Perbedaan
Antara Taqlid dan Ittiba’
Assalamualaikum Wr.Wb
Para
ulama membedakan istilah taqlid dengan ittiba’. Ittiba’ adalah
beramal dengan dalil, sedangkan taqlid adalah mengikuti
perkataan seseorang tanpa hujjah ( yakni tanpa mengetahui dalilnya, -admin).
Telah
dinukil dari Abu Abdillah bin Khuwaiz Mandad al-Bashri al-Maliki bahwa beliau
berkata, “Makna taqlid dalam syariat adalah mengambil sebuah pendapat di mana
orang yang berpendapat dengannya tidak membawa hujjah. Hal ini terlarang dalam
syariat. Adapun ittiba’ adalah yang ditetapkan dengan hujjah.” (Jami’ Bayanil
‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Bar, 2/173, Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah,
Muhammad Ali Firqaus, 2/744-745)
Dia
juga berkata pada bagian akhir kitabnya, “Setiap orang yang engkau ikuti
ucapannya tanpa ada dalil yang mengharuskanmu untuk menerimanya berarti engkau
telah taqlid kepadanya. Dan taklid di dalam agama Allah Azza wa Jalla tidak
dibenarkan. Setiap orang yang mengharuskanmu untuk mengikuti ucapannya
berdasarkan dalil, berarti engkau ber-ittiba’ kepadanya. Ittiba’ di dalam agama
diperbolehkan, sedangkan taklid terlarang.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 2/173)
Al-Imam
Abu Dawud rahimahullah juga menukilkan ucapan al-Imam Ahmad rahimahullah yang
didengarknya dari beliau rahimahullah, “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa
yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari para sahabatnya.
Adapun yang datang dari kalangan tabi’in setelah mereka, dia diberi pilihan.”
(Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, 2/745)
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata tatkala menjelaskan kewajiban ber-ittiba’, “Sikap
ittiba’ yang tulus kepada yang ma’shum (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi
wasallam berbeda dengan sikap membuang dan meninggalkan perkataan para ulama.
Ittiba’ yang tulus adalah engkau tidak mendahulukan ucapan seseorang dan
pendapatnya di atas apa yang datang dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
dalam keadaan apapun. Namun, hendaknya yang pertama kali engkau lihat adalah
keshahihan sebuah hadits. Jika shahih, hal yang kedua adalah engkau perhatikan
maknanya. Jika telah jelas bagimu, janganlah engkau berpaling darinya meskipun
yang menyelisihimu adalah semua orang dari timur ke barat. Tidak mungkin umat
bersepakat dalam menyelisihi apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Pasti ada di kalangan umat ini yang sejalan dengan riwayat tersebut
meskipun engkau tidak mengetahuinya. Maka dari itu, janganlah engkau menjadikan
ketidaktahuanmu tentang orang yang sejalan dengannya sebagai hujjah untuk
menolak apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wasallam. Hendaknya engkau tetap berpegang kepada nash.
Janganlah engkau merasa lemah.” (Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, 2/743)
Jenis
Taklid yang Tercela
Para
ulama menyebutkan jenis-jenis taklid yang tercela sebagai berikut:
1.
Berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla dan memilih
mengikuti nenek moyang.
Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang yang
berpaling dari apa yang diturunkan-Nya lalu bertaklid kepada nenek moyang. Para
ulama salaf dan imam yang empat akan bersepakat bahwa taklid semacam ini
tercela dan haram.”
2.
Taklid kepada orang yang bukan ahlinya dengan mengambil ucapannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 36)
3.
Taklid kepada ucapan yang menyelisihi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, siapa pun dia. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” (al-A’raf: 3)
4.
Taklid kepada seseorang setelah jelas kebenaran dan dalilnya.
5.
Taklid seorang mujtahid yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan memeliki
keluangan waktu untuk membahasnya.
6.
Taklid kepada seorang mujtahid dalam seluruh pendapat dan ijtihadnya.
(Ma’alim fi Ushulil Fiqhi, hlm. 498)
Adakah
Taqlid yang Diperbolehkan?
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang menjadi sikap jumhur
(mayoritas) umat ini bahwa ijtihad diperbolehkan secara global dan taklid
diperbolehkan secara global. Mereka tidak mengharuskan setiap orang untuk
berijtihad dan mengharamkan taklid. Mereka juga tidak mengharuskan setiap orang
untuk bertaklid dan mengharamjan ijtihad. Ijtihad diperbolehkan bagi orang yang
memiliki kemampuan untuk berijtihad dan taklid diperbolehkan bagi orang yang
lemah/tidak mampu berijtihad.” (Majmu’ al-Fatawa, 20/204)
Oleh
karena itu taklid diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syarat berikut:
1.
Ia jahil, tidak memiliki kemampuan untuk mengenal hukum Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
2.
Ia bertaklid kepada orang yang dikenal berilmu dan berijtihad, dari kalangan
orang yang memiliki agama dan keshalihan.
3.
Kebenaran beltm tampak bagi oramjg yang taklid ini. Ia tidak mengetahui mana
yang lebih kuat dari silang pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Adapun
jika telah tampak baginya kebenaran, tidak diperbolehkan lagi taklid baginya.
4.
Dalam bertaklid ia tidak diperbolehkan menyelisihi nash/dalil syariat yang
jelas atau ijma’ para ulama.
5.
Tidak diperbolehkan bagi orang yang taklid untuk berpegang kepada pendapat satu
imam dalam seluruh permasalahan. Hendaknya dia berusaha untuk mencari yang
lebih mendekati kebenaran dan lebih mendekatkan dirinya kepada ketakwaan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6.
Tidak diperbolehkan bagi seorang muqallid (yang bertaklid) untuk berpindah dari
satu pendapat ke pendapat lainnya dengan tujuan mencari pendapat yang lebih
ringan dan lebih sejalan dengan hawa nafsunya. (Lihat Ma’alim fi Ushul al-Fiqh,
hlm. 497-498)
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata, “Adapun kewajiban untuk mengikuti seluruh ucapan
seseorang tanpa menyebutkan dalil tentang kebenarannya, ini tidaklah benar.
Bahkan, ini adalah kedudukan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak
diperbolehkan selain hanya untuk beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Majmu’
al-Fatawa, 35/121)
Wallahul
muwaffiq.
0 Comments