KONSEP
DASAR PERENCANAAN PEMBELAJARAN
A. DEFINISI
PERENCANAAN
Ada
beberapa definisi tentang perencanaan yang rumusnya berbeda-beda satu dengan yang lain. Cunningham
misalnya mengemukakan bahwa perencanaan ialah menyeleksi dan menghubungkan
pengetahuan, fakta, imajinasi, dan asumsi untuk masa yang akan datang dengan
tujuan memvisualisasi dan memformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan
yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima yang akan
digunakan dalam penyelesaian. Perencanaan disini menekankan pada usaha
menyeleksi dan menghubungkan sesuatu dengan kepentingan di masa yang akan
datang serta usaha untuk mencapainya. Apa wujud yang akan datang itu dan
bagaimana usaha untuk mencapainya merupakan perencanaan.
Definisi
yang kedua mengemukakan bahwa perencanaan adalah hubungan antara apa yang ada
sekarang (what is) dengan bagaimana seharusnya (what should be)
yang bertalian dengan kebutuhan, penentuan tujuan, prioritas, program, dan
alokasi sumber.
Bagaimana seharusnya adalah mengacu pada masa yang akan datang. Perencanaan
disini menekankan kepada usaha mengisi kesenjangan antara keadaan sekarang
dengan keadaan yang akan datang disesuaikan dengan apa yang dicita-citakan,
ialah menghilangkan jarak antara keadaan sekarang dengan keadaan mendatang yang
diinginkan.
Sementara
itu, definisi yang lain tentang perencanaan dirumuskan sangat pendek,
perencanaan adalah suatu cara untuk mengantisipasi dan menyeimbangkan
perubahan. Dalam
definisi ini ada asumsi bahwa perubahan selalu terjadi. Perubahan lingkungan
ini selalu diantisipasi, dan hasil antisipasi ini dipakai agar perubahan
berimbang. Artinya, perubahan yang terjadi di luar organisasi pengajaran tidak
jauh berbeda dengan perubahan yang terjadi pada organisasi itu, dengan harapan
agar organisasi tidak mengalami keguncangan. Jadi, makna perencanaan disini
adalah usaha mengubah organisasi agar sejalan dengan perubahan lingkungannya.
Ketiga
definisi di atas memperlihatkan rumusan dan tekanan yang berbeda. Yang satu
mencari wujud yang akan datang serta usaha untuk mencapainya, yang lain
menghilangkan kesenjangan antara keadaan sekarang dengan keadaan masa
mendatang, dan yang satu lagi mengubah keadaan agar sejalan dengan keadaan lingkungan
yang juga berubah-ubah. Meskipun demikian pada hakikatnya ketiganya bermakna
sama, yaitu sama-sama ingin mencari dan mencapai wujud yang akan datang, tetapi
yang pertama dan kedua tidak dinyatakan secara eksplisit bahwa wujud yang
dicari itu akibat terjadinya perubahan, termasuk perubahan dalam cita-cita.
Berdasarkan
rumusan di atas, dapat dibuat rumusan baru tentang apa itu perencanaan.
Perencanaan yakni suatu cara yang memuaskan untuk membuat kegiatan dapat
berjalan dengan baik, disertai dengan berbagai langkah yang antisipatif guna
memperkecil kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan tersebut mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
B. PERENCANAAN
PEMBELAJARAN
Pmbelajaran
atau pengajaran menurut Degeng
adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Dalam pengertian ini secara implisit
dalam pengajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode
untuk mencapai hasil pengajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan
pengembangan metode ini didasarkan pada kondisi pengajaran yang ada. Kegiatan
ini pada dasarnya merupakan inti dari perencanaan pembelajaran.
Konsep
pembelajaran yang dipakai dalam buku ini memiliki maksud yang sama dengan
konsep pembelajaran yang telah disusun sebelumnya (Uno Hamzah: 1198).
Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakikat perencanaan atau
perancangan (desain) sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Itulah sebabnya
dalam belajar, siswa tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu
sumber belajar, tetapi mungkin berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar
yang dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Oleh karena
itu, pembelajaran memusatkan perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa,”
dan bukan pada “apa yang dipelajari siswa”.
Adapun perhatian terhadap apa yang dipelajari siswa merupakan bidang kajian
dari kurikulum, yakni mengenai apa isi pembelajaran yang harus dipelajari siswa
agar dapat tercapainya tujuan. Pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana
cara agar tercapai tujuan tersebut. Dalam kaitan ini hal-hal yang tidak bisa
dilupakan untuk mencapai tujuan adalah bagaimana cara mengorganisasikan
pembelajaran, bagaimana menyampaikan isi pembelajaran, dan bagaimana menata
interaksi antara sumber-sumber belajar yang ada agar dapat berfungsi secara
optimal.
Pembelajaran
yang akan direncanakan memerlukan berbagai teori untuk merancangnya agar
rencana pembelajaran yang disusun benar-benar dapat memenuhi harapan dan tujuan
pembelajaran. Untuk itu pembelajaran sebagaimana disebut oleh Degeng (1989),
Reigeluth (1983)
sebagai suatu disiplin ilmu menaruh perhatian pada perbaikan kualitas
pembelajaran dengan menggunakan teori pembelajaran deskriptif, sedangkan
rancangan pembelajaran mendekati tujuan yang sama dengan berpijak pada teori
pembelajaran preskriptif.
C. DASAR
PERLUNYA PERENCANAAN PEMBELAJARAN
Perlunya perencanaan pembelajaran
sebagaimana disebutkan di atas, dimaksudkan agar dapat dicapai perbaikan
pembelajaran. Upaya perbaikan pembelajaran ini dilakukan dengan asumsi sebagai
berikut:
1. Untuk
memperbaiki kualitas pembelajaran perlu diawali dengan perencanaan pembelajaran
yang disujudkan dengan adanya desain pembelajaran;
2. untuk
merancang suatu pembelajaran perlu menggunakan pendekatan sistem;
3. perencanaan
desain pembelajaran diacukan pada bagaimana seseorang belajar;
4. untuk
merencanakan suatu desain pembelajaran diacukan pada siswa secara perorangan;
5. pembelajaran
yang dilakukan akan bermuara pada ketercapaian tujuan pembelajaran, dalam hal
ini akan ada tujuan langsung pembelajaran, dan tujuan pengiring dari
pembelajaran;
6. sasaran
akhir dari perencanaan desain pembelajaran adalah mudahnya siswa untuk belajar;
7. perencanaan
pembelajaran harus melibatkan semua variabel pembelajaran;
8. inti
dari desain pembelajaran yang dibuat adalah penetapan metode pembelajaran yang
optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ad. 1 Perbaikan
Kualitas Pembelajaran
Perbaikan
kualitas pembelajaran haruslah diawali dengan perbaikan desain pembelajaran.
Perencanaan pembelajaran dapat dijadikan titik awal dari upaya perbaikan
kualitas pembelajaran. Hal ini dimungkinkan karena dalam desain pembelajaran,
tahapan yang akan dilakukan oleh guru atau dosen dalam mengajar telah terancang
dengan baik, mulai dari mengadakan analisis dari tujuan pembelajaran sampai dengan
pelaksanaan evaluasi sumatif yang tujuannya untuk mengatur ketercapaian tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan.
Ad. 2 Pembelajaran
Dirancang dengan Pendekatan Sistem
Untuk
mencapai kualitas pembelajaran, desain pembelajaran yang dilakukan haruslah
didasarkan pada pendekatan sistem. Hal ini disadari bahwa dengan pendekatan
sistem, akan memberikan peluang yang lebih besar dalam mengintegrasikan semua
variabel yang mempengaruhi belajar, termasuk keterkaitan antarvariabel
pengajaran yakni variabel kondisi pembelajaran, variabel metode, dan variabel
hasil pembelajaran.
Ad. 3 Desain
Pembelajaran Mengacu pada Bagaimana Seseorang Belajar
Kualitas
pembelajaran juga banyak tergantung pada bagaimana pembelajaran itu dirancang.
Rancangan pembelajaran biasanya dibuat berdasarkan pendekatan perancangnya.
Apakah bersifat intuitif atau bersifat ilmiah. Jika bersifat intuitif,
rancanagn pembelajaran tersebut diwarnai oleh berbagai teori yang dikemukakan
oleh para ilmuwan pembelajaran. Di samping itu, pendekatan lain adalah
pembuatan rancangan pembelajaran bersifat intuitif ilmiah yang merupakan paduan
antara keduanya, sehingga rancangan pembelajaran yang dihasilkan disesuaikan
dengan pengalaman empiris yang pernah ditemukan pada saat melaksanakan
pembelajaran yang dikembangkan pula dengan penggunaan teori-teori yang relevan.
Berdasarkan tiga pendekatan ini, pendekatan intuitif ilmiah akan dapat
menghasilkan pembelajaran yang lebih sahih dari dua pendekatan lainnya bila
hanya digunakan secara terpisah.
Berbagai
teori yang telah dikembangkan mengenai belajar, misalnya teori behavioristik
yang menekankan pada perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
pengelolaan informasi yang menekankan pada bagaimana suatu informasi itu diolah
dan disimpan dalam ingatan. Teori ketiga berpijak pada psikologi kognitif yang
memandang bahwa proses belajar adalah mengaitkan pengetahuan baru ke struktur
pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, dan hasil belajar berupa terbentuknya
struktur pengetahuan baru yang lebih lengkap.
Ad. 4 Desain
Pembelajaran Diacukan pada Siswa Perorangan
Seseorang
belajar memiliki potensi yang perlu dikembangkan. Tindakan atau perilaku
belajar dapat ditata atau dipengaruhi, tetapi tindakan atau perilaku belajar
itu akan tetap berjalan sesuai dengan karakteristik siswa. Siswa yang lambat
dalam berpikir, tidak mungkin dapat dipaksa segera bertindak secara cepat.
Sebaliknya siswa yang memiliki kemampuan berpikir tinggi tidak mungkin dipaksa
bertindak dengan cara lambat. Dalam hal ini jika perencanaan pembelajaran tidak
diacukan pada individu yang belajar seperti ini, maka besar kemungkinan bahwa
siswa yang lambat belajar akan makin tertinggal, dan yang cepat berpikir makin
maju pembelajarannya. Akibatnya proses pembelajaran yang dilakukan dalam suatu
kelompok tertentu akan banyak mengalami hambatan karena perbedaan karakteristik
siswa yang tidak diperhatikan. Hal lain yang merupakan karakteristik siswa
adalah perkembangan intelektual siswa, tingkat motivasi, kemampuan berpikir,
gaya kogniif, gaya belajar, kemampuan awal, dan lain-lain. Berdasarkan
karakteristik ini, maka rancangan pembela mau tidak mau harus diacukan pada
pertimbangan ini.
Ad. 5 Desain
Pembelajaran Harus Diacukan pada Tujuan
Hasil
pembelajaran mencakup hasil langsung dan tak langsung (pengiring). Perancangan
pembelajaran perlu memilah hasil pembelajaran yang langsung dapat diukur
setelah selesai pelaksanaan pembelajaran, dan hasil pembelajaran yang dapat
terukur setelah melalui keseluruhan proses pembelajaran, atau hasil pengiring.
Perancang pembelajaran sering kali merasa kecewa dengan hasil nyata yang
dicapainya karena ada sejumlah hasil yang tidak segera bisa diamati setelah
pembelajaran berakhir terutama hasil pembelajaran yang termasuk pada ranah
sikap. Padahal ketercapaian ranah sikap biasanya terbentuk setelah secara
kumulatif dan dalam waktu yang relatif lama terintegrasi keseluruhan hasil
langsung pembelajaran.
Ad. 6 Desain
Pembelajaran Diarahkan pada Kemudahan Belajar
Sebagaimana
disebutkan di atas, pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa dan
perancangan pembelajaran merupakan penataan upaya tersebut agar muncul perilaku
belajar. Dalam kondisi yang ditata dengan baik, strategi yang direncanakan akan
memberikan peluang dicapainya hasil pembelajaran. Di samping itu, peran guru
sebagai sumber belajar telah diatur secara terencana, pelaksanaan evaluasi baik
formatif maupun sumatif telah terencana, memberikan kemudahan siswa untuk
belajar. Dengan desain pembelajaran, setiap kegiatan yang dilakukan guru telah
terencana, dan guru dapat dengan mudah melakukan kegiatan pembelajaran. Jika
hal ini dilakukan dengan baik, sudah tentu sasaran akhir dari pembelajaran
adalah terjadinya kemudahan belajar siswa dapat dicapai.
Ad. 7 Desain
Pembelajaran Melibatkan Variabel Pembelajaran
Desain
pembelajaran diupayakan mencakup semua variabel pembelajaran yang dirasa turut
mempengaruhi belajar. Ada tiga variabel pembelajaran yang perlu dipertimbangkan
dalam merancang pembelajaran. Ketiga variabel tersebut adalah variabel kondisi,
metode dan variabel hasil pembelajaran. Kondisi pembelajaran mencakup semua
variabel yang tidak dapat dimanipulasi oleh perencana pembelajaran, dan harus
diterima apa adanya. Yang masuk dalam variabel ini adalah tujuan pembelajaran,
karakteristik bidang studi, dan karakteristik siswa. Adapun variabel metode
pembelajaran mencakup semua cara yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan
pembelajaran dalam kondisi tertentu. Yang masuk dalam variabel ini adalah
strategi pengorganisasian pembelajaran, strategi penyampaian pembelajaran, dan
strategi pengelolaan pembelajaran. Adapun variabel hasil pembelajaran mencakup
semua akibat yang muncul dari penggunaan metode pada kondisi tertentu, seperti
keefektifan pembelajaran, efisiensi pembelajaran, dan daya tarik pembelajaran.
Ad. 8 Desain
Pembelajaran Penepatan Metode untuk Mencapai Tujuan
Inti
dari desain pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal
untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Fokus utama perancangan
pembelajaran adalah pada pemilihan, penetapan, dan pengembangan variabel metode
pembelajaran. Pemilihan metode pembelajaran harus didasarkan pada analisis
kondisi dan hasil pembelajaran. Analisis akan menunjukkan bagaimana kondisi
pembelajarannya, dan apa hasil pembelajaran yang diharapkan. Setelah itu,
barulah menetapkan dan mengembangkan metode pembelajaran yang diambil dari
setelah perancang pembelajaran mempunyai informasi yang lengkap mengenai
kondisi nyata yang ada dan hasil pembelajaran yang diharapkan.
Ada
tiga prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam upaya menetapkan metode
pembelajaran. Ketiga prinsip tersebut adalah (1) tidak ada satu metode
pembelajaran yang unggul untuk semua tujuan dalam semua kondisi, (2) metode
(strategi) pembelajaran yang berbeda memiliki pengaruh yang berbeda dan
konsisten pada hasil pembelajaran, dan (3) kondisi pembelajaran bisa memiliki
pengaruh yang konsisiten pada hasil pengajaran.
D. PRINSIP-PRINSIP
UMUM TENTANG MENGAJAR
Prinsip-prinsip
umum yang harus dijadikan pegangan guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar adalah sebagai berikut:
1. Mengajar
harus berdasarkan pengalaman yang sudah dimiliki siswa. Apa yang telah
dipelajari merupakan dasar dalam mempelajari bahan yang akan diajarkan. Oleh
karena itu, tingkat kemampuan siswa sebelum proses belajar mengajar berlangsung
harus diketahui guru. Tingkat kemampuan semacam ini disebut entry behaviour.
Entry behaviour dapat diketahui diantaranya dengan melakukan pre test. Hal
ini sangat penting agar proses belajar mengajar dapat berlangsung secara
efektif dan efisien.
2. Pengetahuan
dan keterampilan yang diajarkan harus
bersifat praktis. Bahan pelajaran yang bersifat praktis berhubungan dengan
situasi kehidupan. Hal ini dapat menarik minat, sekaligus dapat memotivasi
belajar.
3. Mengajar
harus memperhatikan perbedaan individual setiap siswa. Ada perbedaan individual
dalam kesanggupan belajar. Setiap individu mempunyai kemampuan potensial
seperti bakat dan inteligensi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Apa
yang dapat dipelajari seseorang secara cepat, mungkin tidak dapat dilakukan
oleh yang lain dengan cara yang sama. Oleh karena itu, mengajar harus memperhatikan perbedaan
tingkat kemampuan masing-masing siswa.
4. Kesiapan
(readiness) dalam belajar sangat penting dijadikan landasan dalam
mengajar. kesiapan adalah kapasitas (kemampuan potensial) baik bersifat fisik
maupun mental untuk melakukan sesuatu. Apabila siswa siap untuk melakukan
proses belajar, hasil belajar dapat diperoleh dengan baik. Sebaliknya bila
tidak siap, tidak akan diperoleh hasil yang baik. Oleh karena itu, pengajaran
dilaksanakan kalau individu mempunyai kesiapan.
5. Tujuan
pengajaran harus diketahui siswa
Tujuan pengajaran merupakan rumusan
tentang perubahan perilaku apa yang diperoleh setelah proses belajar mengajar.
apabila tujuan pengajaran diketahui, siswa mempunyai motivasi untuk belajar.
Agar tujuan mudah diketahui, harus dirumuskan secara khusus.
6. Mengajar
harus mengikuti prinsip psikologis tentang belajar. Para ahli psikologi
merumuskan prinsip, bahwa belajar itu harus bertahap dan meningkat. Oleh karena
itu, dalam mengajar haruslah mempersiapkan bahan yang bersifat gradual, yaitu:
a.
dari sederhana kepada yang kompleks
(rumit);
b.
dari konkret kepada yang abstrak;
c.
dari umum (general) kepada yang
kompleks;
d.
dari yang sudah diketahui (fakta) kepada
yang tidak diketahui (konsep yang bersifat abstrak);
e.
dengan menggunakan prinsip induksi
kepada deduksi atau sebaliknya;
f.
sering menggunakan reinforcement (penguatan).
E. TIPE-TIPE
BELAJAR
Dalam praktik pengajaran,
penggunaan suatu dasar teori untuk segala situasi merupakan tindakan kurang
bijaksana. Tidak ada suatu teori belajar pun cocok untuk segala situasi. Karena
masing-masing mempunyai landasan yang berbeda dan cocok untuk situasi tertentu.
Robert M. Gagne (1970)[9]
mencoba melihat berbagai teori belajar dalam satu kebulatan yang saling
melengkapi dan tidak bertentangan. Menurut Gagne belajar mempunyai delapan
tipe. Kedelapan tipe itu bertingkat, ada hierarki dalam masing-masing tipe.
Setiap tipe belajar merupakan prasyarat bagi tipe belajar di atasnya.
Tipe belajar dikemukakan oleh Gagne
pada hakikatnya merupakan prinsip umum baik dalam belajar maupun mengajar.
Artinya, dalam mengajar atau membimbing siswa belajar pun terdapat tingkatan
sebagaiamana tingkatan belajar di atas. Kedelapan tipe itu adalah sebagai berikut.
1. Belajar
Isyarat (Signal Learning)
Belajar isyarat mirip dengan conditioned
respons atau respon bersyarat. Seperti menutup mulut dengan telunjuk,
isyarat untuk datang mendekat. Menutup mulut
dengan telunjuk dan lambaian tangan adalah isyarat, sedangkan diam dan
datang adalah respon. Tipe belajar semacam ini dilakukan dengan merspons suatu
isyarat. Jadi, respons yang dilakukan itu bersifat umum, kabur, dan emosional.
Menurut Therendike (1961)
bentuk belajar seperti ini biasanya bersifat tidak disadarim dalam arti respons
diberikan secara tidak sadar.
2. Belajar
Stimulus-Respons (Stimulus Respons Learning)
Berbeda dengan belajar isyarat,
respons bersifat umum, kabur, dan emosional. Tipe balajar S-R, respons bersofat
spesifik. 2 X 3 = 6 adalah bentuk suatu hubungan S-R. mencium bau masakan
sedap, keluar air liur, itu pun ikatan S-R. Jadi, belajar stimulus respons sama dengan teori
asosiasi (S-R bond). Setiap respons dapat diperkuat dengan reinfircement.
Hal ini berlaku pula pada tipe belajar stimulus respons.
3. Belajar
Rangkaian (Chaining)
Rangakain atau rantai dalam chaining
adalah semacam rangkaian antara berbagai S-R yang bersifat segera. Hal ini
terjadi dalam rangkaian motorik; seperti, gerakan dalam mengikat sepatu,
makan-minum-merokok;atau gerakan verbal seperti selamat-tinggal, bapak-ibu.
4. Asosiasi
Verbal (Verbal Assosiation)
Tipe belajar ini adalah mampu
mengaitkan suatu yang bersifat verbalisme kepada sesuatu yang sudah
dimilikinya. Misal “pyramide itu berbangun limas” adalah contoh tipe
belajar asosiasi verbal. Seseorang dapat menyatakan bahwa pyramide berbangun
limas kalau ia mengetahui berbagai bangun, seperti balok, kubus, kerucut.
Hubungan atau asosiasi verbal terebentuk bila unsur-unsurnya terdapat dalam
urutan tertentu, yang satu mengikuti yang lain.
5. Belajar
Diskriminasi (Discrimination Leaning)
Tipe belajar ini adalah pembedaan
terhadap berbagai rangakaian seperti membedakan berbagai bentuk wajah, hewan, tumbuhan, dan
lain-lain.
6. Belajar
Konsep (Consept Learning)
Konsep merupakan simbol berpikir. Hal
ini diperoleh dari hasil memuat tafsiran terhadap fakta atau realita, dan
hubungan anatar berbagai fakta. Suatu konsep dapat diklasifikasi berdasarkan
ciri tertentu. Misalnya, konsep tentang manusia, konsep burung, konsep ikan,
dan lain-lain. Kemampuan seseorang dapat membentuk konsep apabila orang
tersebut dapat melakukan diskriminasi.
7. Belajar
Aturan (Rule Learning)
Tipe balajar aturan adalah lebih
meningkat dari tipe belajar konsep. Dalam belajar aturan, seseorang dipandang
telah memiliki berbagai konsep yang dapat digunakan untuk mengemukakan berbagai
formula, hukum, atau dalil. Misalnya, seseorang langsung mengatakan bahwa dalam
suatu segi tiga besar sudut seluruhnya adalah 180 derajat.
8. Belajar
Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Tipe belajar yang terakhir adalah
memecahkan masalah. Tipe blajar ini dapat dilakukan oleh seseorang apabila
dalam dirinya sudah mampu mengaplikasikan berbagai aturan yang relevan dengan
masalah yang dihadapinya. Dalam memecahkan masalah diperlukan waktu yang cukup,
bahkan ada yang memakan waktu terlalu lama. Juga seringkali harus melalui
berbagai langkah, seperti mengenal tiap unsur dalam masalah itu. Dalam segala
langkah diperlukan pemikiran sehingga dalam memecahkan masalah akan diperoleh
hasil yang optimal.
Kedelapan tipe belajar di atas
tampaknya para ahli sepakat merupakan tipe belajar yang memiliki hierarki.
Setiap tipe belajar merupakan prasyarat bagi tipe belajar selanjutnya.
Sebaliknya tiap tipe belajar memerlukan penguasaan pada tipe belajar yang di
tingkat bawahnya. Belajar memecahkan masalah misalnya harus menguasai sejumlah
aturan yang relevan, seterusnya untuk belajar aturan perlu penguasaan beberapa
konsep yang digunakan pada aturan.
Dalam kaitan dengan perencanaan
pengajaran, tipe belajar ini perlu mendapat perhatian, sebab hal ini menjadi
salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan pengajaran yang diberikan
kepada siswa. Dengan kata lain, agar siswa belajar mencapai taraf yang lebih
tinggi, diperlukan kemampuan guru dalam menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana
yang telah diuraikan di atas.
Referensi
[1] Willian G. Cunningham, Sytematic Planning for Educational Change, First Edition, Mayfield Publishing Company, California, 1982, hlm. 4.
[2] Arthrur W. Steller, Curriculum
Planning, Fenwick W. English, (editor), Fundamental Curriculum Decisions,
ASCD, Virginia, 1983, hlm. 68.
[3]Stephen P. Robbins, The
Administrative Process, Second Edition, Prantice-Hall of India Private
Limited, New Delhi, 1982, hlm. 128.
[4] Nyoman Sudana Degeng, Buku
Pegangan Teknologi Pendidikan Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan
Pengembangan Aktivitas Instruksional Universitas Terbuka. Depdikbud RI, Dirjen
Dikti, Jakarta 1993, hlm. 1.
[5] Uno, Hamzah B., Teori Belajar
dan Pembelajaran (Suatu Pengantar). STKIP Gorontalo, Penerbit Nurul Jannah,
1998.
[6] Nyoman Sudana Degeng, Buku
Pegangan Teknologi Pendidikan, Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan
dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Universitas Terbuka. Depdikbud RI,
Dirjen Dikti, Jakarta 1993, hlm. 2.
[7] Ibid, 1989, hlm. 4.
[8] Merril, M.D., Component Display
Theory, dalam C.M. Reigeluth (Ed.) Instructional Design Theories and
Models: An Overview of Their Current Status. Hillsdale, N.J., Lawrence Erlbaum
Associates, 1983, hlm. 279-334.
[9]Gagne Robert M., The
Conditions of Learning, Holt., Rinehart and Winston, Inc., New York, 1970.
[10] Thorndike. E.L., Educational
Physychology, Vol. II, The Physychology of Learning, New York:
Teacher’s Collage Press, (1911).
0 Comments