KATA PENGANTAR
Pertama-tama perkenankanlah kami selaku
penyusun makalah ini mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
sehingga kami dapat menyusun makalah ini tentang Memahami Ma’arif, Mahabbah dan Tauhid
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memahami aspek
pendidikan agama islam terutama untuk perilaku terpuji. Dengan mempelajari isi
dari makalah ini diharapkan generasi muda bangsa mampu menjadi islam yang
sesungguhnya, saleh, beriman kepada Allah SWT dan bermanfaat bagi masyarakat.
Ucapan terima kasih dan puji syukur kami sampaikan kepada Allah dan
semua pihak yang telah membantu kelancaran, memberikan masukan serta ide-ide
untuk menyusun makalah ini.
Kami selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin untuk
menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil apabila terdapat kekurangan
maupun kesalahan. Oleh karena itu kami memohon saran serta komentar yang dapat
kami jadikan motivasi untuk menyempurnakan pedoman dimasa yang akan datang.
Oktober 2015
Penyusun,
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL...................................................................................... i
KATA
PENGANTAR
....................................................................................
ii
DAFTAR
ISI
....................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Ma’arip
2.1.1 Pengertian Tauhid.............................................................................. 2
2.1.2 Misi Tauhid........................................................................................ 2
2.1.3 Jenis-jenis Tauhid............................................................................... 6
2.1.4 Inflikasi Tauhid.................................................................................. 10
2.2
Mahabbah
2.2.1 Pengertian Cinta................................................................................ 13
2.2.2 Pengertian Amal Sholeh.................................................................... 13
2.2.3 Ciri-ciri Amal Sholeh......................................................................... 14
2.2.4 Tingkatan Amal Sholeh..................................................................... 15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 17
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perasaan cinta tidak akan pernah lepas dari kehidupan
kita. Entah itu rasa cinta terhadap benda dan rasa cinta kepada sang pencipta
Dalam kesempatan kali ini kami ingin sedikit menguraikan pengetahuan kami tentang mahabbah
yaitu katayang digunakan untuk menunjukan pada sesuatu faham atau aliran dalam
tasawuf, yang obyeknya lebih ditunjukan
pada tuhan. Mahabbah memiliki empat jenis yaitu cinta kepada allah, cinta karena allah, cinta bersama allah dan
cinta naluri. Cinta naluri terbagi menjadi tiga yaitu cinta penghormatan dan
penghargaan, cinta kasih sayang dan rahmat
seperti kecintaan kepada anak dan cinta yang dimiliki oleh semua orang.
Tauhid secara
bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu
(dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti
dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita
jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul,
39).
Secara istilah syar’i, makna
tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar
dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna
ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh
manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau
bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan
Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ma’arif
2.1.1 Pengertian Tauhid
Tauhid
menurut bahasa adalah meng-Esakan. Sedangkan menurut syariat adalah meyakini
eesaan Allah. Adapun yang disebut ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan
tentang akidahatau kepercayaan kepada Allah dengan didasarkan pada dalil-dalil
yang benar. Tidak ada yang menyamainya dan tak ada padanan bagi-Nya. Mustahil
ada yang mampu menyamai-Nya. Dalilnya dari firman-firman Allah, di samping
dalil-dalil aqliyah :
“Dia
adalah Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri pasangan-pasangan, dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan
pula, dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu
yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
(QS
42:11)
Seluruh
alam semesta ini diciptakan oleh Allah, dan tidak ada pelaku yang bertindak
sendiri dan merdeka sepenuhnya selain Allah.
2.1.2 Misi Tauhid
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum engkau
[Muhammad] seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; tidak ada ilah
[yang benar] selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Imam
al-Baghawi rahimahullah menafsirkan makna perintah ‘sembahlah Aku’
dengan ‘tauhidkanlah Aku’ (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 834)
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maka setiap kitab suci yang
diturunkan kepada setiap nabi yang diutus semuanya menyuarakan bahwa tidak ada
ilah [yang benar] selain Allah, akan tetapi kalian -wahai orang-orang musyrik-
tidak mau mengetahui kebenaran itu dan kalian justru berpaling darinya…” “Maka
setiap nabi yang diutus oleh Allah mengajak untuk beribadah kepada Allah semata
dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Bahkan fitrah pun telah
mempersaksikan kebenaran hal itu. Adapun orang-orang musyrik sama sekali tidak
memiliki hujjah/landasan yang kuat atas perbuatannya. Hujjah mereka tertolak di
sisi Rabb mereka. Mereka layak mendapatkan murka Allah dan siksa yang amat
keras dari-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/337-338] cet. Dar
Thaibah)
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada
setiap umat seorang rasul [yang berseru]: Sembahlah Allah dan jauhilah
thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, maka dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian
sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 59).
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus
saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi
kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65).
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus
saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada
bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 73).
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara
mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi
kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 85).
Syaikh
Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa
mentadabburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan,
niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi al-Qur’an; dari al-Fatihah
sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk
bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik.
Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan
keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah
keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang
Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan
rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’,
hal. 22)
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Seluruh isi al-Qur’an berbicara
tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat,
Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada
Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap
rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja
dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah pun menegaskan bahwa
tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah
kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul,
fitrah dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia
merupakan pokok paling mendasar diantara segala pokok ajaran agama.” (lihat al-Majmu’ah
al-Kamilah [8/23])
Imam
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan, “al-Qur’an berisi
pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang
disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Selain itu al-Qur’an juga
berisi seruan untuk beribadah hanya kepada-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya serta
ajakan untuk mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan
istilah tauhid kehendak dan tuntutan. al-Qur’an itu juga berisi perintah dan
larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan
hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, al-Qur’an juga berisi
berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang mentauhidkan-Nya,
apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih hidup di dunia, dan kemuliaan
yang dianugerahkan untuk mereka di akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia
miliki. Di sisi yang lain, al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan
para pelaku kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di
dunia, dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka itu adalah hukuman
yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini menunjukkan
bahwa seluruh isi al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, dan
balasan atasnya. Selain itu, al-Qur’an pun membeberkan tentang masalah syirik,
keadaan pelakunya, serta balasan atas kejahatan mereka.” (lihat Syarh
al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dengan takhrij al-Albani, hal. 89 cet.
al-Maktab al-Islami)
Diterangkan
oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya dakwah para rasul itu
berporos pada tiga perkara:
- Memperkenalkan keagungan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya
- Menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka jalan yang akan mengantarkan kepada-Nya, yaitu dengan berdzikir, bersyukur, dan beribadah kepada-Nya
- Menerangkan kepada mereka tentang balasan yang akan mereka terima sesampainya mereka di hadapan-Nya, berupa kenikmatan surga dan yang paling utama di antaranya adalah keridhaan Allah dan kenikmatan memandang wajah-Nya dan Allah pun mengajak bicara dengan mereka (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 16-17)
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah lah yang telah menciptakan tujuh
lapis langit dan bumi seperti itu pula. Turunlah perintah-Nya di antara itu
semua. Supaya kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan
bahwasanya ilmu Allah meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq: 12).
Syaikh
Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah berkata, “Oleh sebab
itu tatkala seorang hamba menyibukkan diri untuk memahami nama-nama Allah dan
sifat-sifat-Nya maka itu adalah sebuah kesibukan dalam rangka mewujudkan hikmah
penciptaan hamba itu sendiri. Dengan dia meninggalkan dan melalaikan hal itu,
maka itu berarti dia telah melalaikan hikmah penciptaan dirinya. Tidak
sepantasnya bagi seorang hamba yang telah mendapatkan karunia Allah yang sangat
besar dan nikmat Allah pun terus-menerus tercurah kepadanya lantas dia justru
bodoh tentang Rabbnya dan berpaling dari mengenal-Nya…” (lihat Fiqh
al-Asma’ al-Husna, hal. 25)
Allah
ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam
(yang artinya), “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku.
Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah
jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf:
63-64).
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah,
ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’
yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang selain jalan
itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.” (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman, hal. 132 cet. ar-Risalah)
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “…Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu,
yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain
jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun
dengan menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun
bid’ah-bid’ah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)
2.1.3 Jenis-jenis Tauhid
Di
bawah ini akan dibahas macam-macam tauhid, diantaranya Tauhid Rububiyah, Tauhid
Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ Wa Sifat.
1. Tauhid
Rububiyah.
Tauhid
Rububiyah yaitu mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya, dengan meyakini
bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk-Nya. Dan alam semesta ini
diatur oleh Mudabbir (Pengelola), Pengendali Tunggal, Tak disekutui oleh siapa
dan apapun dalam pengelolaan-Nya. Allah menciptakan semua makhluk-Nya di atas
fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musrik yang
menyekutukan Allah dalam ibadahnya juga mengakui keesaan rububiyah-Nya. Jadi
jenis tauhid ini diakui semua orang. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan
untuk mengakui-Nya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lainnya. Adapun
orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di
hatinya masih tetap meyakini-Nya.
Alam
semesta dan fitrahnya tunduk dan patuh kepada Allah. Sesungguhnya alam semesta
ini (langit, bumu, planet, bintang, hewan, pepohonan, daratan, lautan,
malaikat, serta manusia) seluruhnya tunduk dan patuh akan kekuasaan Allah.
Tidak satupun makhluk yang mengingkari-Nya. Semua menjalankan tugas dan
perannya masing-masing, serta berjalan menurut aturan yang sangat sempurna.
Penciptanya sama sekali tidak mempunyai sifat kurang, lemah, dan cacat. Tidak
satupun dari makhluk ini yang keluar dari kehendak, takdir, dan qadha’-Nya.
Tidak ada daya dan upaya kecuali atas izin Allah. Dia adalah Pencipta dan
Penguasa alam, semua adalah milik-Nya. Semua adalah ciptaan-Nya, diatur,
diciptakan, diberi fitrah, membutuhkan, dan dikendalikan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman
“Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (Q.S. Al-Fatihah : 1)
Dan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau
adalah Rabb di langit dan di bumi” (Mutafaqqun ‘Alaih)
Tauhid
Rububiyah mengharuskan adanya Tauhid Uluhiyah. Hal ini berarti siapa yang
mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan mengimani tidak ada pencipta,
pemberi rizki, dan pengatur alam kecuali Allah, maka ia harus mengakui bahwa
tidak ada yang berhak menerima ibadah dengan segala macamnya kecuali Allah. Dan
itulah yang disebut Tauhid Uluhiyah. Jadi tauhid rububiyah adalah bukti
wajibnya tauhid uluhiyah. Jalan fitri untuk menetapkan tauhid uluhiyah adalah
berdasarkan tauhid rububiyah. Maka tauhid rububiyah adalah pintu gerbang dari
tauhid uluhiyah.
2. Tauhid
Uluhiyah.
Tauhid
Uluhiyah yaitu ibadah. Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan
para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyariatkan seperti doa, nadzar,
kurban, raja’ (pengharapan), takut, tawakal, raghbah (senang), rahbah (takut),
dan inabah (kembali atau taubat). Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para
rasul. Disebut demikian, karena tauhid uluhiyah adalah sifat Allah yang ditunjukkan
oleh nama-Nya, “Allah” yang artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah), dan
juga karena tauhid uluhiyah merupakan pondasi dan asas tempat dibangunnya
seluruh amal. Juga disebut sebagai tauhid ibadah karena ubudiyah adalah sifat
‘abd (makhluknya) yang wajib menyembah Allah secara ikhlas, karena
ketergantungan mereka kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman
“Dan
Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah :
163)
Dan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maka
hendaklah apa yang kamu dakwahkan kepada mereka pertama kali adalah syahadat
bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah” (Mutafaqqun
‘Alaih). Dalam riwayat Imam Bukhari,“Sampai mereka mentauhidkan
Allah”.
Manusia
ditentukan oleh tingkatan din. Din sendiri berarti ketaatan. Di bawah ini
adalah tingkatan din :
- Islam
Islam
menurut bahasa adalah masuk dalam kedamaian. Sedangkan menurut syara’, Islam
berarti pasrah kepada Allah, bertauhid dan tunduk kepada-Nya, taat, dan
membebaskan diri dari syirik dan pengikutnya.
- Iman
Iman
menurut bahasa berarti membenarkan disertai percaya dan amanah. Sedangkan
menurut syara’, iman berarti pernyataan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan
perbuatan dengan anggota badan.
- Ihsan
Ihsan
menurut bahasa berarti kebaikan, yakni segala sesuatu yang menyenangkan dan
terpuji. Sedangkan menurut syara’ adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh
baginda Nabi yang artinya “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya. Jika engkau tidak bias melihay-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu”. Syaikh Ibnu Taimiyah berkata “Ihsan itu mengandung kesempurnaan
ikhlas kepada Allah dan perbuatan baik yang dicintai oleh Allah”.
Rasulullah
menjadikan din itu adalah Islam, Iman, dan Ihsan. Maka jelaslah bahwa din itu
bertingkat, dan sebagian tingkatannya lebih tinggi dari yang lainnya. Tingkatan
yang pertama adalah Islam, tingkatan yang kedua adalah Iman, dan tingkatan yang
paling tinggi adalah Ihsan.
3. Tauhid Asma’ Wa Sifat.
Tauhid
Asma’ Wa Sifat yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya,
sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an dan Sunah Rasul-Nya. Maka barang
siapa yang mengingkari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya atau menamai Allah dan
menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya atau menakwilkan
dari maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan
berdusta terhadap Allah dan Rasulnya.
Allah Ta’ala berfirman
“Tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat” (Q.S. Asy-Syuura : 11)
Dan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah
tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam” (Mutafaqqun
‘Alaih). Di sini turunnya Allah tidak sama dengan turunnya
makhluk-Nya, namun turunnya Allah sesuai dengan kebesaran dan keagungan dzat
Allah.
Sifat-sifat
Allah dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
- Sifat Dzatiyah
Sifat
Dzatiyah yaitu sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya. Sifat ini berpisah
dengan dzat-Nya. Seperti berilmu, kuasa atau mampu, mendengar, bijaksana,
melihat, dll.
- Sifat Fi’liyah
Sifat
Fi’liyah adalah sifat yang Dia perbuat jika berkehendak. Seperti bersemayam di
atas ‘Arasy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir malam, dan
dating pada Hari Kiamat.
Tauhid
asma’ wa sifat ini juga berpengaruh dalam bermuamalah dengan Allah. Di bawah
ini contoh-contohnya :
- Jika seseorang mengetahui asma’ dan sifat-Nya, juga mengetahui arti dan maksudnya secara benar maka yang demikian itu akan memperkenalkannya dengan Rabbnya beserta keagungan-Nya. Sehingga ia tunduk, patuh, dan khusyu’ kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, serta bertawassul kepada-Nya.
- Jika ia mengetahui jika Rabbnya sangat dahsyat azab-Nya maka hal itu akan membuatnya merasa diawasi Allah, takut, dan menjauhi maksiat terhadap-Nya.
- Jika ia mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun, Penyayang, dan Bijaksana maka hal itu akan membawanya kepada taubat dan istighfar, juga membuatnya bersangka baik kepada Rabbnya dan tidak akan berputus asa dari rahmat-Nya.
- Manusia akan mencari apa yang ada di sisi-Nya dan akan berbuat baik kepada sesamanya.
2.1.4 Implikasi Tauhid
Dalam keadaan tertentu, sifat, arah, dan
intensitas tingkah laku dapat dipengaruhi melalui campur tangan secara
langsung, yakni dalam bentuk intervensi terhadap interaksi yang terjadi. Dalam
hal ini dijelaskan beberap prinsip dengan mengemukakan implikasi metodologinya,
yaitu:
1. Prinsip pembinaan berkesinambungan
Proses pembentukan iman adalah suatu proses
yang penting, terus menerus, dan tidak berkesudahan. Belajar adalah suatu
proses yang memungkinkan orang semakin lama semakin mampu bersikap selektif.
Implikasinya ialah diperlukan motivasi sejak kecil dan berlangsung seumur
hidup. Oleh karena itu penting mengarahkan proses motivasi agar membuat tingkah
laku lebih terarah dan selektif menghadapi nilai-nilai hidup yang patut
diterima atau yang seharusnya ditolak.
2. Prinsip internalisasi dan individuasi
Suatu nilai hidup antara lain iman dapat
lebih mantap terjelma dalam bentuk tingkah laku tertentu, apabila anak didik
diberi kesempatan untuk menghayatinya melalui suatu peristiwa internalisasi (yakni
usaha menerima nilai sebagai bagian dari sikap mentalnya) dan individuasi (yakni
menempatkan nilai serasi dengan sifat kepribadiannya). Melalui pengalaman
penghayatan pribadi, ia bergerak menuju satu penjelmaan dan perwujudan nilai
dalam diri manusia secara lebih wajar dan “amaliah”, dibandingkan bilamana
nilai itu langsung diperkenalkan dalam bentuk “utuh”, yakni bilamana nilai tersebut
langsung ditanamkan kepada anak didik sebagai suatu produk akhir semata-mata.
Prinsip ini menekankan pentingnya mempelajari iman sebagai proses
(internalisasi dan individuasi). Implikasi metodologinya ialah bahwa pendekatan
untuk membentuk tingkah laku yang mewujudkan nilai-nilai iman tidak dapat hanya
mengutamakan nilai-nilai itu dalam bentuk jadi, tetapi juga harus mementingkan
proses dan cara pengenalan nilai hidup tersebut. Dari sudut anak didik, hal ini
bahwa seyogianya anak didik mendapat kesempatan sebaik-baiknya mengalami proses
tersebut sebagai peristiwa pengalaman pribadi, agar melalui
pengalaman-pengalaman itu terjadi kristalisasi nilai iman.
3. Prinsip sosialisasi
Pada umumnya nilai-nilai hidup bru
benar-benar mempunyai arti apabila telah memperoleh dimensi sosial. Oleh karena
itu suatu bentuk tingkah laku terpola baru teruji secara tuntas bilamana sudah
diterima secara sosial. Implikasi metodologinya ialah bahwa usaha pembentukan
tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya tidak diukur keberhasilannya
terbatas pada tingkat individual (yaitu hanya dengan memperhatikan kemampuan
seseorang dalam kedudukannya sebagai individu), tetapi perlu mengutamakan
penilaian dalam kaitan kehidupan interaksi sosial (proses sosialisasi) orang
tersebut. Pada tingkat akhir harus terjadi proses sosialisasi tingkah laku,
sebagai kelengkapan proses individuasi, karena nilai iman yang diwujudkan ke
dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.
4. Prinsip konsistensi dan koherensi
Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi,
apabila sejak semula ditangani secara konsisten, yaitu secara tetap dan
konsekuen, serta secara koheren, yaitu tanpa mengandung pertentangan antara
nilai yang satu dengan nilai lainnya. Implikasi metodologinya adalah bahwa
usaha yang dikembangkan untuk mempercepat tumbuhnya tingkah laku yang
mewujudkan nilai iman hendaknya selalu konsisten dan koheren. Alasannya,
caranya dan konsekuensinya dapat dihayati dalam sifat dan bentuk yang jelas dan
terpola serta tidak berubah-ubah tanpa arah. Pendekatan demikian berarti bahwa
setiap langkah yang terdahulu akan mendukung serta memperkuat langkah-langkah
berikutnya. Apabila pendekatan yang konsisten dan koheren sudah tampat, maka
dapat diharapkan bahwa proses pembentukan tingkah laku dapat berlangsung lebih
lancar dan lebih cepat, karena kerangka pola tingkah laku sudah tercipta.
5. Prinsip integrasi
Hakikat kehidupan sebagai totalitas,
senantiasa menghadapkan setiap orang pada problematika kehidupan yang menuntut
pendekatan yang luas dan menyeluruh. Jarang sekali fenomena kehidupan yang
berdiri sendiri. Begitu pula dengan setiap bentuk nilai hidup yang berdimensi
sosial. Oleh karena itu tingkah laku yang dihubungkan dengan nilai iman tidak
dapat dibentuk terpisah-pisah. Makin integral pendekatan seseorang terhadap
kehidupan, makin fungsional pula hubungan setiap bentuk tingkah laku yang
berhubungan dengan nilai iman yang dipelajari. Implikasi metodologinya ialah
agar nilai iman hendaknya dapat dipelajari seseorang tidak sebagai ilmu dan
keterampilan tingkah laku yang terpisah-pisah, tetapi melalui pendekatan yang
integratif, dalam kaitan problematik kehidupan yang nyata.
2.2 Mahabbah
2.2.1 Pengertian Cinta
Dari
semua ini bisa disimpulkan, bahwa cinta antara laki-laki dan perempuan dalam
Islam adalah suatu hubungan yang didasarkan oleh rasa kasih sayang yang timbul
dari hati nurani yang tulus dan ikhlas, dan bukan berdasarkan pada hal-hal yang
bersifat duniawi. Yang terpenting dalam membina hubungan ini adalah dengan
menggunakan akhlak yang baik, ketaqwaan, dan rasa keimanan terhadap Allah SWT.
2.2.2 Pengertian Amal
Saleh
mal
saleh, yaitu perbuatan
baik. Amal saleh juga berarti setiap hal yang mengajak dan membawa pada
ketaatan terhadap Allah S.w.t atau setiap perbuatan yang mengantar pada
ketaatan kepada Allah S.w.t, baik perbuatan lahir maupun batin.
Dalam
pengertian umum, Amal saleh adalah semua perbuatan (lahir
atau batin) yang berakibat pada hal yang positif atau bermanfaat.
Dalam Al Qur'an, kata amal saleh sering kali beriringan (bergandengan) dengan
kata iman. Amal saleh dapat pula mencakup pengertian amal jariah
dan amal ibadah.
Syarat
sahnya suatu amal ada dua; Pertama, amal harus dilakukan dengan ikhlas,
tanpa pamrih. Kedua, untuk amal ibadah dalam arti khusus, dilakukan sesuai
dengan tuntutan Al Qur'an dan Hadits, sedangkan amal dalam pengertian
umum, syarat tersebut ditambah dengan berdasarkan ilmu
pengetahuan. Allah S.w.t. berfirman:
٢.
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً
لَّهُ الدِّينَ
"Sesunguhnya
Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur'an) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya.". (QS Az-Zumar
[39]: 2).
Rasulullah
Muhammad S.a.w bersabda: "Orang yang mengerjakan suatu amal tanpa ada
dasarnya dalam perintah (agama) maka (amal tersebut)
ditolak.". (HR Muslim).
2.2.3 Ciri-ciri Amal
Saleh
1. Doanya dikabulkan Allah.
Ciri pertama yaitu Terkabulnya doa oleh
Allah SWT, orang yang amalnya diterima oleh Allah SWT, jika berdoa, do’a yang
ia panjatkan langsung langsung menembus dinding-dinding langit, sehingga Allah
didengar dan diterima Allah SWT
“Hadis
Nabi menceritakan tentang tiga orang yang terjebak dalam gua dan mereka
masing-masing berdoa dengan berwasilah kepada amal ibadahnya yang lalu. Doa
mereka terkabul karena amalan mereka diterima Allah”
2. Banyak manusia
yang mencintai dirinya
Ciri kedua dari orang yang diterima amal
ibadahnya yaitu banyak orang mencintai
dirinya yang ini dimungkan karena Allah mencintai orang tersebut karena amal
ibdahnya, sehingga manusiapun senang, mencintai dan menghargai orang tersebut.
“Sesungguhnya Allah kalau mencintai si Fulan, memerintah
Jibril AS untuk menyeru penduduk langit, ‘Wahai penduduk langit, sesungguhnya
Allah SWT mencintai si Fulan, maka cintailah dia.’ Penduduk langit pun
mencintai Fulan dan di bumi semua orang menerimanya.”
3. Senang melakukan
amal saleh.
Ciri yang ketiga orang yang amalya
diterima ialah orang tersebut selalu senang melakukan perbuatan-perbuatan atau
amal-amal soleh yang lainnya. Ia akan selalu rindu bertemu dengan Allah Swt,
karena ia selalu meyakini jika amal perbuatan yang dilakukannya akan selalu
diterima Allah sehingga ia terpacu untuk
selalu meningkatkan amal solehnya.
2.2.4 Tingkatan Amal
Saleh
Beramal shaleh memiliki kedudukan
yang cukup mulia di dalam Islam berdasarkan beberapa pandangan berikut ini:
- Amal shaleh merupakan sebab memasuki syurga-setelah rahmat Allah subhanahu wata’ala-serta meraih ridho dan kecintaan-Nya.
Allah berfirman :
لَهُمْ
دَارُ السَّلاَمِ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَهُوَ وَلِيُّهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Bagi mereka (disediakan) Darussalam
(surga) pada sisi Rabbnya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal
saleh yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al An`am [6]:127)
Sedangkan di sisi lain, para
penghuni neraka disungkurkan ke dalamnya dengan sebab amal-amal mereka yang
buruk.
وَمَن
جَآءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلاَّ
مَاكُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan barangsiapa yang membawa
kejahatan, maka disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka.Tiadalah kamu
dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. 27:90)
- Amal shaleh merupakan salah satu unsur keimanan.
Karena Iman terdiri dari unsur Qaul
(perkataan) Qalbu dan Lisan serta unsur Amal (perbuatan) Qalbu dan anggota
tubuh. Bahkan didalam ayat Al Quran, Allah mengiringi kata amal shalih dengan
Iman di lebih dari 50 ayat. Karena itu, Al Hasan Al Basry rahimahullah berkata:
لَيْسَ
الإِيْمَان بِالتََّحَلِّيْ وَلاَ بِالتََّمَنِّيْ وَلَكِنََّهُ مَا وَقََّرَ فِيْ
الصَّدْرِ وَ صَدَقَتْهُ اْلأَعْمَالُ
“Iman bukan dengan hiasan
dan angan-angan. Akan tetapi, Iman adalah sesuatu yang tertancap di dalam dada
dan dibuktikan dengan amal”. (Ibnu Abi Al `Izz, Syarah Al Aqidah Ath
Tha Hawiyah:339)
- Amal merupakan tempat pandangan Allah subhanahu wata’ala
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
إنَّ
اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ
إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak
memandang rupa dan harta kalian. Akan tetapi Dia memandang Qalbu dan amal- amal
kalian“. (HR.Muslim Kitab Al Bir wa Ash Shilat, Tahrim Dzulm Al
Muslim Al Khadzalih: 2567)
- Perpedaan derajat manusia di hari kiamat akan tergantung tingkat amal-amal mereka.
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
وَلِكُلٍّ
دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُوا وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Dan bagi masing-masing mereka
derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi
mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. 46:19)
ِAl Qurthubi berkata : “(dan bagi
mereka masing-masing mereka derajat) artinya: setiap satu diantara dua
golongan, yaitu kaum muslimin dan kaum kafirin dikalangan bangsa jin dan
manusia memiliki derajat- derajat di sisi allah subhanahu
wata’ala pada hari kiamat dengan sebab amal-amal mereka”. (Al
Jami` Li Ahkam Al Qur`an : 16/198)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mahabbah adalah Cinta. Hal ini mengandung maksud cinta
kepada tuhan. Lebih luas lagi, bahwa “MAHABBAH” memuat pengertian yaitu :
a. Memeluk dan
mematuhi perintah tuhan dan membenci sikap yang melawan pada tuhan.
b. Berserah diri
kepada tuhan.
c. Mengosongkan
perasaan di hati dari segala-galanya kecuali dari zat yang dikasihi.
v Pengertian
mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan al-qusyairi
Al-mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang
mulai yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) allah swt, oleh hamba,
selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakaan cinya kepada yang
dikasihi-nya dan yang seorang hamba mencintai allah swt
Dengan kita meyakini
bahwa agama Islam merupakan satu-satunya agama yang sempurna,maka kita harus
bertaqwa dan beriman hanya kepada Allah,selalu melaksanakan petintahNya dan
menjauhi larangannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/10-konsepsi-tuhan-dalam-perspektif-islam.pdf
http://muslim.or.id/11549-tauhid-misi-utama-para-nabi-dan-rasul.html
https://ayundi1456.wordpress.com/2013/01/02/pengertian-dan-macam-macam-tauhid/
http://nurulmakrifat.blogspot.co.id/2015/02/amal-saleh.html
http://alzidnie.blogspot.co.id/2012/11/3-traits-charity-man-received-allah.html
https://elsunnah.wordpress.com/2013/05/13/kedudukan-amal-dalam-islam/
0 Comments