, maka diperlukan otomatisasi peralatan pengukur curah hujan dan debit
dalam suatu daerah aliran sungai (DAS).
Dalam bentuk yang sederhana, sistem peringatan
dini dapat dirakit dengan menghubungkan: (1) alat ukur curah hujan otomatis
(automatic rain gauge), (2) alat duga muka air sungai otomatis (automatic water
level recorder/AWLR) di bagian hulu, (3) alat duga muka air sungai otomatis
(automatic water level recorder/AWLR) di bagian hilir yang representatif dengan
pusat kendali komputer yang dipantau oleh beberapa operator secara terus-menerus.
Bahkan, daerah di negara-negara maju seperti di
Nimes, Perancis, operator sistem kendali dilengkapi beberapa peralatan
komunikasi baik telephone mobile, pager yang siaga penuh 24 jam per hari, di
mana pun berada.
Sistem peringatan dini dapat dirakit apabila
persamaan hubungan antara curah hujan di hulu, tinggi muka air sungai di hulu
serta tinggi muka air di hilir sudah dapat di-elaborate secara matematis.
Persamaan tersebut dapat mengkuantifikasi mekanisme transfer hujan menjadi
aliran permukaan dan debit puncak, serta waktu untuk mencapai debit puncak.
Lebih penting lagi hubungan itu harus divalidasi
di lapangan. Penulis bersama tim telah melakukan pemodelan ini dan
memvalidasinya di beberapa DAS seperti DAS Bunder, Gunung Kidul, Daerah
Istimewa Yogyakarta; DAS Kali Garang Semarang, DAS Kretek, Temanggung di Jawa
Tengah; DAS Cikeruh, Sumedang, DAS Cisangkuy, Bandung, dan DAS Cikao, DAS
Cilalawi, DAS Ciherang ketiganya di Purwakarta, Jawa Barat.
Model ini bekerja dengan mengintegrasikan
hubungan klasik dalam pemodelan, yaitu (1) masukan (input) dalam hal ini curah
hujan, (2) sistem yang meliputi parameter penggunaan lahan (interception),
sifat tanah (infiltration), dan karakteristik fraktal jaringan hidrologi sungai
(transfer air di sungai, kemiringan DAS), dan (3) keluaran (output) dalam hal
ini: debit puncak dan waktu untuk mencapai debit puncak.
Dengan demikian setiap perubahan input maupun
sistem seperti perubahan penggunaan lahan dari lahan bervegetasi (cultivated
land) ke lahan tidak bervegetasi (non-cultivated land), model dapat
mengintegrasikannya dalam simulasi besaran debit puncak dan waktu untuk
mencapai debit puncak. Hubungan ini dapat diset secara otomatis dalam program
di komputer.
Hasil prediksi tersebut selanjutnya oleh operator
akan diinformasikan kepada pengambil kebijakan seperti gubernur, bupati, atau
wali kota tentang kemungkinan yang akan terjadi untuk diputuskan langkah apa
yang harus dilakukan selanjutnya. Pembuatan prototipe sistem peringatan dini
tentang banjir ini sedang dipersiapkan oleh Perum Jasa Tirta II bekerja sama
dengan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian dan
didukung oleh CIRAD Perancis serta kedutaan besar Perancis di Jakarta.
Sementara itu karena keterbatasan sarana untuk
transmisi data curah hujan, muka air sungai/debit ke pusat kendali, maka
mekanisme transfer data dari sensor hujan dan muka air ke sentral komputer
digunakan jaringan telepon dengan bantuan modem, termasuk telepon tanpa kabel
(wireless) yang menggunakan listrik untuk remote area.
Idealnya transmisi dilakukan melalui satelit,
karena seringkali untuk remote area yang menggunakan telepon dengan bantuan
listrik, pada saat hujan lebat listriknya padam. Kendala ini dapat diantisipasi
dengan memanfaatkan sistem radio dengan frekuensi tertentu.
Sistem peringatan dini tentang banjir juga dapat
dimodernisir apabila dilengkapi dengan radar hujan yang di pasang mencakup
seluruh permukaan DAS, sehingga kemampuan forecasting curah hujan dapat
dilakukan lebih dini.
Dengan radar hujan, maka kemungkinan terjadinya
hujan luar biasa dapat diprediksi sampai 3 hari sebelum kejadian, sehingga
antisipasi yang dilakukan dapat dimaksimalkan.
Berdasarkan data prediksi curah hujan dan
penyebarannya menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal), maka dapat dihitung
curah hujan wilayahnya sebagai masukan model dalam sistem peringatan dini.
Selanjutnya, berdasarkan karakteristik ukuran dan
bentuk (morphometry) DAS, penggunaan lahan dan jenis tanah DAS, maka dapat
disimulasi debit puncak dan waktu debit puncaknya.
Contoh sistem peringatan dini tentang banjir yang
sudah berjalan dengan baik adalah di Nimes, Perancis.
Sistem tersebut dibangun karena wilayah Nimes
merupakan endemik banjir seperti Jakarta, sementara infrastruktur yang sudah
dibangun sangat besar, sehingga tidak mungkin ditinggalkan atau dipindahkan.
Sistem peringatan tentang banjir merupakan salah
satu alternatifnya, selain perbaikan DAS bagian hulu tentunya.
Sistem penyampaian peringatan dini tentang banjir
kepada masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai peralatan komunikasi seperti
telepon, radio, dan televisi.
Bagi negara maju dan dapat memprediksi curah
hujan lebih awal, maka skenario peringatan dini dapat dilakukan sampai H minus
3 dengan diskripsi informasi dan sasaran yang terstruktur. Misalnya, saat H
minus 3, maka penyampaian informasi dilakukan dengan pemberitahuan yang
bersifat umum melalui televisi, surat kabar tentang kemungkinan curah hujan
luar biasa dan debit puncak serta waktu terjadinya debit puncak berdasarkan
hasil simulasi agar masyarakat waspada terhadap kemungkinan terjadinya banjir
apabila prediksi curah hujan benar.
Saat H minus 2, maka masyarakat dan instansi
terkait seperti palang merah, rumah sakit, dan polisi, diminta untuk
mempersiapkan peralatan dan masyarakat mengamankan peralatan yang berharga.
Saat H minus 1 di mana prediksi hujan mempunyai akurasi semakin tinggi, maka
selain peralatan evakuasi juga disiapkan fasilitas pendukung untuk penampungan
termasuk skema evakuasi (plan of evacuation), sehingga kepanikan masyarakat
dapat diminimalkan.
Analog dengan model ini, sebenarnya sistem ini
dapat juga digunakan untuk membuat sistem peringatan dini tentang genangan,
tanah longsor. Peralatan dan sistem yang sederhana sangat diperlukan bagi
Indonesia yang memerlukan banyak sistem peringatan dini tentang banjir,
genangan, dan tanah longsor.
Lebih ideal lagi apabila kita mampu memproduksi
peralatan tersebut dengan bahan dan sumber daya manusia lokal, sehingga
ketergantungan terhadap material dan tenaga ahli asing dapat diminimalkan.
Diperlukan komitmen yang kuat antara pengambil kebijakan, pelaksana, dan
masyarakat untuk mewujudkan usaha yang mulia ini.
Gatot Irianto PhD Kepala Bagian Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian
Sumber: Kompas,
22 Maret 2003
Sumber : https://bebasbanjir2025.wordpress.com/artikel-tentang-banjir/ar-soehoed/
0 Comments