PELANGGARAN
HAM
1. Tragedi Trisakti
PENYEBAB.
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang
terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa
pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung
DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti
menuju Gedung
Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi
mereka dihambat oleh blokade dari Polri
dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan
pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa
bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun
mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai
berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan
terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber
Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu
adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon
Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203,
Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru
Hara Kodam seta Pasukan
Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas
air mata, Styer,
dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa
tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat
keamanan membantah telah menggunakan peluru
tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru
tajam. Hasil sementara diprediksi
peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan
peringatan.
HAK YANG DI LANGGAR
Salah satu hak yang dilanggar dalam peristiwa tersebut
adalah hak dalam kebebasan menyampaikan pendapat. Hak menyampaikan pendapat
adalah kebebasan bagi setiap warga negara dan salah satu bentuk dari pelaksanan
sistem demokrasi pancasila di Indonesia. Peristiwa ini menggoreskan sebuah
catatan kelam di sejarah bangsa Indonesia dalam hal pelanggaran pelaksanaan
demokrasi pancasila.. Dari awal terjadinya peristiwa sampai sekarang,
pengusutan masalah ini begitu terlunta-lunta. Sampai sekarang, masalah ini
belum dapat terselesaikan secara tuntas karena berbagai macam kendala.
Sebenarnya, beberapa saat setelah peristiwa tersebut terjadi, Komnas HAM
berinisiatif untuk memulai untuk mengusut masalah ini. Komnas HAM mengeluarkan
pernyataan bahwa peristiwa ini adalah pelanggaran HAM yang berat. Masalah ini
pun selanjutnya dilaporkan ke Kejaksaan Agung untuk diselesaikan. Namun,
ternyata sampai sekarang masalah ini belum dapat diselesaikan bahkan upayanya
saja dapat dikatakan belum ada. Belum ada satupun langkah pasti untuk
menyelesaikan masalah ini. Alasan terakhir menyebutkan bahwa syarat kelengkapan
untuk melakukan siding belum terpenuhi sehingga siding tidak dapat
dilaksanakan. Seharusnya jika pemerintah benar-benar menjunjung tinggi HAM,
seharusnya masalah ini harus diselesaikan secara tuntas agar jelas agar segala
penyebab terjadinya peristiwa dapat terungkap sehingga keadilan dapat
ditegakan.
PENYELESAIAN
Agar masalah ini dapat cepat diselesaikan, diperlukan partisipasi masyarakat untuk ikut turut serta dalam proses penuntasan kasus ini. Namun, sampai sekarang yang masih berjuang hanyalah para keluarga korban dan beberapa aktivis mahasswa yang masih peduli dengan masalah ini. Seharusnya masyarakat dan mahasiswa tidak tinggal diam karena pengusutan kasus ini yang belum sepenuhnya selesai. Walaupun sulit untuk menuntaskan kasus tersebut secara sepenuhnya, tetapi jika masyarakat dan mahasiswa ingin bekerjasama dengan pihak terkait seharusnya masalah bisa diselesaikan, dengan catatan stakeholder yang bersangkutan harus jujur dalam memberikan informasi. Di luar itu semua, ada hal lain yang sebenarnya bisa diambil oleh masyarakat dan mahasiswa dalam peristiwa tersebut, yaitu semangat melawan pemerintahan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Walaupun bisa dibilang bahwa Indonesia dari tahun ke tahun terus membaik dan berkembang dari segi pembangunan, tetapi tetap banyak masalah yang sebenarnya bisa terlihat jika kita berbicara dari tentang pemerintahan. Beberapa contoh masalah-masalah pemerintahan yang ada, yaitu korupsi, perebutan kekuasaan untuk kepentingan golongan, berbagai praktik kecurangan dalam menapai kekuasaan, dan masalah lainnya. Dari masalah-masalah tersebut, seharusnya masyarakat dan mahasiswa banyak mengambil peran dalam pengarahan dan evaluasi kepemimpinan. Untuk peran mahasiswa tak dapat dipungkiri akan semakin besar karena di pundak mereka ada sebuah beban tanggung jawab dimana para mahasiswa dituntut harus membentuk pemimpin-pemimpin yang cakap untuk mengelola Indonesia yang lebih baik di masa depan. Agar peristiwa ini tak kembali terulang, Hak kebebasan berpendapat setiap warga negara benar-benar harus ditegakan.
2. Marsinah
PENYEBAB
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
HAK YANG DI LANGGAR
Kasus pembunuhan Marsinah merupakan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Alasannya adalah karena telah
melanggar hak hidup seorang manusia. Dan juga karena sudah melanggar dari
unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan
terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan
yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.
Jika merujuk
pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945),
jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan
marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas bahwa tindakan oknum pembunuh
melanggar hak konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah
sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan tersirat ditegaskan dalam Pasal
28D ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Penyelesaian
Hak Asasi setiap manusia harus
dihargai oleh manusia yang lain yang dalam kasus ini adalah hak asasi
berpendapat dan hak untuk hidup. Selain itu, kasus marsinah yang tak kunjung
usai ini diakibatkan oleh kurangnya transparansi dan kredibilitas para
penyidik. Seharusnya kredibilitas dan transparansi penyidikan lembaga terhadap
suatu kasus haruslah dijaga oleh para penegak hukum sehingga tercipta keadilan
dan ketentraman masyarakat Indonesia
3. Peristiwa Pembunuhan
Munir
PENYEBAB
Delapan tahun silam, tepatnya pada
2004, Indonesia dikejutkan oleh meninggalnya seorang aktivis HAM, Munir Saib
Thalib. Kematianya menimbulkan kegaduhan politik yang menyeret Badan Intelijen
Negara (BIN) dan instituti militer negeri ini. Berdasarkan hasil autopsi,
diketahui bahwa penyebab kematian sang aktivis yang terkesan mendadak adalah
karena adanya kandungan arsenik yang berlebihan di dalam tubuhnya. Munir
meninggal ketika melakukan perjalanan menuju Belanda. Ia berencana melanjutkan
studi S2 Hukum di Universitas Utrecht, Belanda, pada 7 September 2004. Dia
menghembuskan nafas terakhirnya ketika pesawat sedang mengudara di langi Rumania.
HAK YANG DI LANGGAR
Hak yang di langgar dalam kasus
munir yaitu karena telah menghilangkan nyawa dengan sengaja atau sudah
melanggar hak untuk hidup. Banyak orang yang terlibat dalam kejadian itu. Orang
pertama yang menjadi tersangka pertama pembunuhan Munir (dan akhirnya
terpidana) adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama persidangan, terungkap
bahwa pada 7 September 2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia
membuat surat tugas palsu dan mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam. Aksi pembunuhan
Munir semakin terkuat tatkala Pollycarpus ‘meminta’ Munir agar berpindah tempat
duduk dengannya. Sebelum pembunuhan Munir, Pollycarpus menerima beberapa
panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen
senior. Dan pada akhirnya, 20 Desember 2005 Pollycarpus BP dijatuhi vonis 20
tahun hukuman penjara. Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus tidak mengakui
dirinya sebagai pembunuh Munir, berbagai alat bukti dan skenario pemalsuan
surat tugas dan hal-hal yang janggal. Namun, timbul pertanyaan, untuk apa
Pollycarpus membunuh Munir. Apakah dia bermusuhan atau bertengkar dengan Munir.
Tidak ada historis yang menggambarkan hubungan mereka berdua.
Selidik demi selidik, akhirnya terungkap nomor yang pernah menghubungi Pollycarpus dari agen Intelinjen Senior adalah seorang mantan petinggi TNI, yakni Mayor Jenderal (Purn) Muchdi Purwoprandjono. Mayjen (Purn) Muchdi PR pernah menduduki jabatan sebagai Komandan Koppassus TNI Angkatan Darat yang ditinggali Prabowo Subianto (pendiri Partai Gerindra). Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Deputi Badan Intelijen Indonesia
Selidik demi selidik, akhirnya terungkap nomor yang pernah menghubungi Pollycarpus dari agen Intelinjen Senior adalah seorang mantan petinggi TNI, yakni Mayor Jenderal (Purn) Muchdi Purwoprandjono. Mayjen (Purn) Muchdi PR pernah menduduki jabatan sebagai Komandan Koppassus TNI Angkatan Darat yang ditinggali Prabowo Subianto (pendiri Partai Gerindra). Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Deputi Badan Intelijen Indonesia
PENYELESAIAN
Kasus Munir merupakan contoh
lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Kasus Munir juga merupakan hasil dari
sisa-sisa pemerintahan orde baru yang saat itu lebih bersifat otoriter.
Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar
meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter k arena setiap manusia atau warga
Negara memiliki hak untuk memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan,
dan hak atas rasa aman. Sedangkan bangsa Indonesia saat ini memiliki sistem
pemerintahan demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi HAM seluruh masyarakat
Indonesia.
4. Peristiwa
Tanjung Priok
· Kronologi
Abdul Qadir Djaelani adalah salah
seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang
peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam
penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit
banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan
kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September
1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam
Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
Tanjung Priok, Sabtu, 8 September
1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa)
tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung
Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok
mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan
pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9
September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah
menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk
menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin. Tanjung Priok, Senin, 10
September 1984 Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan
salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah
pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid
Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta
penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung,
orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan
permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang
diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan
penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua
Mushala as-Sa’adah.
Tanjung Priok, Selasa, 11 September
1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak
yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh
Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu
mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang
dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah
antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta
keadilan ternyata sia-sia.
Tanjung Priok, Rabu, 12 September
1984
Dalam suasana tantangan yang
demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah
direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung
juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan
memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang
rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk
naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata
antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.
Kita meminta teman kita yang ditahan
di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang
tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita
menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.”
Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau
adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita
(yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian
dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres,
kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI
berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak,
“Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan
pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu
memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang
berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah
pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat
Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak,
“Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi,
mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak
lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua
buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh
dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan
senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan
bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi
berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas
mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat
menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan
bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh
para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu
berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang
bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung
goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau
orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh
dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah
mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan
membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah
pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15
meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak
meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang
pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya
kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu
diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang
menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur
menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di
belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri,
tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian
jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan
mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira
30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot
Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit,
mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara
Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat,
saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan
mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian
jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila
PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha
untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar
kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan
seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya
diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat
berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian
tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut
pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap
tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984,
kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel
Jaya.
·
Penyebab
1. Petugas koramil menyiram pengumuman
yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan)
2. Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pihak koramil tidak terima.
2. Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pihak koramil tidak terima.
·
HaK yang dilanggar
Dibunuhnya jamaah-jamaah pengajian oleh pasukan ABRI
·
Penyelesaian
1. Warga seharusnya
tidak melakukan demonstrasi karena bisa berakibat pada kerusuhan.
2. Jika melakukan
demonstrasi, seharusnya kedua belah pihak yaitu ABRI
dan warga menahan
emosi agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
3. Pelaku
pembunuhan (ABRI) wajib diadili dengan seadil-adilnya agar menimbulkan efek jera.
Nama
Bakeuni alias Babe, mendadak terkenal. Setelah ditangkap polisi, lelaki berusia
50 tahun itu diduga menjadi pelaku pembunuhan dan mutilasi anak-anak jalanan di
Jakarta. Ada yang dibuang di Jakarta, sebagian “dikubur” di sawah milik
keluarganya di tepi Kali Gluthak Desa Mranggen, Magelang, Jawa Tengah. Babe
memang berasal dari desa itu.
Sebelum
namanya terkenal karena kasus pembunuhan itu, nama Babe sebetulnya hanya
dikenal di kalangan terbatas: Anak-anak jalanan dan beberapa penggiat anak-anak
jalanan. Di mata anak-anak itu, yang sebagian kini beranjak dewasa, Babe adalah
dewa penolong. Bukan saja dia menyediakan tempat menginap di kontrakannya di
Gang Mesjid RT 06/02, Pulogadung, Jakarta Timur tapi Babe juga melindungi
anak-anak itu. “Pernah suatu hari, teman saya bernama Diki, dipalak laki-laki
bernama Gomgom. Laki-laki itu lebih tua dan lebih besar dibandingkan Diki.
Ketika
Diki mengadu ke Babe, Gomgom langsung didatangi Babe dan diancam,” kata Anggi
Setiawan, 17 tahun, yang pernah ikut dan tinggal bersama Babe. Perkenalan Anggi
dengan Babe terjadi 10 tahun silam, saat usia Anggi baru tujuh tahun. Anggi
ingat, saat itu dia sedang mengamen di pintu tol Cakung, ketika melihat banyak
anak-anak pengamen lainnya akrab dengan seorang pria penjual rokok. “Anak-anak
itu memanggilnya Babe,” kenang Anggi.
Sejak
itu Anggi kemudian tinggal di rumah Babe. Di kontrakan itu, setiap hari empat
hingga lima anak jalanan menginap. Kalau akhir pekan, jumlahnya bisa bertambah
hingga 15 anak. Kata Anggi, semua anak diperlakukan sama. Anggi ingat, Babe
selalu memotong pendek, rambut anak-anak jalanan itu. Potongannya seragam:
Bagian depan dibiarkan panjang, dan dipangkas habis di bagian belakang. Karena
air untuk mandi terbatas, bergiliran anak-anak itu dimandikan Babe.
Biasanya
kata Anggi, dimulai dengan guyuran dari atas lalu tangan anak-anak itu
direntangkan. Babe kemudian menyabuni tubuh anakanak dengan deterjen. Sabun
cuci itu juga digunakan sebagai sampo. “Nunduk, nunduk,” Anggi masih ingat
kata-kata Babe saat 10 tahun lalu memandikannya. Ketika anak-anak itu sudah
terlelap, jam dua pagi, Babe biasanya bangun dan mencuci baju anakanak. Dia
keluar rumah sekitar jam lima pagi untuk berjualan rokok, dan kembali ke rumah
sekitar jam 10 pagi untuk membangunkan anakanak. Sarapan pagi sudah disediakan
Babe.
Menunya
menu ikan cuek goreng, sayur sawi dan satu baskom sambal. Malam hari, Babe
mengajak patungan membeli mi instan. “Dia juga memasok nasi goreng untuk kami,”
kata Anggi. Begitu seterusnya, setiap hari. Kalau misalnya ada anak yang sakit,
Babe pula yang mengobati mereka. Biasanya, kata Anggi, Babe ngerokin anak-anak
itu. “Dia disayangi anakanak, dan saya menganggap sebagai orang tua sendiri,”
kata Anggi yang masih punya orang tua, dan tinggal di Tanjung Priok. Sumber
Unicef Deni 13 tahun yang juga pernah tinggal di kontrakan Babe bercerita, Babe
selalu mengajarkan anak-anak itu agar uang hasil mengamen dikumpulkan dan
diberikan kepada orang tua masing-masing.
Sebagian
anak-anak jalanan yang tinggal di rumah Babe, memang masih memiliki orang tua,
termasuk Anggi. Kalau anak-anak itu tidak menurut, misalnya, Babe mengancam mereka
agar tidak tinggal bersamanya. Sering pula Babe mengajak anakanak itu ke
Magelang, tempat asal Babe. Sebelum berangkat, Babe meminta mereka menabung,
untuk bekal ongkos. Sehari lima ribu rupiah. “Saya pernah ikut Babe, Desember
lalu, setelah menabung selama satu bulan,” kata Deni.
Mungkin
karena semua perhatiannya kepada anak-anak itu, beberapa tahun lalu Babe pernah
menjadi sumber Unicef. Badan PBB itu mencoba mengangkat kehidupan anakanak
jalanan termasuk yang ada di Jakarta dan di tempat Babe. Kini semua berubah.
Babe ditangkap polisi dan diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap anak-anak
jalanan itu. Kepada polisi, Babe mengaku membunuh 10 anak sejak 1995 tapi Arist
Merdeka Sirait meragukan keterangannya. Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan
Anak itu menduga korban Babe bisa lebih 15 orang. Alasan Arist, ada sekitar 15
foto anak jalanan yang dikoleksi Babe.
“Menurut
keterangan anak jalanan, foto-foto yang disimpan itu yang disenangi dia
(Babe),” kata Arist. Benarkah Babe yang melakukan semua pembunuhan sadis itu?
“Polisi menunjukkan foto-foto korban. Babe enggak mengakui kalau memang tidak
kenal. Dia akan bilang enggak kenal,” kata Rangga B. Rikuser, pengacara Babe.
Mengutip keterangan Babe, Rangga bercerita, Babe membunuh anakanak itu dengan cara
dijerat menggunakan tali plastik. Biasanya, Babe membelakangi korban, lalu
leher mereka dikalungi tali plastik. Tangan kanan Babe kemudian mendorong
kepala korban ke depan, dan tangan kirinya menarik tali ke belakang.
“Dia
menikmati erangan bocah-bocah yang dijerat lehernya itu. Detik-detik bocah itu
meregang nyawa menjadi sensasi tersendiri bagi Babe,” kata Rangga. Jika korban
sudah meninggal, barulah Babe menggauli bocah-bocah itu. “Korbannya pasti
berkulit bersih dan putih, karena sewaktu anak-anak, kulit Babe juga bersih,”
kata Rangga. Babe bukan tidak menyesal melakukan pembunuhan itu. Masih menurut
Rangga, usai memotong tubuh korbannya, Babe selalu menyesal tapi dia juga sulit
menghentikan nafsunya. Babe, karena itu, juga seolah selalu memberi tanda ke
polisi agar kelakuannya segera terungkap.
Caranya,
setiap korban yang dibunuh, selalu dia letakkan dalam kardus air mineral.
“Sehari-hari dia kan berdagang rokok, dan air mineral,” kata Rangga. Dan tanda
dari Babe itu baru diketahui polisi, awal Januari silam: Sebuah kardus air
mineral ditemukan berisi potongan tubuh seorang bocah, yang belakangan
diketahui bernama Ardiansyah 10 tahun. Babe atau yang dikenal juga dengan
sebutan Bungkih ditangkap dan diduga sebagai pelakunya. Dari mulut Babe,
belakangan muncul pengakuan, jumlah korban yang dibunuhnya bisa lebih 10 orang.
Semuanya dimasukkan dalam kardus air mineral. “Saya percaya dan tidak percaya
dia jadi pembunuh,” kata Anggi. _ rangga prakoso.
0 Comments