Pengertian Tujuan Dan Kegunaan Ilmu Pengantar Hukum



A. PEDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peranan hukum di dalam masyarakat khususnya dalam menghadapi perubahan masyarakat perlu dikaji dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sosial. Pengaruh peranan hukum ini bisa bersifat langsung dan tidak langsung atau signifikan atau tidak. Hukum memiliki pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong munculnya perubahan sosial pada pembentukan lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Di sisi lain, hukum membentuk atau mengubah institusi pokok atau lembaga kemasyarakatan yang penting, maka terjadi pengaruh langsung, yang kemudian sering disebut hukum digunakan sebagai alat untuk mengubah perilaku masyarakat. 
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

B. TUJUAN
     Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hukum Pengantar, Sekaligus untuk menambah wawasan tentang system hukum .

C. RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian, Tujuan, Dan Kegunaan Ilmu Pengantar Hukum
2.      Disiplin Hukum
3.      Bidang-bidang Studi Hukum
4.      Pengertian Dasar Tentang Hukum
5.      Sumber-Sumber Hukum
6.      Sistem Hukum Dan Klasifikasi Hukum
7.      Penafsiran Hukum
8.      Kodifikasi Hukum
9.      Berlakunya Hukum Di Indonesia
10.  Mazhab Hukum

B. PEMBAHASAN

1.      PENGERTIAN, TUJUAN, DAN KEGUNAAN ILMU PENGANTAR HUKUM
a.       Pengertian Ilmu Hukum
Menurut Satjipto Rahardjo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menelaah hukum. Ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Ilmu hukum objeknya hukum itu sendiri. Demikian luasnya masalah yang dicakup oleh ilmu ini, sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan bahwa “batas-batasnya tidak bisa ditentukan” (Curzon, 1979 : v). Selanjutnya menurut J.B. Daliyo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya hukum. Dengan demikian maka ilmu hukum akan mempelajari semua seluk beluk mengenai hukum, misalnya mengenai asal mula, wujud, asas-asas, sistem, macam pembagian, sumber-sumber, perkembangan, fungsi dan kedudukan hukum di dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu yang mempunyai objek hukum menelaah hukum sebagai suatu gejala atau fenomena kehidupan manusia dimanapun didunia ini dari masa kapanpun. Seorang yang berkeinginan mengetahui hukum secara mendalam sangat perlu mempelajari hukum itu dari lahir, tumbuh dan berkembangnya dari masa ke masa sehingga sejarah hukum besar perannya dalam hal tersebut.
b. Pengertian Pengantar ilmu hukum
Pengantar Ilmu Hukum (PIH) kerapkali oleh dunia studi hukum dinamakan “Encyclopaedia Hukum”, yaitu mata kuliah dasar yang merupakan pengantar (introduction atau inleiding) dalam mempelajari ilmu hukum. Dapat pula dikatakan bahwa PIH merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut dalam studi hukum yang mempelajari pengertian-pengertian dasar, gambaran dasar tentang sendi-sendi utama ilmu hukum.
c. Tujuan dan Kegunaan Pengantar Ilmu Hukum
Tujuan Pengantar Imu Hukum adalah menjelaskan tentang keadaan, inti dan maksud tujuan dari bagian-bagian penting dari hukum, serta pertalian antara berbagai bagian tersebut dengan ilmu pengetahuan hukum. Adapun kegunaannya adalah untuk dapat memahami bagian-bagian atau jenis-jenis ilmu hukum lainnya.
d. Kedudukan dan Fungsi Pengantar Ilmu Hukum
Kedudukan Pengantar Ilmu Hukum merupakan dasar bagi pelajaran lanjutan tentang ilmu pengetahuan dari berbagai bidang hukum. Sedangkan kedudukan dalam kurikulum fakultas hukum adalah sebagai mata kuliah keahlian dan keilmuan. Oleh karena itu pengantar ilmu hukum berfungsi memberikan pengertian-pengertian dasar baik secara garis besar maupun secara mendalam mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Selain itu juga pengantar ilmu hukum juga berfungsi pedagogis yakni menumbuhkan sikap adil dan membangkitkan minat untuk denagan penuh kesungguhan mempelajari hukum.
e. Ilmu Bantu Pengantar Ilmu Hukum
         Sejarah hukum, yaitu suatu disiplin hukum yang mempelajari asal usul terbentuknya dan perkembangan suatu sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbanding antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu
         Sosiologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala sosial dengan gejala sosial lain (Soerjono Soekanto)
         Antropologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat sederhana, maupun masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan/proses modernisasi (Charles Winick).
         Perbandingan hukum, yakni suatu metode studi hukum yang mempelajari perbedaan sistem hukum antara negara yang satu dengan yang lain. Atau membanding-bandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang lain
         Psikologi hukum, yakni suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan perkembangan jiwa manusia (Purnadi Purbacaraka).

f. Metode Pendekatan Mempelajari Hukum
1.      Metode Idealis ; bertitik tolak dari pandangan bahwa hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu dalam masyarakat
2.      Metode Normatif Analitis ; metode yg melihat hukum sebagai aturan yg abstrak. Metode ini melihat hukum sebagai lembaga otonom dan dapat dibicarakan sebagai subjek tersendiri terlepas dari hal2 lain yang berkaitan dengan peraturan2. Bersifat abstrak artinya kata-kata yang digunakan di dalam setiap kalimat tidak mudah dipahami dan untuk dapat mengetahuinya perlu peraturan-peraturan hukum itu diwujudkan. Perwujudan ini dapat berupa perbuatan-perbuatan atau tulisan. Apabila ditulis, maka sangat penting adalah pilihan dan susunan kata-kata.
3.      Metode Sosiologis; metode yang bertitik tolak dari pandangan bahwa hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat.
4.    Metode Historis ; metode yang mempelajari hukum dengan melihat sejarah hukumnya.
5.    Metode sistematis; metode yang melihat hukum sebagai suatu system
6.   Metode Komparatif; metode yang mempelajari hukum dengan membandingkan tata hukum dalam berbagai sistem hukum dan perbandingan hukum di berbagai negara.
2. DISIPLIN HUKUM
Suatu disiplin adalah sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi. Dalam hal ini hukum dalam arti disiplin melihat hukum sebagai gejala dan kenyataan yang ada di tengah masyarakat. Apabila pembicaraan dibatasi pada disiplin hukum, maka secara umum disiplin hukum menyangkut ilmu hukum, politik hukum dan filsafat hukum. Apa sebenarnya pengertian ketiganya ini ?
1.      Ilmu Hukum, intinya merupakan ilmu pengetahuan berusaha menelaah hukum.
2.      Politik Hukum, mencakup kegiatan-kegiatan mencari dan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut bagi hukum dalam mencapai tujuannya. Filsafat Hukum, adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, juga mencakup penyesuaian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan dengan pembaharuan
a. Disiplin Hukum
Sebagimana telah dikemukakan di atas, disiplin hukum merupakan sistem ajaran yang menyangkut kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan “hidup” di tengah pergaulan. Apabila dicermati lebih seksama, pengertian mengenai disiplin ini, maka dapat dibedakan antara disiplin analitis dan disiplin perspektif.
a. Disiplin analitis merupakan sistem ajaran yang menganalisa, memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi. Contohnya : Sosiologi, Psikologi, Ekonomi, dll.
b. Disiplin Perspektif merupakan sistem-sistem ajaran yang menentukan apakah yang seyogyanya atau seharusnya dilakukan di dalam menghadapi kenyataan-kenyataan tertentu. Contohnya adalah : Hukum, Filsafat, dll.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa disiplin hukum merupakan disiplin perspektif yang berusaha menentukan apakah yang seyogyanya, seharusnya dan patut dilakukan dalam menghadapi kenyataan.

B. Ilmu Hukum
Secara garis besar ilmu hukum dapat dijelaskan sebagai berikut : 
a.      Ilmu Hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan yang tidak benar menurut harkat kemanusiaan.
b.      Ilmu yang formal tentang hukum positif.
c.       Sintesa ilmiah tentang asas-asas yang pokok dari hukum
d.      Penyelidikan oleh para ahli hukum tentang norma-norma, cita-cita dan teknik-teknik hukum dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai disiplin di luar hukum yang mutakhir.
e.       Ilmu Hukum adalah ilmu tentang hukum dalam seginya yang paling umum. Segenap usaha untuk mengembalikan suatu kasus kepada suatu peraturan. Dll
Dengan berbagai pendapat tersebut, maka akan semakin jelaslah mengenai ruang lingkup yang dipelajari oleh ilmu hukum. Termasuk dalam ilmu hukum ini adalah :
a. Ilmu Kaidah. Yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem-sistem kaidah dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum.
b. Ilmu Pengertian, yaitu ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum. Seperti misalnya subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek dari hukum itu sendiri.
c. Ilmu Kenyataan, yang menyoroti hukum sebagai peri kelakuan atau sikap tindak, yang antara lain dipelajari dalam sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa ilmu tentang kenyataan atau Tatsachenwissenschaft atau Sienwessenschaft yang menyoroti hukum sebagai perikelakuan atau sikap tindak. Termasuk sebagai ilmu-ilmu dalam kenyataan tentang hukum adalah :
1. Sosiologi Hukum; ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis. Dengan sosiologi hukum kita dapat mengetahui dan memahami faktor-faktor apa yang mendorong dan menghambat proses penegakkan hukum dalam masyarakat. Misalnya
a.       Bagaimana keadaan hukumnya, apakah masih memadai atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
b.      Bagaimana keadaan para penegak hukumnya, apa menjalankan tugas-kewajibannya secara konsekwen atau tidak, apakah mereka menindak pelanggar hukum tanpa membeda-bedakan status sosial, jabatan, dll.
c.       Bagaimana keadaan fasilitas/sarananya, apakah menunjang atau memadai? (terutama dalam proses penyidikan dalam perkara pidana)
d.      Bagaimana keadaan masyarakatnya, apakah ikut membantu penegakkan hukum atau justru menghambat proses penegakkan hukum.
Dengan sosiologi hukum, mereka yang mempelajarinya akan memberi kemampuan untuk :
a.  Memahami hukum dengan konteks sosialnya;
Ex ; mempelajari hukum waris selalu terikat dengan masyarakatnya, seperti misalnya masyarakat Tapanuli mencerminkan masyarakatnya yang Patrilinieal, dimana anak laki-laki menjadi ahli warisnya; demikian pula halnya dengan hukum waris masyarakat Minangkabau berlatar belakang sistem masyarakatnya yang Matrinieal dimana kemenakan dari garis ibu yang menjadi ahli waris.
b. Menganalisa dan konstruksi terhadap efektivikasi hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial (a tool of social control) maupun sebagai sarana untuk mengubah masyarakat (a tool of social engeeneering)
Ex :
·         Tidak atau belum efektifnya peraturan tentang UU Lalu Lintas Jalan Raya (UU No. 14 Tahun 1992), disebabkan karena masyarakat maupun petugas/penguasa tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana tersebut dalam ketentuan tersebut, malahan melanggarnya. Dalam hal ini hukum yang akan melakukan pengawasan dan pengendalian masyarakat maupun penguasa/petugas agar mematuhi peraturan-peraturan tentang hal tersebut. ( a tool of social control)
·         Demi suksesnya Program Keluarga Berencana, Bupati Sukoharjo telah menganjurkan supaya instansi yang ada di daerahnya tidak memberikan cuti hamil bagi ibu-ibu yang menantikan kelahiran anak keempat. Ide itu baru diucapkan di depan Ka Dinas dan Jawatan yang ada di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Anjuran Bupati tersebut jelas merupakan anjuran yang ingin mengubah kebiasaan warga masyarakat di daerahnya ke arah terlaksananya Program Keluarga Berencana, suatu rekayasa sosial sesuai pikiran Bupati tersebut, tetapi dapat membahayakan kesehatan ibu-ibu yang hamil, bahkan tidak mustahil berakibat yang lebih fatal, misalnya terjadi abortus dari ibu-ibu yang hamil. Belum lagi jika Bupati tersebut sampai digugat ganti rugi dalam hal terjadi kecelakaan atau gangguan kesehatan dari ibu hamil. (dampak negatif). Dan Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1954 yang menetapkan bahwa orang kulit hitam harus dipersamakan dengan orang kulit putih (dampak positif)
·         Dengan UU No.9 Tahun 1976 (sekarang menjadi UU No. 5 Tahun 1997), yang merupakan perbaikan dari ketentuan-ketentuan peninggalan Belanda, di mana pada waktu itu yang dikenakan sanksi hanyalah pemadat/pemakai narkotika. Sedangkan UU No.9 Tahun 1976 (Sekarang menjadi UU No. 5 Tahun 1997) tersebut di atas memberikan ancaman hukuman yang berat terhadap para penanam dan pengedar bahan-bahan narkotika. Terutama kepada para petani yang disuruh menanam ganja.


c.  Mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.
Ex ; Dengan melakukan penilaian atas peraturan-peraturan yang berlaku, apakah peraturannya yang perlu diperbaiki atakah para penegak hukumnya yang perlu diperbaiki, ataukah fasilitasnya yang perlu ditambah atau masyarakatnya yang memungkinkan lancarnya proses penegakkan hukum;

2. Antropologi Hukum; ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya dalam masyarakat sederhana dan masyarakat modern.
Metode pendekatan antropolog menurut Euber : suatu segi yang menonjol dari ilmu antrologi adalah pendekatan secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia. Para Antropolog mempelajari tidak hanya semacam jenis manusia, mereka juga mempelajari semua aspek dari pengalaman manusia, seperti penulisan tentang gambaran tentang bagian dari sejarah manusia, lingkungan hidup dan kehidupan keluarga-keluarga, pemukiman, segi-segi ekonomi, politik, agama, gaya, kesenian dan berpakaian, bahasa dan sebagainya.
Ex : pola penyelesaian sengketa masyarakat dalam kasus “ kawin lari”.
         Untuk masyarakat sederhana pola sengketa dan penyelesaiannya adalah dalam bentuk putusan penguasa adat dan putusan masyarakat adat
         Untuk masyarakat modern, pola sengketa dan penyelesaiaannya adalah dalam bentuk Putusan/Vonis Hakim Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.

3. Psikologi Hukum; ilmu yang mempelajari bahwa hukum itu merupakan perubahan perwujudan jiwa manusia. Atau dapat juga dikatakan bahwa Psikologi Hukum adalah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang prilaku manusia (human behaviour), maka dalam kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia.
Ex: Perwujudan jiwa manusia itu dapat berupa :
         Tindakan mentaati peraturan yang berlaku;
         Tindakan melanggar peraturan yang berlaku;
      Tindakan yang termasuk dalam ontocrekening vatbaarheid dalam pidana (Pasal 49 KUHP dst, berupa keadaan overmacht-noodwer exeess-tekanan atasan-gangguan jiwa) Peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas, dll
4. Sejarah Hukum; ilmu yang mempelajari hukum-hukum pada masa lampau/penjajahan sampai dengan masa sekarang). Sejarah hukum juga adalah salah satu idang studi ilmu hukum yang mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu
Ex: Di Indonesia, dibatasi sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan sekarang (Orde Reformasi). Sekarang, ternyata masih menggunakan aturan yang berlaku pada zaman Hindia Belanda, misalnya :
         KUHP (Wetboek Van Straafrecht)
         KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)
         UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 66; dimana ketentuan GHR (Stb.1898 No.158) HOCI/Stb. 193 No. 74), BW masih bisa dijadikan pedoman bila ternyata ada masalah yang tidak diatur oleh UU tersebut di atas.
5. Perbandingan Hukum; suatu metode studi hukum yang mempelajari perbedaan sistem hukum antara negara yang satu dengan yang lain. Atau membandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang lain.dapat juga dikatakan bahwa Perbandingan Hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang ada pada satu negara atau antar negara.
Ex : Dalam satu negara, misalnya di Indonesia dengan memperbandingkan antara sistem hukum masyarakat Minangkabau-Tapanuli-Bugis-Dayak-Makasar-Sunda-Jawa, dan lain-lain. Sedangkan perbandingan hukum antar negara misalnya; antara Hukum yang berlaku di Indonesia dengan Malaysia-Singapore-Amerika, dll.[7]

3. BIDANG-BIDANG STUDI HUKUM
A. Pengertian Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala sosial secara analitis dan empiris (adanya gejala sosial). Gejala sosiologi merupakan tanda-tanda yang muncul dalam kehidupan sosial yang disebut sebagai masyarakat. Dengan konteks yang seperti tu maka dapat dikatakan sosiologi hukum adalah sebagai alat untuk mengubah dan mengontrol gejala sosial yang ada di masyarakat. Gejala-gejala sosial itu dapat dipengaruhi dan dapat pula saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Menurut Satjipto Rahardjo, sosiologi hukum dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari fenomena hukum. Dari sudut pandang yang demikian itu, Satjipto Rahardjo memberikan beberapa karakteristik studi secara sosiologis, sebagai berikut:
a.       Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum. Apabila praktik itu dibedakan dalam pembuatan undang-undang dan penerapannya di pengadilan, maka sosiologi hukum itu mempelajari bagaimana praktik tersebut dapat terjadi pada masing-masing kegiatan tersebut. Dalam hal ini sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan mengapa praktik yang demikian itu dapat terjadi, apa sebab-sebabnya ataupun faktor-faktor yang mempengaruhinya, latar belakangnya. Dan dengan demikian mempelajari hukum secara sosiologis adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum, baik yang sesuai dengan hukum maupun yang menyimpang dari hukum.
b.      Sosiologi hukum senantiasa mengkaji kesahian empiris. Sifat khas yang muncul disini adalah mengenai bagaimana kenyataan peraturan itu, apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi peraturan atau tidak.
c.       Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum terapi hanya memberikan penjelasan dari objek yang dipelajarinya.
Sementara bagi Roscoe Pound, permasalahan utama yang dewasa ini menjadi perhatian dari para praktisi sosiologi hukum adalah bagaimana mendorong pembuat hukum menafsirkan atau menerapkan aturan-aturan hukum yang lebih mengacu kepada fakta-fakta sosial.Ruang Lingkup Sosiologi Hukum

B. Ruang-Ruang Sosiologi Hukum Meliputi:
a. Dasar-dasar sosial dari hukum (the genetic sociology of law) dengan anggapan bahwa hukum timbul sebagai hasil dan proses sosial. Sebagai contoh; Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, yang mana semua hukum di Indonesia haruslah hukum yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang bercorak Bhinneka Tunggal Ika, yang berkerakyatan, dan yang adil.
b. Efek hukum terhadap masyarakat (the operational sociology of law). Pada ruang ini dilihat bagaimana pengaruh hukum terhadap masyarakat
C. Pembidangan Sosiologi Hukum
a. Sosiologi hukum teoritis, yang dalam kajiannya senantiasa berupaya untuk menghasilkan generalisasi atau kesimpulan setelah melalui pengumpulan data, pemeriksaan terhadap keteraturan sosial, dan pengembangan hipotesis.
b. Sosiologi hukum empirik, yang dalam kajiannya bertujuan untuk menguji hipotesis tersebut melalui pendekatan yang sistematis dan metodologis.
c.   Sosiologi hukum evaluatif, yang lebih memberikan penekanan pada perspektif internal, yakni perspektif partisipan yang berbicara.

2.  ANTROPOLOGI HUKUM
              Sebagai fitur penting dalam ilmu tentang kenyataan, antropologi hukum dalam ruang pembahasaannya melihat tentang bagaimana keterkaitan antara hubungan manusia dengan budaya hukum sehingga turut pula mempengaruhi hukum itu sendiri.
   A. Ruang Lingkup Antropologi Hukum
     Menurut Laura Nader, dalam bukunya the anthropological study of law (1965) dikemukakan bahwa ruang lingkup antropologi hukum itu berkisar pada pembahasan tentang:
1). Apakah dalam setiap masyarakat terdapat hukum,  dan bagaimana karakteristik hukum yang universal.
2). Bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan-organisasi social.
3). Mungkinkah mengadakan tipologi hukum tertentu, sedangkan variasi karakteristik hukum terbatas.
4). Apakah tipologi hukum itu berguna untuk menelaah hubungan antara hukum dan aspek kebudayaan dan orgaisasi social. Mengapa pula hukum itu berubah.
     B. Manfaat Antropologi Hukum
Studi antropologi hukum menaruh minat terhadap hukum dari segi intelektual dan filosofis. Antropologi hukum bukan diarah pada penegetahuan mengenai hukum yang langsung dapat diterapkan kepada urusan praktis. Dengan begitu manfaat penekunan hukum dari segi antropologis ini adalah gambaran yang lebih mendalam menegenai bekerjanya hukum sebagai penegndalian sosial dan bagaimana hal itu berkaitan dengan nilai-nilai budaya.
C. Metode Pendekatan
1). Metode historis: Cara pendekatan dengan metode historis dengan          dimaksud ialah dengan mempelajari perilaku manusia dan budaya             hukumnya dengan kecamat sejarah.
2). Metode Normatif-ekploratif: Cara pendekatan dengan metode   normatif eksploratif yang dimaksud ialah mempelajari manusia dan budaya hukumnya dengan bertitik tolak kepada kaidah-kaidah hukum yang sudah ada, baik dalam bentuk kelembagaan maupun dalam bentuk perilaku.
3). Metode Deskriptif Pelaku: Metode ini bertitik tolak dari hukum eksplisit (terang dan jelas) aturannya, yang fositif dinyatakan berlaku, tetapi yang diutamakannya adalah kenyataan-kenyataan hukum yang benar benar nempak dalam situasi hukum atau peristiwa hukumnya.
4).  Metode Studi Kasus: Dalam pendekatan antropologi hukum dengan metode studi kasus dipelajari kasus-kasus peristiwa     hukum yang terjadi, terutama kasus-kasus perselisihan.

2.3 SEJARAH HUKUM
               Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang   mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem hukum dalam masyarakat    tertentu dan memperbandingkan atara hukum yang berbeda karena dibatasi         waktu yang berbeda pula.
               Sebagai suatu cabang ilmu sejarah, sejarah hukum terus        berkembang dari zaman ke zaman. Perkembangan sejarah tentang hukum       terjadi dengan berbagai model, sebagai berikut:
1). Pada umumnya, perkembangan hukum terjadi secara evolutif linier menuju ke arah yang lebih baik, logis, efektif, dan efisien.
2). Dalam keadaan linier, sekali-sekali terjadi perkembangan dengan arah zig-zag, semacam revolusi dalam perkembangan hukum dengan melaju secara cepat dan linier.
3).  Banyak juga perkembangan hukum terjadi secara evolutif, tetapi dengan arah melingkar, sehingga menghasilkan hukum yang berorientasi kembali ke masa lalu.
             Perkembangan metode dan ilmu sejarah hukum terbilang relatif l     ambat, karena sejarah hukum ini baru dikenal semenjak ahli hukum, yaitu   Von Savigny, mencetuskan teori historical jurisprudence. Keterlambatan        lahir dan perkembangan sejarah hukum disebabkan oleh beberapa faktor     sebagai berikut:
1). Kuatnya pengaruh ajaran hukum alam yang modern maupun klasik, dengan mengandalkan logika, dengan mengembangkan cara berfikir bahwa seolah-olah semua masalah hukum dapat dipecahkan dengan akal sehat menuju satu hukum yang rasional yang dapat berlaku dimana-mana. Dalam hal ini, hukum yang baik dapat direnungkan di tempat-tempay sepi, tanpa perlu melihat kenyataan dalam sejarah umat manusia.
2).   Kuatnya pengaruh paham agama dalam bidang hukum terjadi sejak dahulu kala. Namun, terutama dizaman pertengahan, manusia memandang hukum berasal dari atas (dari Tuhan), dimana manusia wajib mengikutinya tanpa syarat. Hal itu memutus mata rantai hukum dengan masa lalu secara revolutif.
3). Kuatnya pengaruh paham positivisme dalam hukum, terutama di abad 18 dan 19, yang mengarahkan pendangan orang tentang hukum yang terjadi saat itu saja, sebagaimana yang tertulis dalam undang-undang atau sebagaimana diperintahkan oleh penguasa
        Selanjutnya, dalam sejarah terlihat bahwa kaidah-kaidah hukum      dikembangkan oleh berbagai pihak yang dicatat oleh sejarah, tetapi       umumnya tidak tercatat siapa pengembangnya. Para pengembang kaidah         hukum yang kemudian menjadi sejarah hukum ialah sebagai berikut:
a.       Tuhan dan rasul yang melahirkan kaidah-kaidah hukum agama bagiyangpercaya kepada agama.
b.      Orang-orang bijak dalam sejarah yang melahirkan berbagai hukum adat dan hukum kebiasaan, tetapi tidak pernah dicatat namanya oleh sejarah.
c.       Para pengomando pembuat undang-undang dan kondifikasi, seperti raja Hammurabi (dari Kerajaan Babilonia) yang melahirkan yang melahirkan undang-undang Hammurabi.
d.      Para pembuat undang-undang dan peraturan yang berlaku sehari-hari, umumnya mewakili lembaga tertentu.
e.       Para hakim yang melahirkan hukum yurisprudensi, yang umumnya tidak dikenal dalam sejarah hukum di negara-nega Eropa Kontinental, meskipun sering kali dikenal dalam sejarah hukum Anglo Saxon.

2.4 PSIKOLOGI HUKUM
                Psikologi hukum adalah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum  sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour) maka dalam kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia
      Suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi sosial. Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seperti tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain-lain sebagainya yang menunjukkan hubungan antara hukum sengan psikologi. Contoh studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon Petrazycki ( 1867-1931) , ahli filsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan menempatkannya sebagai unsur utama.

2.5  FILSAFAT HUKUM
                        Untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia yang disebut dengan etika atau filsafat tingkah laku. Jadi, tepat dikatakan bahwa filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat hukum sebagai subspecies.
                        Filsafat hukum sebagai sub dari cabang filsafat manusia, yaitu etika mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut hakikat. Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan memberikan definisi dari hukum. Definisi hukum sangat bervariasi tergantung dari sudut pandang para ahli hukum.
                        Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.

      2.6 POLITIK HUKUM
      Menurut Satjipto Rahardjo, ia mengartikan bahwa politik hukum merupakan suatu bidang studi hukum yang kegiatannya memilih atau menentukan hukum mana yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh masyarakat. Sementara menurut Mahfuf M.D ialah bahwa hukum merupakan produk politik, sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya.
      Dengan segenap cakrawala atas pengertian politik hukum itu, dapat disimpulkan bahwa politik hukum itu merupakan suatu sistem ajaran hukum khusus yang memanfaatkan sistem ajaran hukum umum (ilmu hukum dan filsafat hukum) dalam rangka menyediakan instrumen/alat-alat ataupun sarana yang dapat digunakan sebagai landasan akademik bagi teknologi hukum yang berupa penelitian hukum, pembentukan hukum, penemuan hukum, pelaksanaan/penegakkan hukum dan landasan akademik untuk pemberlakuan tata hukum dalam upaya mencapai tujuan hukum yang dikehendaki oleh suatu masyarakat hukum.
     Ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum  adalah meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik

4. PENGERTIAN DASAR TENTANG HUKUM
A. Pengertian Hukum
Hukum berasal dari bahasa arab yang berbentuk mufrad (tunggal). Kata jamaknya diambil alih dalam bahasa indonesia menjadi “hukum”. Hukum juga dinamakan recht yang berasal dari kata rechtum, di ambil dari bahasa latin yang berarti pimpinan atau tuntunan atau pemerintahan.

Di dalam ilmu ushul fiqih terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum, yaitu hukum (الحكم), hakim (الحاكم), mahkum fihi (محكوم فيه), dan mahkum ‘alaih (محكوم عليه). Secara bahasa hukum (الحكم) berarti man’u (المنع) yang berarti “mencegah”, hukum juga berarti qadla’ (القضاء) yang berarti “putusan”.

Adapun secara istilah, pengertian hukum menurut ulama’ ushul yaitu:

الحكم هو خطاب الشارع المتعلق بافعال المكلفين , طلبا او تخييرا او وضعا.

“Hukum adalah khitab syari’ (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan seoarang mukallaf, berupa tuntutan, pilihan ataupun ketetapan.

Dapat disimpulkan bahwa hukum bermakna sebuah ketentuan atau peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan dan bagi yang melanggarnya akan mendapatkan hukuman atau sanksi sesuai dengan kesalahan yang diperbuat.

B. Pengertian Hukum Menurut Ahli
    1. Van Kan
Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
    2. Wiryono Kusumo
Hukum adalah keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi.


    3. Aristoteles
Hukum adalah kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.
    4. Utrecht
Hukum adalah himpunan peraturan berupa perintah ataupun larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.

C. Pengertian Hukum Dalam Islam           
Hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah : Khithab Syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang – orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan. 
Hukum menurut bahasa, artinya : “ Menetapkan sesuatu atas sesuatu ” اثبات شئ على شئ sedang menurut istilah, ialah : “Khithab (titah) Allah, atau sabda Nabi Muhammad s.a.w.yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik titah itu mengandung tuntutan suruhan , larangan atau membolehkan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebab, syarat atau memperbolehkan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang (mâni’) bagi sesuatu hukum “

D. Tujuan Hukum
Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat diselesaikan melalui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, selain itu hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Dalam Islam, hukum tentunya berasal dari Allah melalui Rasulullah dengan dua dasar sumber hukum umat Islam yaitu Al-Quran dan Hadis dengan tujuan untuk mengatur kehidupan manusia dan perjalanan aktivitas manusia dengan melaksankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah swt.
5. SUMBER – SUMBER HUKUM
ada 2 sumber hukum yatu sumber hukum dalam arti materil dan formil.
a.       Sumber hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah faktor yg turut serta menentukan isi hukum. Dapat ditinjau dari berbagai sudut misalnya sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, agama, dll. Dalam kata lain sumber hukum materil adalah faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat UU, pengaruh terhadap keputusan hakim, dsb). Atau faktor yang ikut mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum, atau tempat darimana materi hukum tiu diambil. Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.
Faktor idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk UU ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya.
Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dll
Dalam berbagai kepustakan hukum ditemukan bahwa sumber hukum materil itu terdiri dari tiga jenis yaitu (van Apeldoorn) :
1.    Sumber hukum historis (rechtsbron in historischezin) yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum ini dibagi menjadi :
-          Sumber hukum yg merupakan tempat dapat ditemukan atau dikenal hukum secara historis : dokumen-dokumen kuno, lontar, dll.
-          Sumber hukum yg merupakan tempat pembentuk UU mengambil hukumnya.

2.    Sumber hukum sosiologis (rechtsbron in sociologischezin) yaitu Sumber hukum dalam arti sosiologis yaitu merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, seperti misalnya keadaan agama, pandangan agama, kebudayaan dsb.

3.    Sumber hukum filosofis (rechtsbron in filosofischezin) sumber hukum ini dibagi lebih lanjut menjadi dua :
Sumber isi hukum; disini dinyatakan isi hukum asalnya darimana.
Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini yaitu :
-          pandangan theocratis, menurut pandangan ini hukum berasal dari Tuhan
-          pandangan hukum kodrat; menurut pandangan ini isi hukum berasal dari akal manusia
-          pandangan mazhab hostoris; menurut pandangan isi hukum berasal dari kesadaran hukum.
b.      Sumber hukum formal
Sumber hukum formal adalah sumber hukum dengan bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formal. Jadi sumber hukum formal merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum.
Apa beda antara undang-undang dengan peraturan perundang-undangan ? Undang-undang dibuat oleh DPR persetujuan presiden, sedangkan peraturan perundang-undangan dibuat berdasarkan wewenang masing-masing pembuatnya, seperti PP, dll atau
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1 ayat 2 UU No. 10 tahun 2004)
A.       Macam-macam sumber hukum formal :
a.         Undang-undang,
yaitu suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara
Menurut Buys, Undang-Undang itu mempunyai 2 arti :
·         Dalam arti formil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang merupakan UU karena cara pembuatannya (misalnya, dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan parlemen)
·         Dalam arti material, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat setiap penduduk.
Menurut UU No. 10 tahun 2004 yang dimaksud dengan UU adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden (pasal 1 angka 3)
Syarat berlakunya ialah diundangkannya dalam lembaran negara (LN = staatsblad) dulu oleh Menteri/Sekretaris negara. Sekarang oleh Menkuhham (UU No. 10 tahun 2004). Tujuannya agar setiap orang dapat mengetahui UU tersebut (fictie=setiap orang dianggap tahu akan UU = iedereen wordt geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare consetur= in dubio proreo, latin).
Konsekuensinya adalah ketika seseorang melanggar ketentuan hukum tidak boleh beralasan bahwa ketentuan hukum itu tidak diketahuinya. Artinya apabila suatu ketentuan perundang-undangan itu sudah diberlakukan (diundangkan) maka dianggap (difiksikan) bahwa semua orang telah mengetahuinya dan untuk itu harus ditaati.
Berakhirnya/tidak berlaku lagi jika :
a.       Jangka waktu berlakunya telah ditentukan UU itu sudah lampau
b.      Keadaan atau hal untuk mana UU itu diadakan sudah tidak ada lagi .
c.       UU itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi.
d.      Telah ada UU yang baru yang isinya bertentangan atau berlainan dgn UU yg dulu berlaku.
b.      Kebiasaan (custom)
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikan rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Namun demikian tdk semua kebiasaan itu pasti mengandung hukum yg baik dan adil oleh sebab itu belum tentu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi sumber hukum formal.
Adat kebiasaan tertentu di daerah hukum adat tertentu yg justru sekarang ini dilarang untuk diberlakukan karena dirasakan tidak adil dan tidak berperikemanusiaan sehingga bertentangan denagan Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum, misalnya jika berbuat susila/zinah, perlakunya ditelanjangi kekeliling kampung.
Untuk timbulnya hukum kebiasaan diperlukan beberapa syarat :
1.      Adanya perbuatan tertentu yg dilakukan berulang2 di dalam masyarakat tertentu (syarat materiil)
2.      Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan (opinio necessitatis = bahwa perbuatan tsb merupakan kewajiban hukum atau demikianlah seharusnya) = syarat intelektual
3.      Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.
Selanjutnya kebiasaan akan menjadi hukum kebiasaan karena kebiasaan tersebut dirumuskan hakim dalam putusannya. Selanjutnya berarti kebiasaan adalah sumber hukum.
Kebiasaan adalah bukan hukum apabila UU tidak menunjuknya (pasal 15 AB = (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia = ketentuan2 umum tentang peraturan per UU an untuk Indonesia
c.       Jurisprudensi (keputusan2 hakim)
Adalah keputusan hakim yang terdahulu yag dijadikan dasar pada keputusan hakim lain sehingga kemudian keputusan ini menjelma menjadi keputusan hakim yang tetap terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu.
Seorang hakim mengkuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia sependapat dgn isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang sama.
Ada 2 jenis yurisprudensi :
1.      Yurisprudensi tetap keputusan hakim yg terjadi karena rangkaian keputusan yang serupa dan dijadikan dasar atau patokanuntuk memutuskan suatu perkara (standart arresten)
2.      Yurisprudensi tidak tetap, ialah keputusan hakim terdahulu yang bukan standart arresten.
d.       Traktat (treaty)
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh 2 negara atau lebih yang mengikat tidak saja kepada masing-masing negara itu melainkan mengikat pula warga negara-negara dari negara-negara yang berkepentingan.
Macam-macam Traktat :
a.       Traktat bilateral, yaitu traktat yang diadakan hanya oleh 2 negara, misalnya perjanjian internasional yang diadakan diadakan antara pemerintah RI dengan pemerintah RRC tentang “Dwikewarganegaraan”.
b.      Traktat multilateral, yaitu perjanjian internaisonal yang diikuti oleh beberapa negara, misalnya perjanjian tentang pertahanan negara bersama negara-negara Eropa (NATO) yang diikuti oleh beberapa negara Eropa.

e.       Perjanjian (overeenkomst) adalah suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Para pihak yang telah saling sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya (asas (pact sunt servanda).

6. SISTEM HUKUM DAN KLASIFIKASI HUKUM
1. SISTEM HUKUM
A. Pengertian Sistem Hukum
Menurut Sudikno Mertukusumo, sistem hukum merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh, yaitu kaidah atau pernyataan tentang yang seharusnya sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif. Dengan kata lain, sistem hukum adalah kumpulan unsur yang ada dalam interaksi yang antara satu dan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerja sama pada arah tujuan kesatuan.
Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri terlepas satu dan lain, tetapi saling terkait. Arti pentingnya adalah bahwa setiap bagian terletak pada ikatan sistem, dalam kesatuan dan hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lainnya.
Sistem hukum adalah kesatuan hukum yang terdiri atas bagian-bagian hukum sebagai unsur pendunkung. Masing-masing bagian atau unsur tersebut saling berhubungan dan bersifat fungsional, resiprokal (timbal-balik), pengaruh-mempengaruhi, dan saling ketergantungan (independen).

B.      Hukum Merupakan Suatu Sistem
Bagian-bagian dari hukum merupakan unsur-unsur yang mendukung hukum sebagai satu kesatuan (integral) dalam suatu jaringan dengan hubungan yang fungsional, respirokal, dan interpedensi. Misalnya HTN, HAN, hukum pidana, hukum perdata, hukum islam, dan seterusnya yang mengarah pada tujuan yang sama, yaitu mencipyakan kepastian hukum, keadilan dan kegunaan.
Untuk mecapai suatu tujuan dari kesatuan hukum, diperlukan kerjasama antara bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana dan pola tertentu. Dalam sistem hukum yang baik, tidak boleh terjadi pertentangan atau tumpang tindih diantara bagian-bagian yang ada. Jika pertentangan terjadi, maka sistem hukum itu sendiri yang menyelesaikannya sehingga tidak akan berlarut.
Hukum yang merupakan sistem tersusun atas sejumlah bagian yang masing-masing merupakan sistem yang dinamakan subsistem. Semua itu bersama-sama merupakan satu kesatuan yang utuh. Misalnya sistem hukum positif di Indonesia, terdapat subsistem hukum perdata, subsistem hukum pidana, subsistem hukum tata negara, subsistem hhuku islam, subsistem hukum administrasi negara, dan lain-lain yang satu dan yang lainnya saling berbeda. Sistem hukum di dunia ini ada bermacam-macam, yang satu dan yang lainnya saling berbeda.
Sistem hukum menunjukkan adanya unsur-unsur dan sifat hubungannya, sedangkan tata hukum menunjukkan struktur dan proses hubungan dari unsur-unsur hukum. Pembagian sistem hukum dapat dilihat dari peraturan atau norma hukum yang kemudian dikelompokkan dan disusun dalam suatu struktur atau keseluruhan dari berbagai struktur.

C.      Sistem Hukum di Indonesia
Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan keadilan yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku sekaranag di Indonesia. Sebagai hukum nasional, berlakunya hukum di Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan ditujukan pada subjek dan objek hukum tertentu pula. Hukum Indonesia sebagai perlengkapan masyarakat ini berfungsi untuk menintegrasikan kepentingan-kepentingan masyarakat shingga menciptakan ketertiban dan keteraturan. Karena hukum mengatur hubungan antar manusia. Ukuran hubungan tersebut adalah keadilan.
Hukum Indonesia pada dasarnya merupakan suatu sistem yang terdiri atas unsur-unsur atau bagian-bagian yang satu dan yang lainnya saling berkaitan dan berhubungan untuk mecapai tujuan yang didasarkan didalam UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila. Sebagai suatu sistem, sistem hukum di Indonesia telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan konflik diantara unsur-unsurnya. Sistem hukum Indonesia juga bersifat terbuka, sehinggan disamping faktor diluar sistem, sistem hukum Indonesia juga menerima penafsiran lain.
Salah satu hal yang spesifik dari sistem hukum Indonesia dan sistem hukum negara lain adalah tekad untuk tidak melanjutkan hukum warisan pemerintah kolonial yang pernah menjajahnya. Tekad ini direalisasikan dengan melakukan perubahan fundamental pada hukum warisan kolonial.
Perubahan yang dilakukan meliputi :
a.       Melakukan unufikasi terhadap KUHP;
b.      Menghapus sistem pembagian golongan;
c.       Memberlakukan satu sistem peradilan umum diseluruh Indonesia dengan menghapuskan perbedaan sistem peradilan yang sempat ada pada masa pemerintahan kolonial.
Ciri khas lain dari hukum Indonesia adalah:
a.       Diberlakukannya keanekaragaman hukum perdata;
b.      Berlakunya hukum tidak tertulis disamping hukum tertuli (hukum adat);
c.       Membentuk hukum nasional yang mampu mengikuti perkembangan masyarakat dan tetap mewadahi keanekaragaman hukum adat.
2. Klasifikasi Hukum
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum eropa,hukum agama dan hukum adat.sebagian besar sistem yang dianut  baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum eropa kontinental,khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu.
ada beberapa macam-macam klasifikasi hukum yaitu :

1.      Klasifikasi hukum berdasarkan sifatnya
Drs E.Utrecht,SH dalam bukunya yang berjudul “pengantar hukum Indonesia” (1953) telah membuat suatu batasan.Utrecht memberi batasan hukum sebagai berikut : ” Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah atau larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena harus ditaati masyarakat itu.akan tetapi tidaklah semua orang mau menaati kaedah-kaedah hukum itu ,maka peraturan kemasyarakatan itu harus dilengkapi dengan unsur memaksa.
dengan demikian hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa.hukum merupakan peraturan-peraturan hidup masyarakat yang dapat memaksa orang supaya menaati tata tertib dalam masyarakat serta memberi sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh untuk menaatinya.
2.      Klasifikasi hukum berdasarkan fungsinya
Hukum ialah untuk mengatur,sebagai petugas,serta sebagai sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban.yang diatur oleh hukum adalah peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat,adanya sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas,bersifat memaksa dan peraturan hukum itu diadakan oleh badan-badan resmi.
Hukum yang diciptakan penguasa memiliki 3 tujuan yang hendak dicapai.ada 3 teori yang menjelaskan tentang tujuan hukum yaitu :
·         Teori etis :Tujuan hukum untuk mencapai keadilan.
·         Teori utilitas : Tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan manusia.
·         Teori campuran: Tujuan hukum untuk mencapai ketertiban dan keadilan.
Tujuan hukum negara Republik Indonesia menurut hukum positif tertuang dalam alinea ke empat UUD 1945 yaitu “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Secara umum fungsi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yaitu :
·         Alat ketertiban dan keteraturan masyarakat
·         Sarana mewujudkan keadilan sosial
·         Alat penggerak pembangunan nasional
·         Alat kritik
·         Sarana penyelesaian sengketa dan perselisihan.
3.      Klasifikasi hukum berdasarkan isinya
Klasifikasi hukum berdasarkan isinya  yaitu adanya hukum privat dan hukum publik. Hukum Privat adalah salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subjek hukum dan hubungan antara subjek hukum.
Hukum perdata disebut pula sebagai  hukum privat atau hukum sipil.Hukum Privat ialah termasuk hukum pribadi,hukum keluarga,hukum kekayaan dan hukum waris,contohnya : Seseorang melakukan perjanjian jual beli.
Hukum publik adalah bidang hukum dimana subjek hukum bersangkutan dengan subjek hukum lainnya.Maksudnya adalah jika seseorang melanggar atau melakukan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,perbuatan mana diancam dengan hukuman.Contoh hukum publik yaitu :Hukum pidana,Hukum tata negara,hukum administrasi negara.
4.      Klasifikasi hukum berdasarkan waktu berlakunya
Hukum berdasarkan waktu berlakunya  berdasarkan hukum positif atau tata hukum  yang dikenal dengan istilah ius constitutum sebagai lawan kata dari ius constituendum yakni perbuatan hukum yang berdampak positif bagi masyaraka.Contohnya seseorang ingin mencuri,tetapi seseorang tersebut tidak jadi mencuri karena mengetahui adanya hukuman atau sanksi bagi yang melakukan perbuatan tersebut.
5.      Klasifikasi hukum berdasarkan bentuknya/wujudnya
Hukum menurut bentuknya dapat dibedakan menjadi :
·         Hukum tertulis (Statute law = Written law) yaitu hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan suatu negara Misalnya : Undang-undang dasar 1945,Peraturan pemerintah,Peraturan presiden,Peraturan daerah.
·         Hukum tak tertulis (Unstatutery law = unwritten law) yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat,tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu perundangan (disebut hukum kebiasaan),hukum adat.

6.      Klasifikasi hukum berdasarkan waktu berlakunya
Contoh-contoh hukum berdasarkan waktu berlakunya yaitu :
·         Hukum nasional,yaitu hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan,misalnya hukum nasional Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan menempatkan UUD 1945  sebagai hukum positif tertinggi.
·         Hukum Internasional,yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang terjadi dalam pergaulan Internasional.
·         Hukum asing,yaitu hukum yang berlaku di negara lain.
·         Hukum gereja,yaitu hukum yang ditetapkan oleh gereja bagi jemaatnya.

7.      Klasifikasi hukum berdasarkan daya kerjanya
Klasifikasi hukum berdasarkan daya kerjanya yaitu :
·         Hukum yang bersifat mengatur atau fakultatif atau subsidiair atau perlengkapan dispositif,yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak.
·         Hukum yang bersifat memaksa atau imperatif (dwigendrecht) yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak,yang berarti kaedah hukumnya bersifat mengikat dan memaksa,tidak diberi wewenang lain  selain apa yang telah ditentukan Undang-undang .sedangkan hukum yang mengatur kepentingan perseorangan atau kepentingan khusus bersifat mengatur.

Ada 3 pedoman untuk mengetahui hukum itu bersifat memaksa atau bersifat mengatur yaitu
  • Berdasarkan pasal 23 AB.yang menentukan bahwa suatu perbuatan atau perjanjian tidak dapat meniadakan kekuatan Undang-undang  yang berhubungan dengan ketertiban umum dan kesusilaan,dapat disimpulkan bahwa hak-hak yang berhubungan dengan ketertiban umum kesusilaan itu bersifat memaksa.
  • Dengan membaca dari bunyi peraturan bersangkutan  dapat diketahui bahwa suatu peraturan itu bersifat memaksa atau tidak.Contohnya : Pasal 1447 KUH Perdata yang menentukan bahwa penyerahan harus dilakukan ditempat dimana barang yang terjual berada pada waktu penjualan.
  • Dengan jalan interprestasi dapat diketahui bahwa peraturan hukum tersebut bersifat memaksa atau tidak.Contohnya : pasal 1368 KUH Perdata yang menentukan bahwa pemilik seekor binatang ,atau siapa yang memakainya ,adalah selama binatang itu dipakainya bertanggung jawab terhadap kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut,baik binatang itu ada dibawah pengawasannya,maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya.

7. PENAFSIRAN HUKUM
Penafsiran hukum atau interpretasi adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya.
Hukum harus ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, dan dalam upaya penegakkan hukum itu hakim sebagai penegak hukum akan dihadapkan pada pelbagai kaidah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum yang dikodifikasikan umumnya bersifat statis. Ketidaksempurnaan  dan ketidaklengkapan senantiasa menjadi hukum tertulis, sekalipum kodifikasi telah diatur sedemikian rupa. Hal ini di sebabkan oleh danya hal-hal yang tidak atau belum terjadi pada waktu kodifikasi seperti aliran listrik  yang ada sekarang. Dengan demikian aliran listrik yang dikontrol tanpa izin dikatakan sebagai pencuri,yang diatur dalam pasal 362 KUHP pidana.
Dalam menjalankan tugasnya, hakim harus berpedoman kepada kodifikasi agar mendapat kepastian hukum.dalam hal ini, Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang pada Undang-Undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid (ketertarikan yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal 20 AB (yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). Dan pasal 22 AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak mengadili perkaratersebut dapat dituntut. Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum (rechtsverfijning dan argumentum a contracio. Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang[3]
Isi Undang-Undang kadang-kadang tidak jelas susunan katanya, juga tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran atau interpretatie  terhadapUndang-Undang itu perlu.

 Ada beberapa metode penafsiran hukum yang lazim diterapkan yaitu :
1.       Penafsiran Gramatikal, yaitu penafsiran berdasarkan tata bahasa, yang karena itu hanya mengingat bunyi kata-kata dalam kalimat itu sendiri (penjelasan Undang-Undang menurut susunan kata-katanya)
 Dengan menggunakan interpretasi gramatikal, maka pengadilan dapat menyimpulkan bahwa;
a.       Naskah Undang-Undang tersebut jelas mengatur perkaranya; atau
b.      Ada dua naskah atau lebih solusi/pendektan yang dapat dipilih; atau
c.       Naskah Undang-Undang trsebut, yang tersusun dalam kalimat, tidak mudah terpengaruh oleh soslusi.
Contoh suatu peraturan melarang orang memparkirkan kendaraannya di suatu tempat.

2.      Penafsiran Historis atau Sejarah, adalah meneliti sejarah dari Undang-Undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya.
Penafsiran historis dibedakan menjadi dua yaitu :
a.       Sejarah hukum, konteks, perkembangan yang telah lalu dari hukm tertentu seperti  KUHP, BW, hukum romawi dan sebagainya.
b.      Sejarah Undang-Undang, yaitu penelitian terhadap pembentukan Undang-Undang tersebut, seperti ketentuan denda dalam KUHP pidana, sekarang dikalikan lima belas mendekati harga-harga pada waktu KUHP Pidana itu dibentuk.
Contoh : seseorang yang melanggar okum didenda sebesar Rp. 500,-, maka denda sebesar itu jika diterapkan pada zaman sekarang jelas tidak sesuai, oleh karena itu harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan harga yang sekarang ini.

3.      Penafsiran Sistematis, yaitu dengan cara mempelajari sitem dan rumusanUndang-Undang ; yang meliputi:
a.        Penalaran analogi dan penalaran a kontario. Penggunaan a kontario yaitu  memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal undang-undang secara kebalikan. Sedangkan analogi berarti pengluasan berlakunya kaidah Undang-Undang.
b.       Penafsiran ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah terdahulusecara logis tak ada perbedaan).
c.        Penghalusan atau pengkhususan berlakaunya undang-undang.
Contoh: asas okumy dalam pasal 27 KUHPerdata menjadi dasar pada pasal 34, 60, 86, dan KUHPerdata.

4.   Penafsiran Teleologis/Sosiologis, yaitu penafsiran berdasarkan  maksud atau tujuan dibuatnya Undang-Undang itu dan ini meningkatkan kebutuhan manusia yang selalu berubah menurut masa, sedangkan bunyi Undang-Undang tetap dan tidak berubah. Contoh walaupun Undang-Undang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan akan tetapi jika Undang-Undang itu masih berlaku, maka tetap diterapkan terhadap kejadian atau peristiwa masa sekarang.

5.      Penafsiran Authentic (Sahih dan Resmi), yaitu membersihkan penafsiran yang pasti sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang itu sendiri.
Misal pasal 98 KUHP, dinyatakan malam, hal ini yang dimaksud adalah waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit, dan pasal 100 KUHP, dinyatakan binatang ternak, yang dimaksudkan di sini adalah binatang yang berkuku satu, mamah biak, dan babi.

6.       Penafsiran Ektensis (Luas), Yaitu menafsirkan berdasarkan luasnya arti kata dalam peraturan itu, sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkannya, seperti : aliran listrik dapat dimasukkan kedalam kata benda, karena itu ada yang berwujud dan yang tidak berwujud. Contoh aliran listrik termasuk benda.

7.      Penafsiran Analogi, sesungguhnya hal ini sudah tidak termasuk interpretasi, karena analogi sama dengan qiyas, yaitu okum ibarat dengan kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya,  sehingga sesuai peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian di anggap sesuai dengan bunyi aturan tersebut, misalnya, menyambung atau menyantol aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik. Misalnya: Hakim cari Undang-Undang untuk yang tepat untuk mengadili perkara kalau Undang-Undang tidak ada, maka ia lari ke:
a.       Yurisprudensi;
b.      Dalil okum adat;
c.       Melakukan Undang-Undang secara analogi (kontruksi okum).
Hakim kalau dalam melakukan Undang-Undang secara analogi ini harus berhati-hati dalam penggunaannya, maka ada hal-hal yang harus diperhatikan berikut ini:
a.       Apabila ada perkara yang dihadapi dan perkara yang diatur oleh Undang-Undang cukup persamaannya, sehingga penerapan asas yang sama dapat dipertanggung jawabkan serta tidak bertentangan dengan asas keadilan
b.      Apabila keadilan yang tertarik dari analogi okum itu serasi dan cocok dengan sitem serta maksud perundang-undangan yang ada.
Tujuan melakukan secara analogi adalah untuk mengisi kekosongan dalam Undang-Undang.

8.      Penafsiran Restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata dalam peraturan itu, misalnya, kerugian tidak termasuk kerugian yang terwujud seperti sakit, cacat, dan sebagainya..

9.      Penafsiran Nasional, yaitu cara penafsiran dengan menilik sesuai tidaknya dengan okum okum yang berlaku. Contoh pasal 570 KUHPerdata. sekarang harus ditasirkan menurut hak milik yang sesuai dengan okum Indonesia yaitu pasal 20 ayat1. Undang-Undang Pokok Agraria.

10.  Penafsiran a Contrario (Menurut Pengingkaran), yaitu suatu cara menafsirkan Undang-Undang yang didasarkan pada perlawanan pengertuian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu Undang-Undang. Berdasarkan perlawanan (pengingkaran) itu ditarik kesimpulan bahwa soal yang dihadapi tiu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud/ berada di luar pasal itu. Misalnhya pasal 15676 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Penjualan benda yang disewakan tidak menyebabkan putusannya sewa menyewa”. Bagaimana kalau peristiwa penghibahan? Di dalam pasal 1576 KUH Perdata itu tertulis“penjualan” bukan “penghibahan.” Contoh lain pasal 34 KUH Perdata berbunyi bahwa; “seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebekum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan.”
Bagaimana halnya bagi seorang laki-laki? Waktu tunggu 300 hari? Jawabannya tidak, karena pasal 34 KUH Perdata itu tidak menyebutkan bagi laki-laki, tetapi harus ditujukan kepada seorang perempuan.
Maksud waktu menunggu dalam pasal 34 KUH Perdata bagi seorang perempuan itu adalah untuk mencegah adanya keraguan mengenai kedudukan sang anak, ditetapkan waktu 300 hari karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama.
Hal-hal tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa dasar berfikir a contrario itu merupakan lawan dari menafsirkan Undang-Undang secara analogis. Karena dasar berfikir a contrario itu sama sekali bukan dalil, bahwa pasal untuk suatu peristiwa tertentu juga dapat diadakan peraturan tersendiri itu, sudah bukti yang jelas bahwa peng Undang-Undang tidak menghendaki peristiwa yang serupa itu termasuk diatur juga

11.  Penafsiran Perbandingan yaitu penafsiran komparatif dengan cara membandingkan penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang

8. KODIFIKASI HUKUM
A. Pengertian Kodifikasi
 hukum secara umum adalah suatu langkah pengkitaban hukum atau penulisan hukum ke dalam suatu kitab undang-undang (codex) yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah.
      Beberapa contoh hukum yang telah dikodifikasikan di Indonesia adalah:
  • Hukum pidana yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
  • Hukum perdata yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
  • Hukum dagang yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
  • Hukum acara pidana yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

     Menurut bentuknya hukum dapat dibedakan antara:
1.     Hukum tertulis (Statute Law = Written Law) yakni hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan-perundangan.
2.     Hukum Tidak Tertulis (unstatutery Law = Unwritten Law ) yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu perundang-undangan (disebut juga hukum kebiasaan)
3.      Mengenai hukum tertulis, ada yang telah dikodifikasikan, dan yang belum dikodifikasikan. Jelas bahwa unsur-unsur kodifikasi ialah
a.  Jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum perdata)
b.  Sistematis
c.  Lengkap

B. Tujuan Kodifikasi Hukum
             Adapun tujuan kodifikasi daripada hukum tertulis adalah untuk memperoleh :
1.      Kepastian hukum
          Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
         Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, padangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan. Barangkali juga pernah dilakukan untuk mengelola keberingasan para koboy Amerika ratusan tahun lalu.
        Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descarte (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat dimauti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukuman-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.
           Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan dihadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and order kemudian hanya cukup untukthe order of law, bukan the order by the law (ctt: law dalam pengertian peraturan/legal).
             Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar. Demikian juga dengan mekanika Newton. Bahkan Mekanika Newton pun sudah dua kali dihantukkan dalam perkembangan ilmu alam itu sendiri, yaitu Teori Relativitas dari Einstein dan Fisika Kuantum. 

2.      Penyederhanaan hukum
Simple dan sederhana, tidak bersifat ambigu, mudah dipahami, pasal tidak terlalu banyak, sehingga tidak menimbulkan persepsi yang beragam pula cara penyederhanaan hukum adalah dengan cara mengikuti aturan teknis dalam UU yang bersangkutan, yakni UU no 12 tahun 2011
3.      Kesatuan hukum
Jika suatu hukum membahas tentang suau perkara, maka perkara itu saja yang dibahas, tidak melebar ke perkara yang lainnya. Contoh : Hukum Bea dan Cukai mengatur peraturan tentang kepabeanan dan cukai saja, sedangkan pajak dan anggaran negara tidak dibahas di dalamnya.
C. Sistematika Kodifikasi Hukum
     Sistematika artinya susunan yang teratur secara sistematis. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang diatur dari suatu kodifikasi. Sistematika meliputi bentuk dan isi kodifikasi. Sistematika kodifikasi hukum perdata meliputi bentuk dan isi. Sistematika bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi urutan bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :
·         Kitab undang – undang tersusun atas buku – buku
·         Tiap buku tersusun atas bab – bab
·         Tiap bab tersusun atas bagian – bagian
·         Tiap bagian tersusun atas pasal – pasal
·         Tiap pasal tersusun atas ayat – ayat
Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kelompok materi berdasarkan sitematika fungsi. Sistematika fungsional ada 2 macam yaitu menurut pembentuk Undang-Undang & menurut ilmu pengetahuan hukum. Sistematika isi menurut pembentukan B.W miliputi 4 kelompok materi sebagai berikut:
a.    Kelompok materi mengenai orang
b.   Kelompok materi mengenai benda
c.    Kelompok nateri mengenai perikatan
d.   Kelompok materi mengenai pembuktian

sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum ada 4 yaitu :
1.      Kelompok materi mengenai orang
2.      Kelompok materi mengenai keluarga
3.      Kelompok materi mengenai harta kekayaan
4.      Kelompok materi mengenai pewarisan
Apabila sistematika bentuk dan isi digabung maka ditemukan bahwa KUHPdt. Terdiri dari :
a.       Buku I mengenai Orang
b.      Buku II mengenai Benda
c.       Buku II mengenai Perikatan
d.      Buku IV mengenai Pembuktian

SISTEMATIKA KUHPdt.
Mengenai sistematika isi ada perbedaan antara sistematika KUHPdt. Berdasarkan pembentuk Undang-Undang dan sistematika KUHPdt. Berdasarkan ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan terjadi, karena latar belakang penyusunannya. Penyusunan KUHPdt. didasarkan pada sistem individualisme sebagai pengaruh revolusi Perancis. Hak milik adalah hak sentral, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak dan kebebasan setiap individu harus dijamin. Sedangkan sisitematika berdasarkan ilmu pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan siklus kehidupan manusia yang selalu melalui proses lahir-dewasa-kawin–cari harta/nafkah hidup–mati (terjadi pewarisan ). Dengan demikian perbedaan sistematika tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
I.       Buku I KUHPdt. memuat ketentuan mengenai manusia pribadi dan keluarga (perkawinan) sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketetuan mengenai pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai pendukung hak dan kewajiban.
II.    Buku II KUHPdt. memuat ketentuan mengenai benda dan waris. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum mengenai keluarga (perkawinan dan segala akibatnya).
III. Buku III KUHPdt. memuat ketentuan mengenai perikatan. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai harta kekayaan yang meliputi benda dan perikatan.
IV. Buku IV KUHPdt. memuat ketentuan mengenai bukti dan daluwarsa. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai pewarisan, sedangkan bukti
9. BERLAKUNYA HUKUM DI INDONESIA
A.    Teori Berlakuya Hukum
Barangkali kita bertanya, “Dari manakah asalnya hukum dan mengapa orang menaati dan tunduk pada hukum?” untuk menjawab hal itu dikenal sebagai teori dan aliran pendapat dalam Ilmu Pengetahuan Hukum.Teori Hukum hakekatnya adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sisem tersebut untuk sebagian yang pentinh dipositifkan.
1.  Teori Hukum Alam
Teori Hukum Alam telah ada sejak Zaman Yunani Kuno yang diajarkan anatara lain oleh Aristoteles, yaotu membagi dua macam hukum, antara lain :
a.       Hukum yang berlaku karena penetapan penguasa negara
b.      Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia tentang baik buruknya, hukum yang asli.
Menurut Aristoteles, pendapat seseorang tentang keaslian adalah berbeda, sehingga seolah-olah tidak ada Hukum Alam yang asli. Namun demikian, keaslian suatu benda atau hal tidaklah tergantung pada waktu dan tempat, terkecuali dalam sesuatu hal tentulah ada.
Berhubung dengan hal itu menurut Aristoteles, Hukum Alam itu adalah Hukum yang oleh orang-orang berpikiran seha dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam.
Thomas van Aquino (1225-1274) berpendapat , bahwa segala kejadian di alam ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu Undang-undang abadi yang menjadi dasar kekusaan dari semua peraturan-peraturan lainnya. Thomas van Aquino Membedakan 4 macam golongan hukum (rechtscategorien) , yaitu Lex aeterna, lex naturalis, lex divina, hukum positif.
a.    Lex aeterna (Hukum Abadi), yaitu rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal yang ada sesuai dengan tujuan dan sifatnya, karena itu merupakan sumber dari segala hukum,
b.   Lex Divina (Hukum Ke-Tuhanan), yaitu sebagian kecil dari rasio Tuhan yang diwahyukan kepada manusia,
c.    lex Naturalis (Hukum Alam), yaitu bagian dari Lex Divina yng dapat ditangkap oleh rasio manusia atau merupakan penjelmaan dari Lex Aeterna di dalam rasio manusia berkat rasio manusia,
d.   Hukum Positif, yaitu hukum yang berlaku sungguh-sungguh di dalam masyarakat.
a.       Manusia dikaruniai Tuhan dengan kemampuan berpikir dan kecakapan untuk dapat membedakan baik dan buruk serta mengenal berbagai peraturan perundangan yang langsung berasal dari Undang-undang abadi itu, dan yang oleh Thomas van Aquino dinamakan Hukum Alam ( Lex Naturalis).
b.      Hugo de Groof (abad ke-17), seorang penganjur Hukum Alam dalam bukunya “ De Jure Belli Ac Pacis” (Tentang Hukum perang dan damai), berpendapat bahwa sumber hukum alam adalah pikiran atau akal manusia. Menurutnya, Hukum Alam adalah pertimbangan pikiran yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Hukum Alam itu merupakan suatu pernyataan pikiran (akal) manusia yang sehat mengenai persioalan apakah suatu perbuatan sesuai dengan kodrat manusia, karena itu apakah perbuatan tersebut diperlukan atau harus ditolak.

2.            Teori Sejarah
Sebagai kontra terhadap Hukum Alam, di Eropa timbul aliran baru yang depelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861) yang terkenal dengan bukunya “Vom Beruf Unserer Zeit Fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (1814).
Von Savigny berpendapat, bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan jiwa atau rohani sesuatu bangsa, selalu ada suatu hubungan yang erat aatara hukum dengan kepribadian sutu bangsa.

 3.            Teori Teokrasi (Teori Ketuhanan)
Teori ini mendasarkan kekuatan hukum atas kepercayaan pada Tuhan. Diterima di dunia barat sampai Zaman Renaissance.
Orang menganggap “Hukum itu Kemauan Tuhan”, dimana hukum ini berlaku atas kehendak Tuhan. Pada masa lampau di Eropa para ahli fikir menganggap dan mengajarkan, bahwa hukum itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dan oleh sebab ituah maka manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada hukum.
Berhubung peraturan perundang-undangan itu ditetapkan Pengusa Negara, maka oleh penganjur Teori Teokrasi diajarkan, bahwa para Penguasa Negara itu mendapat kuasa dari Tuhan, seolah-olah para Raja dan Penguasa lainnya merupakan wakil Tuhan.

4.       Teori Kedaulatan Rakyat
Menurut aliran Rasionalisme ini, bahwa Raja dan Penguasa Negara lainnya memperoleh kekuasaanya itu bukanlah dari Tuhan, tetapi dari rakyatnya.
            Pertimbangan daripada Teori kedaulatan rakyat adalah :
a.       Raja yang seharusnya memerintah rakyat dengan adil, jujur, dan baik hati sesuai dengan kehendak Tuhan. Tetapi kenyataanya Raja banyak yang bertindak sewenag-wenang.
b.      Apabila kedaulatan Raja berasal daru Tuhan, tidak akan terjadi kekalahan Raja satu atas Raja lainnya.
Pada abad ke-18 Jen Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa asas terjadinya suatu negara adalah “Perjanjian Masyarakat (Contrat Social)” yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakt untuk mendirikan suatu negara. Adapun Teori Jen Jacques Rousseau tersebut dikemukakaya dalam buku karyanya yang berjudull “Le Contrat Social” (1762). Teori Jen Jacques Rousseau yang menjadi dasar paham ‘Kedaulatan Rakyat’ mengajarkan, bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan perundang-undangan adalah penjelman rakyat tersebut.
Pada abad ke-19, ”Hukum adalah Kehendak Negara dan Negara mempunyai kekuatan yang tidak terbatas”. Menurut Hans Kelsen (Reine Rechtslehre) dan Wiener Rechtsshule, hukum sebagai “Wille des Staates” yang artinya bahwa hukum adalah “Kemauan Negara”. Menurut Kelsen orang tidak menaati hukum sebab negara menghendakinya, orang taat pada hukum karena ia merasa wajib menaatinya sebagai perintah Negara. Teori ini mendapat pembelaan dari Kranenburg yang beranggapan bahwa sungguh-sungguh hukum itu berfungsi menurut suatu hukum yang real dengan menggunakan metode empiris-analytis.


5.       Teori Kedaulatan Negara
Pada abad ke-19, Teori Perjanjian Masyarakat di tentang oleh teori yang mengatakan, bahwa kekuasaan hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan bersama seluruh anggota masyarakat. Hukum itu ditaati adalah karena negaralah yang menghendakinya. Hukum adalah kehendak negara dan negara itu mempunyai kekuatan (power) yang terbatas.
Teori ini dinamakan Teori Kedaulatan Negara, yang timbul pada abad memuncaknya Ilmu-Ilmu Pengetahuan Alam. Namun demikian, Hans Kelsen mengatakan bahwa orang taat kepada hukum bukan karena negara menghendakinya, tetapi orang taat pada hukum karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah ngara.
Penganjur Teori Kedaulatan Negara, yaitu Hans Kelsen dalam bukunya “Reine Rechtslehre”, bahwa hukum itu adalah tidak lain daripada “Kemauan Negara” atau “Wille des Staates”

         6.     Teori Kedaulatan Hukum
Kedaulatan Negara mendapat pertentangan dari seorang Mahaguru di Universitas Leiden yang bernama Prof. Mr. H. Krabbe. Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre der Rechtssouveraniter”. Menurutnya, hukum itu ada karena tiap-tiap orang memiliki perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanya kaidah yang timbul dari perasaan hukum seseorang, mempunyai kekuasaan / kewibawaan. Suatu peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah terbanyak orang, tidak dapat mengikat. Peraturan perundangan yang demikian bukanlah ‘Hukum’ walaupun ia masih ditaati ataupun dipaksakan.
Kelemahan dari teori ini adalah apabila tiap orang mempunyai anggapan sendiri tentang hukum, maka hukum yang berdasarkan anggapan sendiri itu jumlah dan macamnya tak terhingga, sehingga masyarakat menjadi kacau. Oleh sebab itu, tata tertib masyarakat menghendaki adanya hukum yang sama bagi tiap orang. Melihat kelemahan itu Krabbe kembali mengemukakan pendapatnya hukum berasal dari perasaan hukum dari anggota suatu masyarakat. Dari bermacam-macam teori tersebut dapat disimpulkan sebagian kaidah-kaidah ditaati, oleh karena ada paksaan (sanksi) sosial.
Teori yang timbul pada abad ke-20 ini dinamakan Teori Kedaulatan Hukum. Penganut lainnya Hugo de Groof, Immanuel Khant, dan Leon Duguit.
7.     Teori (Asas) Keseimbangan
Prof. Mr. R. Kranenburg murid dari dan pengganti Prof. Mr. H. Krabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang. Kranenburg membela ajaran Krabbe, bahwa kesadaran hukum orang itu menjadi sumber hukum. Menurutnya, hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata(riil).
Dalil yang nyata yang menjadi dasar befungsinya kesadaran hukum orang dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut :
“Tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dsar yang telah ditetapkan atau diletakan terlebuh dahulu.
Pembagaian keuntungan dan kerugian dalam hal tidak ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, adalah bahwa tiap-tiap anggota masyarakat hukum sederajat dan sama”.
Hukum atau dalil ini oleh Kranenburg dinamakan Asas Keseimbangan, berlaku dimana-mana dan pada waktu apapun.

B.     Hukum ditaati oleh Masyarakat
1.      Keberlakuan Faktual atau Empiris
Kaidah hukum yang berlaku secara faktual atau nyata jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah itu berlaku mematuhi kaidah hukum tersebut. Dengan demikian, keberlakuan faktual dapat ditetapkan dengan bersaranakan penelitian empiris tentang perilaku para warga masyarakat. Kaidah hukum dikatakan memiliki keberlakuan faktual, jika kaidah itu dalam kenyataan sungguh-sungguh di dipatuhi oleh para warga masyarakat dan oleh para pejabat yang berwenang sungguh-sungguh diterapkan dan ditegakkan. Dengan demikian, kaidah hukum tersebut dikatakan efektif. Sebab, berhasil mempengaruhi perilaku para warga dan pejabat masyarakat.
Kenyataan tentang  adanya keberlakuan faktual ini dapat diteliti secara empirikal oleh Sosiologi Hukum, dengan menggunakan metode-metode yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam perspektif Sosiologi Hukum, maka hukum itu tampil sebagai ”das Sein-Sollen”, yakni kenyataan sosiologikal (perilaku sosial yang sungguh-sungguh terjadi dalam kenyataan masyarakat riil) yang mengacu keharusan normatif (kaidah).

2.      Keberlakuan Normatif atau Formal
Hukum formal diketahui dan ditaati sehingga berlaku umum. Selama belum mempunyai bentuk, suatu hukum baru merupakan perasaan hukum dalam masyarakat atau baru merupakan cita-cita hukum, oleh karenanya belum mempunyai kekutan mengikat.
Jika suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk. Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi.
Keberlakuan normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris. Selain itu juga obyek telaahnya berkenaan dengan tuntutan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhanya tidak sepenunya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik.

3.      Keberlakuan Evaluatif
Yaitu jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan. Dari sudut suatu pendekatan kefilsafatan , orang dapat mengatakan bahwa hukum memiliki keberlakuan karena isinya bermakna (keberlakuan evaluatif kefilsafatan atau materil). Hal itu merupakan alasan paling penting bagi masyarakat akan menerima hukum (keberlakuan evaluatif empiris). Jika para warga masyarakat menerima hukum, maka mereka juga akan berperilaku mematuhi hukum (keberlakuan evaluatif faktual atau empiris).

C.    Landasan Kekuatan Mengikat Hukum
Untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan diperlukan landasan, karena landasan ini memberikan pengarahan terhadap perilaku manusia di dalam masyarakat. Landasan hukum merupakan pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkrit. Dalam setiap landasan hukum melihat suatu cita-cita yang hendak di capai.
Oleh karena itu, landasan hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat nya.
Menurut Eikema Hommes, landasan hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Landasan-landasan hukum yang diperlukan bagi pembentukan peraturan perundang-undang dapat dibedakan kedalam :
1.      Landasan hukum yang menentukan politik hukum,
2.      Landasan hukum yang menyangkut proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
3.      Landasan hukum yang menyangkut aspek-aspek formal atau struktual atau organisatoris dari tata hukum nasional,
4.      Landasan hukum yang menentukan cirri dan jiwa tata hukum nasional,
5.      Landasan hukum yang menyangkut subtansi dan peraturan perundang- undangan.

Landasan Hukum yang bukan universal dipengaruhi oleh waktu dan tempat, maka landasan hukum pada suatu Negara tidak sama dengan Negara lain. Landasan hukum itu mengandung nilai- nilai dan tuntutan-tuntutan etik, karenanya landasan hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum (positif) dengan cita-cita sosial dan pandangan etik masyarakat. Melalui landasan hukum ini peraturan- peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian- bagian dari suatu tatanan etik. karena adanya ikatan internal antara landasan- landasan  hukum, maka hukum merupakan suatu sistem, yaitu sistem hukum.

D.    Pandangan Positifisme Hukum
1.      Pelopor Teori Positivisme
Sebagaimana kita ketahui oleh para penstudi hukum, bahwa Pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup.
Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis yaitu August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak.
August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengaharuskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci.
Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Yang dimaksud dengan positifisme hukum adalah hal ditetapkannya dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kewenangan hukum yang berwenang (bevoedge rechtsautoritet). Hukum positif adalah terjemahan dari “ius positum” dalam bahasa latin, yang secara harafiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gested recht). Jadi hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia.
Kaidah hukum positif adalah kaidah yang pada suatu waktu tertentu di tempat atau masyarakat tertentu berlaku dan ditegakkan sebagai hukum bagi orang-orang tertentu.          

Secara umum, kaidah hukum positif ini mempunyai ciri-ciri obyektif berikut ini :
a.       Bagian terbanyak dari kaidah-kaidah ini ditetapkan oleh kekuasaan yang berwenang (pemerintah atau otoritas publik).
b.      Memiliki sifat lugas, obyektif dan rasional. Artinya, dapat dikenal, dan tidak tergantung pada kehendak bebas yang subyektif, dan hampir selalu merupakan hasil dari suatu proses rasional melalui prosedur yang diatur secara cermat.
c.       Berkaitan dengan perilaku lahiriah yang dapat diamati.
d.      Memiliki cara keberadaan yang khas, yang disebut keberlakuan yang mencakup tiga faspek, yakni aspek moral, aspek sosial dan aspek yuridis.
e.       Memiliki bentuk tertentu, yakni memiliki struktur formal.
f.       Berpretensi untuk mewujudkan tujuan tertentu, yakni mewujudkan ketertiban yang berkeadilan.
2.      Pemikiran Ronald Dworkin
Meskipun menurut beberapa ahli hukum Indonesia bahwa Dworkin merupakan salah satu tokoh positivisme, tetapi di dalam teorinya, dia tidak sependapat dengan teori positivis yang mengabaikan substansi hukum dan hanya memutus perkara berdasarkan norma-norma saja (normatif). Teori yang diwakili Dworkin adalah Content Theory yang muncul karena ketidaksetujuan terhadap sistem formalisme hukum yang ditokohi Langdell. Dalam hal ini Dworkin tidak setuju dengan penggunaan metode deduktif dalam pengambilan putusan. Dworkin dipandang sebagai penganut teori hukum alam modern karena sebelumnya mazhab hukum alam hanya berpegang pada asas legal formal dalam proses hakim membuat keputusan, tanpa mempertimbangkan substansi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Dworkin juga memusatkan perhatiannya pada teori “law as integrity”-nya dimana peran moral para hakim dalam membangun suatu sistem substansi di dalam proses membuat putusan sangatlah mutlak perlu. Namun, meski sebagian ahli mengkritik Dworkin yang menyatakan anti pada sistem, tetapi sesungguhnya, dengan teori substansinya, Dworkin juga terjebak pada sistem baru yang akhirnya tak ada bedanya dengan sistem positivisme. Inilah yang membuat beberapa ahli hukum tetap memasukan Dworkin sebagai salah satu tokoh positivisme.
Pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada, adalah filosofi yang paling fundamental dari positivisme hukum. Beberapa ahli penganut aliran positivisme seperti telah diuraikan sebelumnya juga memiliki pemikiran yang pada dasarnya adalah sama di mana aliran positivisme hukum dipandang sebagai suatu aliran hukum yang mengutamakan perintah penguasa yang dikristalisasikan dalam bentuk peraturan-peraturan dan bukan didasarkan pada moralitas.
3.      Mengapa Pandangan Hukum Positive Bertahan
Hukum positive memiliki sumbangan tersendiri dalam disiplin ilmu hukum. Hukum positif menyaratkan suatu perbedaan yang jelas antara yang legal atau illegal, sementara menganggap kurang penting antara mana yang bermoral dan tidak bermoral. Hukum positive mengandaikan bahwa hakikat hukum itu ada pada fenomenanya, meskipun kelompok essensialist menganggap hal ini sebagai second order (urutan ke dua) karena melihat pada bentuknya bukan dan melupakan esensinya. Namun bagaimanapun standar hukum dalam positivisme sangat jelas. Hal ini dapat mempermudah orang awam sekalipun untuk mengenali sistem hukum itu sendiri. Seperti yang dikatakan Raz melalui Leiter: “Positivisme reflects and explicates our conception of the law”.
Hukum mampu merefleksikan dan member kita penjelasan mengenai konsep hukum kita. Misalnya saja kita dapat memberikan perbedaan yang mana kemampuan hakim dalam memutus perkara berdasarkan aturan main hukum dan mana yang menjadi karakter moralnya. Di samping itu, positivisme memudahkan melakukan penyelidikan terhadap hukum. Penyelidikan secara scientific memerlukan batasan-batasan yang dikhususkan pada bidang disiplin ilmu. Dan positivisme telah berhasil membangun framework pada pertanyaan-pertayaan hukum.
Selanjutnya dan terakhir, menurut pendapat saya positivisme memuat pertanyaan tentang bagaimana hukum yang baik tersebut. Positivisme percaya bahwa hukum yang baik itu (ought to be) adalah hukum yang memiliki sifat utilitarianistik yaitu memberikan manfaat berupa kepuasan yang dapat diterima oleh beberapa pihak. Memang untuk mencapai kepuasan itu adalah subyektif namun setidaknya positivisme mampu mengkonstruksikan bagaimana kepuasan dapat dicapai. Kepuasan dapat dicapai ketika itu mampu diobyektifikasikan yakni merujuk pada fakta yang jelas. Dalam hal ini ketika hukum menjadi objektifikasi maka fakta empirik adalah fakta yang terdapat dalam hukum itu sendiri. Dari sini paling tidak, positivism sudah mampu untuk membuat standarisasi yang jelas sebagai sebuah bangunan pengetahuan.
Catatan munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan.
Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam

E.     Pandangan Hukum Kodrat/ Alam
Apabila orang mengikuti sejarah Hukum Alam, maka ia sedang mengikuti sejarah umat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta kegagalan- kegagalannya. Sepanjang waktu yang membentang ribuan tahun lamanya, juga sampai kepada masa sekarang ini, ide tentang Hukum Alam ini selalu apa saja yang muncul sebagai suatu manifestasi dari usaha manusia yang demikian itu, yaitu yang merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Pada suatu ketika ide tentang Hukum Alam muncul dengan kuatnya, pada saat yang lain lagi ia abaikan, tatapi bagaimanapun ia tida pernah mati.
Hukum Alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencangkup banyak teori di dalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam Hukum Alam ini berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda pula.
Berikut ini disebutkan berbagai anggapan yang demikian itu
1.      Merupakan ideal- ideal yang menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,
2.      Suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara ”yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”
3.      Suatu metode untuk menentukan hukum yang sempurna,
4.      Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat dideduksikan melalui akal,
5.      Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.

Selama sejarahnya, Hukum Alam telah menjalankan dan melayani bermacam-macam fungsi, diantaranya (Friedman, 1953 : 17) adalah :
1.      Ia berfungsi sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional yang luas.
2.      Ia telah menjadi senjata yang dipakai oleh kedua pihak , yaitu pihak gereja dan kerajaan,dalam pergaulan antara mereka.
3.      Atas nama hukum alamiah kesahan dari hukum internasional itu ditegakan.
4.      Ia telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan induvidu berhadapan dengan absolutisme.
5.      Prinsip-prinsip Hukum Alam telah dijadikan senjata oleh para hakim Amerika, pada waktu mereka memberikan tafsiran terhadap konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi.

10. MAZHAB HUKUM
Mazhab-mazhab Ilmu Pengetahuan Hukum | Mengapakah orang mentaati hukum? Tanpa memperhatikan adanya sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum, timbul pertanyaan-pertanyaan:”Dari manakah asal hukum itu, mengapakah hukum ditaati orang dan mengapa kita harus tunduk pada hukum itu?”
Persoalan ketaatan terhadap hukum telah menimbulkan berbagai teori dan aliran pendapat atau mazhab –mazhab dalam Ilmu pengetahuan Hukum.
  1. Mazhab hukum alam
Adapun teori tentang hukum alam telah ada sejak zaman dahulu yang antara lain diajarkan oleh Aristoteles yang mengajarkan ada dua macam hukum yaitu
·      Hukum yang berlaku karena penetapan penguasa negara
·      Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia tentang baik buruknya, hukum yang “asli”.
Menurut Aristoteles, pendapat orang tentang “keadilan” adalah tidak sama, sehingga seakan-akan tak ada hukum alam yang asli. Namun haruslah diakui bahwa keaslian sesuatu benda atau hal tidaklah tergantung pada waktu dan tempat; kekecualian dalam sesuatu hal tentulah ada.
Bukanlah syarat mutlah bahwa hukum alam itu berlaku di zaman apa saja dan dimana-mana, tetapi l            azimnya yaitu dalam keadaan biasa, hukum alam itu memang didapati dimana saja dan dizaman apa saja, berhubung dengan sifat keasliannya yang memang selaras dengan kodrat alam.
Prof Subekti S.H mengatakan bahwa menurut kodrat alam misalnya tangan kanan adalah lebih kuat dari tangan kiri, tetapi ada juga orang yang tangan kirinya lebih kuat dari tangan kanannya.
Berhubung dengan itu menurut Aristotees, Hukum Alam itu adalah “Hukum yang oleh orang-orang berfikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam”.
Thomas Van Aquino (1225 -1274) berpendapat bahwa segala keadilan di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu “undang-undang abadi” (“Lex Eterna”) yang menjadi dasar dari semua peraturan perundangan lainnya.
Lex eterna ini ialah kehendak dan pikiran Tuhan yang menciptakan dunia ini. Manusia dikarunia Tuhan dengan kemampuan berfikir dan kecakapan untuk dapat membedakan baik dan buruk serta mengenal berbagai peraturan perundangan yang langsung berasal dari “undang-undang abadi” itu, dan yang oleh Thomas Van Aquino dinamakan “Hukum Alam” (“Lex naturalis”).
Hukum alam tersebut hanyalah memuat asas-asas umum seperti misalnya:
1.      Berbuat baik dan jauhilah kejahatan
2.      Bertindaklah menurut pikiran yang sehat.
3.      Cintailah sessamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri.
Menurut Thomas Van Aquino, asas-asas pokok tersebut mempunyai kekuatan yang mutlak, tidak mengenal kekecualian, berlaku dimana-mana dan tetap tidak berubah sepanjang zaman.
Hugo de Groot (abad ke-17), seorang penganjur Hukum Alam dalam bukunya “de jure Belli ac Pacis” (Tentang hukum perang dan damai) berpendapat bahwa sumber hukum alam adalah pikiran atau akal manusia.
Hukum alam, menurut Hugo de Groot ialah pertimbangan pikiran yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Hukum Alam itu merupakan suatu pernyataan pikiran (akal) manusia yang sehat mengenai persoalan apakah suatu perbuatan sesuai dengan kodrat manusia, dan karena itu apakah perbuatan tersebut diperlukan atau harus ditolak.
  1. Mazhab sejarah
Sebagai reaksi terhadap para pemuja Hukum Alam, di Eropah timbul suatu aliran baru yang dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny (1779 – 1861) yang terkenal dengan bukunya “Vom Beruf unserer Zeitfur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (1814).
Von Savigny berpendapat bahwa hukum itu mesti dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani sesuatu bangsa selalu ada suatu hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa.
Hukum itu menurut von Savigny, bukanlah disusun atau diciptakan oleh orang, tetapi hukum itu tumbuh sendiri ditengah-tengah rakyat. Hukum itu adalah penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati apabila suatu bangsa kehilangan kepribadiannya.
Menurut pendapat tersebut, jelaslah bahwa hukum itu merupakan suatu rangkaian kesatuan dan tak terpisahkan dari sejarah suatu tempat dan waktu. Jelaslah pula, bahwa pendapat von Savigny ini bertentangan dengan ajaran mazhab Hukum Alam, yang berpendapat bahwa hukum alam itu berlaku abadi dimana-mana bagi seluruh manusia.
Aliran yang menghubungkan Hukum dan sejarah suatu bangsa dinamakan “Mazhab sejarah”,Mazhab sejarah itu menimbulkan ilmu pengetahuan hukum positif.
Hukum Positif atau Ius Constitutum (oleh Prof. Sudirman Kartohadiprodjo, S.H disebut tata hukum) menurut Dr.W.L.G Lemaire ialah “Het Hier en nu geldend recht’, yaitu Hukum yang berlaku didaerah atau negara tertentu pada suatu waktu tertentu.
  1. Teori Teokrasi
Teori tentang hukum alam yang telah dijelaskan diatas merupakan bagian dari Filasafat Hukum yang bertujuan menemukan jawaban atas pertanyaan:”Dari manakah asalnya Hukum dan mengapa kita mesti tunduk pada Hukum?
Pada masa lampau di Eropa para ahli fikir (Filosof) menganggap dan mengajarkan bahwa Hukum itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dan oleh karena itulah maka manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada Hukum.
Perintah-perintah yang datang dari Tuhan itu dituliskan dalam Kitab Suci. Tinjauan mengenai Hukum dikaitkan dengan kepercayaan dan Agama, dan ajaran tentang legitimasi kekuasaan huku didasarkan atas kepercayaan dan agama.
Adapun teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa dinamakan teori ketuhanan (teori Teokrasi) berhubung peraturan perundangan itu ditetapkan penguasa negara maka oleh penganjur Teori Teokrasi diajarkan, bahwa para penguasa negara itu mendapat kuasa dari Tuhan; seolah-olah para Raja atau penguasa lainnya merupakan wakil tuhan.
Teori Teokrasi ini dieropa barat diterima umum hingga zaman Renaissance

  1. Teori Kedaulatan Rakyat
Pada zaman Renaissance, timbul teori yang mengajarkan bahwa dasar hukum itu adalah “akal” atau “rasio” manusia (aliran Rasionalisme).
Menurut aliran Rasionalisme ini bahwa Raja dan penguasa Negara lainnya memperoleh kekuasaannya itu bukanlah dari Tuhan, tetapi dari rakyatnya. Pada abad pertengahan diajarkan, bahwa kekuasaan Raja itu berasal dari suatu perjanjian antara Raja dengan rakyatnya yang menaklukkan dirinya kepada Raja itu dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam perjanjian itu.
Kemudian setelah itu dalam Abad ke-18, Jean jacqua Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu negara ialah “Perjanjian masyarakat” (“Contrat Social”) yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara.
Adapun teori Rousseau tersebut dikemukakannya dalam buku karangannya yang berjudul “Le Contrat Social” (1672). Teori Rousseau yang menjadi dasar paham “kedaulatan Rakyat” mengajarkan bahwa Negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan perundangan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut.
Demikian menurut aliran ini, bahwa hukum itu adalah kemauan orang seluruhnya yang telah mereka serahkan kepada suatu organisasi (yaitu negara) yang telah terlebih dahulu mereka bentuk dan diberi tugas membentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Orang mentaati hukum, karena orang sudah berjanji mentaatinya. Teori ini dapat juga disebut teori perjanjian masyarakat.
  1. Teori Kedaulatan Negara
Pada abad ke 19, Teori Perjanjian Masyarakat ini ditentang oleh Teori yang mengatakan bahwa kekuasaan Hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan bersama seluruh anggota masyarakat. Hukum itu ditaati ialah karena Negaralah yang menghendakinya; hukum adalah kehendak negara dan negara itu mempunyai kekuatan (power) yang tidak terbatas.
Teori ini dinamakan teori Kedaulatan negara, yang timbul pada abad memuncaknya ilmu-ilmu pengetahuan Alam.
Penganjur Teori Kedaulatan Negara, yaitu Hans Kelsen dalam bukunya”Reine Rechtslehre” mengatakan bahwa Hukum itu ialah tidak lain daripada “Kemauan negara” (Willie des Staates).
Namun demikian, Hans Kelsen mengatakan bahwa orang taat kepada hukum bukan karena Negara menghendakinya tetapi orang taat pada hukum karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah negara.
  1. Teori Kedaulatan Hukum
Prof. Mr. H. Krabbe dari Universitas Leiden menentang Teori kedaulatan negara ini. Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre Der Rechtssouveranitet” (1906), beliau mengajarkan bahwa sumber hukum ialah rasa keadilan.
Menurut Krabbe, Hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak yang ditundukkan padanya. Suatu peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan rasa keadailan dari jumlah terbanyak orang, tidak dapat mengikat. Peraturan perundangan yang demikian bukanlah “Hukum”, walaupun ia masih ditaati ataupun dipaksakan.
Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaiman seharusnya hukum itu. Hanyalah kaedah yang timbul dari perasaan hukum anggota sesuatu masyarakat, mempunyai kewibawaan atau kekuasaan.
Teori yang timbul pada abad ke 200 ini dinamakan teori kedaulatan hukum
  1. Asas keseimbangan
Prof. Mar. R. Kranenburg, murid dari dan pengganti Prof. Krabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang.
Kranenburg membela ajaran Krabbe, bahwa kesadaran hukum orang itu menjadi sumber hukum. Menurut Kranenburg, hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata (riil).
Dalil yang nyata yang menjadi dasar berfungsi kesadaran hukum orang dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut: Tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu.
Pembagian keuntungan dan kerugian dalam hal tidak ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, ialah bahwa tiap-tiap anggota masyarakat hukum sederajat dan sama.
Hukum atau dalil ini oleh Kranenburg dinamakan asas keseimbangan berlaku dimana-mana dan pada waktu apapun.
C. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut Satjipto Rahardjo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menelaah hukum. Ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Ilmu hukum objeknya hukum itu sendiri. Demikian luasnya masalah yang dicakup oleh ilmu ini, sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan bahwa “batas-batasnya tidak bisa ditentukan” (Curzon, 1979 : v). Selanjutnya menurut J.B. Daliyo Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya hukum. Dengan demikian maka ilmu hukum akan mempelajari semua seluk beluk mengenai hukum, misalnya mengenai asal mula, wujud, asas-asas, sistem, macam pembagian, sumber-sumber, perkembangan, fungsi dan kedudukan hukum di dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu yang mempunyai objek hukum menelaah hukum sebagai suatu gejala atau fenomena kehidupan manusia dimanapun didunia ini dari masa kapanpun. Seorang yang berkeinginan mengetahui hukum secara mendalam sangat perlu mempelajari hukum itu dari lahir, tumbuh dan berkembangnya dari masa ke masa sehingga sejarah hukum besar perannya dalam hal tersebut.
Pengantar Ilmu Hukum (PIH) kerapkali oleh dunia studi hukum dinamakan “Encyclopaedia Hukum”, yaitu mata kuliah dasar yang merupakan pengantar (introduction atau inleiding) dalam mempelajari ilmu hukum. Dapat pula dikatakan bahwa PIH merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut dalam studi hukum yang mempelajari pengertian-pengertian dasar, gambaran dasar tentang sendi-sendi utama ilmu hukum.
Tujuan Pengantar Imu Hukum adalah menjelaskan tentang keadaan, inti dan maksud tujuan dari bagian-bagian penting dari hukum, serta pertalian antara berbagai bagian tersebut dengan ilmu pengetahuan hukum. Adapun kegunaannya adalah untuk dapat memahami bagian-bagian atau jenis-jenis ilmu hukum lainnya.




DAFTAR PUSTAKA
https://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-hukum/

http://galaxyandromedha.blogspot.com/2008/11/hukum-dalam-arti-disiplin-hukum.html

http://www.anekamakalah.com/2013/07/pengertian-hukum.html

http://kumpulan-kumpulan-makalah.blogspot.com/2016/03/makalah-pengantar-ilmu-hukum.html

https://butew.com/2018/01/24/macam-macam-klasifikasi-hukum/

http://hidupdaninformasi.blogspot.com/2017/04/sistem-hukum-dan-klasifikasi-hukum.html

https://hukum-tata-negara-htn.blogspot.com/2016/10/teori-penafsiran-hukum.html

http://makalah2107.blogspot.com/2016/07/makalah-kodifikasi-hukum.html

http://cintakamumerlina.blogspot.com/2013/10/pengantar-ilmu-hukum-kodifikasi-hukum.html

http://www.ensikloblogia.com/2016/08/pengertian-kodifikasi-hukum-dan-unifikasi-hukum.html

http://carangerti.blogspot.com/2016/02/makalah-teori-berlakunya-kaidah-hukum.html

https://informasiana.com/mazhab-mazhab-ilmu-pengetahuan-hukum/#


Post a Comment

1 Comments

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    dengan minimal deposit hanya 20.000
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    ReplyDelete