Artikel Enam Tahun Lumpur Lapindo, Sisakan Tangis dan
Dampak Sosial
Pada 29 Mei
kemarin tragedi luapan lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo memasuki tahun
keenam. Namun demikian penyelesaian sejumlah masalah yang diakibatkan darinya
masih menyisakan tanda tanya. Semburan masih nampak. Pembayaran ganti rugi pada
korban belum tuntas. Diterangkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
(BPLS), rata-rata volume lumpur yang menyembur berkisar 10 hingga 15 ribu meter
kubik per hari.
Tumpukan
4.129 berkas dari 13.286 keseluruhan berkas korban lumpur belum dilunasi. Nilai
ganti rugi mencapai sekitar Rp 920 miliar. Bahkan mereka yang dinyatakan belum
lolos verifikasi sengketa lahan, belum mendapat pembayaran sama sekali, yaitu
sebanyak 73 berkas dengan nilai ganti rugi Rp 27,5 miliar.
Lapindo
hanya bisa menjanjikan Rp 400 miliar yang akan didistribusikan pada Juli
mendatang dengan prioritas ganti rugi di bawah Rp 500 juta. Sedangkan sisanya
‘belum jelas’.
Enam
Tahun Menyisakan Tangis
Senin
(28/5) lalu, Nanik Mulyani warga Desa Jatirejo Kecamatan Porong tak kuasa
membendung derai air matanya. Sambil terisak ia bercerita tentang hidupnya yang
mendadak berubah drastis semenjak lumpur membanjiri desanya dan terutama
tempatnya bekerja.
Dalam
diskusi enam tahun Lumpur Lapindo di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Surabaya, Kota Surabaya, Jawa Timur, Senin (28/5) ini Nanik dan sejumlah
perempuan lain korban lumpur bercerita, sambil terisak mereka menumpahkan
endapan masalah yang tak kunjung usai.
Wanita
yang sebelumnya bekerja di pabrik ini mesti menanggung kehilangan pekerjaan,
karena tempatnya bekerja terendam lumpur. Belum lagi rumahnya ikut pula
terendam. Lengkap sudah, pekerjaan hilang, rumahpun tak punya. Untuk menghidupi
diri dan keluarganya, kini Nanik bekerja sebagai pembantu rumah tangga mulai
pagi hingga sore. Pada malam hari, ia mencari uang dengan menjadi tukang ojek.
Dalam
hal ganti rugi, dia yang hingga kini masih mengungsi ini memilih skema
pembayaran cash and carry dari PT Minarak Lapindo Jaya dengan pola pembayaran
20 persen lalu 80 persen. Tapi itupun tak menyelesaikan persoalannya. “sampai
sekarang saya baru terima 20 persen, itu pun harus dibagi dengan saudara ada
delapan orang,” ujarnya sambil terus terisak.
“Saya
ingin uang saya dibayar. Ini sudah enam tahun. Kemarin saya ikut demo ke
Surabaya, malah dilempari gas air mata,” lanjutnya.
Bertema
“Pulihkan Hidup Kami, Selamatkan Negeri Ini”, dalam diskusi itu ditampilkan
film dokumenter tentang kehidupan korban lumpur Lapindo. Tampak kondisi taman
kanak-kanak siswa korban lumpur yang hanya berdinding triplek minim fasilitas,
dindingnya pun hanya menutupi separuh bangunan.
Dampak
Sosial
Menurut
aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Yuliani, enam tahun masalah lumpur
lapindo hanya menimbulkan dampak sosial.
Masalah
kesehatan misalnya. Data di Puskesmas Porong menunjukkan tren sejumlah penyakit
terus meningkat sejak 2006. Penderita infeksi saluran pernapasan (ISPA) yang
pada 2005 sebanyak 24.719 orang, pada 2009 meningkat pesat menjadi 52.543
orang. Selain itu, gastritis yang pada 2005 baru 7.416 orang, pada 2009
melonjak tiga kali lipat menjadi 22.189 penderita.
Kemudian
masalah pendidikan, setelah 33 sekolah ditenggelamkan lumpur. Hingga saat ini,
belum ada satu pun sekolah pengganti yang dibangun pemerintah.
Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM) menambahkan, potensi masalah lain yang timbul adalah
masalah kecemburuan sosial dan konflik antarwarga. Mengapa demikian?
Koordinator
Nasional JATAM Andrie S Wijaya menjelaskan, penetapan wilayah terdampak lumpur
Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, semakin tidak jelas. Hal ini lah yang
berpotensi memunculkan kecemburuan sosial dan konflik antarwarga dari daerah
yang terkena dampak lumpur.
“Bibit
konflik horisontal di tingkat warga akibat buruknya pembayaran ganti rugi
lahan,” kata Andrie.
Banyak
warga yang belum mendapat ganti rugi padahal daerah mereka ditetapkan sebagai
wilayah terdampak sejak pertama kali semburan lumpur terjadi, 29 Mei 2006.
Dalam ketidakpastian itu, pemerintah malah menetapkan wilayah terdampak baru
dan mempercepat pembayaran. Ini tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Pemerintah
menetapkan wilayah lain sebagai wilayah terdampak baru dan proses pembayaran
dipercepat, sementara wilayah yang jelas-jelas terdampak dari awal,
pembayarannya malah belum jelas.
Tuntutan
Mulai
16 April lalu, lebih dari 2.000 orang secara bergantian memblokade tanggul
lumpur di titik 25, Porong, Sidoarjo. Meski terhitung menjadi korban pertama
yang terusir dari kampung halaman sejak 2006, hingga kini proses ganti ruginya
belum tuntas. Padahal, proses ganti rugi kepada rekan-rekan mereka yang
kampungnya tenggelam belakangan malah sudah banyak yang beres.
Selama
blokade, warga melarang truk-truk BPLS masuk. Praktis selama enam minggu belakangan
sama sekali tak ada penguatan tanggul.
Padahal,
Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Kusairi mengatakan,
curah hujan yang akhir-akhir ini cukup tinggi mengakibatkan kondisi tanggul
kritis. Ia khawatir akan kondisi tanggul jika warga tetap bersikeras menduduki
tanggul titik 25 sampai ada kejelasan status.
sumber : google.com
0 Comments