KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan
ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan karuniaNyalah,
Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, tepat pada waktunya. Dengan
membuat tugas ini kami diharapkan mampu untuk lebih mengenal tentang Asal Usul
dan Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia .
Kami sadar, sebagai seorang pelajar
yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi
di masa yang akan datang.
Harapan kami, semoga makalah yang
sederhana ini, dapat memberi kesadaran tersendiri bagi generasi muda bahwa kita
juga harus mengetahui Asal Usul dan Perkembangan nenek moyang kita di Indonesia
.
November 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Asal-Usul Nenek Moyang Indonesia ...................................................... 3
B. Perseberan Nenek Moyang di Indonesia
................................................ 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejarah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia dan menjadi
suatu rangkaian yang erat sepanjang kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal
tersebut maka sejarah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah yang
berkaitan dengan kebudayaan, terutama kebudayaan asing yang telah memberikan
pengaruh dalam kehidupan bangsa Indonesia dan khususnya memberikan pengaruh
pada pembentukan kebudayaan Indonesia. Sejarah memberikan pelajaran dan
pengalaman untuk manusia di masa sekarang dan di masa yang akan datang.
Dari
sejarah akan dapat diketahui kegagalan dan keberhasilan yang dialami oleh
manusia dan memberikan suatu pedoman bagi manusia di masa yang akan datang
untuk lebih berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu agar dapat mencapai
keberhasilan dan peningkatan kualitas kehidupan. Seperti yang dikatakan filsuf
terkenal dari Cina, Kong Fu Tse yang mengatakan “Sejarah mendidik kita
bertindak bijaksana”. Kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan
kebudayaan yang majemuk dan sangat kaya ragamnya. Perbedaan yang terjadi dalam
kebudayaan Indonesia dikarekan proses pertumbuhan yang berbeda dan pengaruh
dari budaya lain yang ikut bercampur di dalamnya.
Indonesia adalah bangsa yang sangat
besar, tetapi banyak masyarakat yang tidak tahu akan nenek moyang bangsa
Indonesia sendiri. Dengan semakin berkembangnya zaman, semakin banyak
masyarakat yang tidak perduli akan sejarah nenek moyangnya sendiri . Hal ini
mengakibatkan Sumber Daya Manusia di Indonesia masih di ragukan . berangkat
adri permasalahan ini, kami ingin membahas tentang Asal Usul dan Persebaran
Manusia di Kepulauan Indonesia .
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal-usul nenek moyang
Indonesia?
2. Bagaimana persebaran nenek moyang di
Indonesia?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui asal-usul nenek
moyang Indonesia.
2. Untuk mengetahui persebaran nenek
moyang di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal
Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Indonesia termasuk salah satu negara
tempat ditemukannya manusia purba. Penemuan manusia purba di Indonesia dapat
dilakukan berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan. Fosil adalah tulang
belulang, baik binatang maupun manusia, yang hidup pada zaman purba yang
usianya sekitar ratusan atau ribuan tahun. Adapun untuk mengetahui bagaimana
kehidupan manusia purba pada saat itu, yaitu dengan cara mempelajari
benda-benda peninggalannya yang biasa disebut dengan artefak.
Manusia purba yang ditemukan di
Indonesia memiliki usia yang sudah tua, hamper
sama dengan manusia purba yang
ditemukan di negara-negara lainnya di dunia. Bahkan
Indonesia dapat dikatakan mewakili
penemuan manusia purba di daratan Asia. Daerah
penemuan manusia purba di Indonesia
tersebar di beberapa tempat, khususnya di Jawa.
Penemuan fosil manusia purba di
Indonesia terdapat pada lapisan pleistosen. Salah satu jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia hampir
memiliki kesamaan dengan yang
ditemukan di Peking Cina, yaitu
jenis Pithecanthropus Erectus.
Penelitian tentang manusia purba di
Indonesia telah lama dilakukan. Sekitar abad ke-19 para sarjana dari luar
meneliti manusia purba di Indonesia. Sarjana pertama yang meneliti manusia
purba di Indonesia ialah Eugene Dubois seorang
dokter dari Belanda. Dia pertama kali mengadakan penelitian di gua-gua di
Sumatera Barat. Dalam penyelidikan ini, ia tidak menemukan kerangka manusia.
Kemudian dia mengalihkan penelitiannya di Pulau Jawa. Pada tahun 1890, E.
Dubois menemukan fosil yang ia beri nama PithecanthropusErectus di
dekat Trinil, sebuah desa di Pinggir Bengawan Solo, tak jauh dari Ngawi
(Madiun). E. Dubois pertama-tama menemukan sebagian rahang. Kemudian pada tahun
berikutnya kira-kira 40 km dari tempat penemuan pertama, ditemukan sebuah
geraham dan bagian atas tengkorak. Pada tahun 1892, beberapa meter dari situ
ditemukan sebuah geraham lagi dan sebuah tulang paha kiri.
Untuk membedakan apakah fosil itu,
fosil manusia atau kera, E.Dubois memperkirakan isi atau volume otaknya. Volume
otak dari fosil yang ditemukan itu, diperkirakan 900 cc. Manusia biasa memiliki
volume otak lebih dari 1000 cc, sedangkan jenis kera yang tertinggi hanya 600
cc. Jadi, fosil yang ditemukan di Trinil merupakan makhluk di antara manusia
dan kera. Bentuk fisik dari makhluk itu ada yang sebagian menyerupai kera, dan
ada yang menyerupai manusia. Oleh karena bentuk yang demikian, maka E. Dubois
memberi nama Pithecanthropus Erectus artinya manusia-kera yang
berjalan tegak (pithekos = kera, anthropus =
manusia, erectus = berjalan tegak). Jika makhluk ini kera, tentu
lebih tinggi tingkatnya dari jenis kera, dan jika makhluk ini manusia harus
diakui bahwa tingkatnya lebih rendah dari manusia (Homo Sapiens).
Sebelum menemukan fosil tempurung
kepala (cranium) dan tulang paha tengah(femur), Dubois
memulai pencariannya dengan berlandaskan pada tiga teori. Ketiga dasar teori
tersebut selain digunakan sebagai acuan akademik sekaligus untuk
meyakinkan pemerintah kolonial Belanda, bahwa pencarian missing
link dalam mempelajari evolusi manusia penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Ingat! Pada masa itu
Indonesia masih berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Walau begitu, ada juga kegagalan
Dubois yang dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi
bermakna. Salah satu kelemahan teori Dubois adalah di missing link,
yang menyebutkan mata rantai keramanusia telah terjawab dengan ditemukannya
“java man”. Pendapat itu keliru karena penemuan-penemuan selanjutnya fosil
manusia purba di Sangiran
(Jawa Tengah), Mojokerto (Jawa
Timur), juga di Cina dan Tanzania ternyata jauh lebih tua sekitar 500.000
sampai 750.000 tahun dibanding temuannya.
Selain itu, ada kesalahan teori
Dubois mengenai volume otak yang meningkat 2 kali lipat sebanding dengan
peningkatan ukuran tubuh. Menurut Dubois volume otak fosil “java man” sekitar
700 cc, kurang lebih setengah dari volume otak manusia modern yang sekitar
1.350 cc. Teori tersebut runtuh karena volume otak “java man” berdasarkan
penghitungan yang
lebih akurat adalah sekitar 900 cc.
Sebagai pembanding pada kera besar yang ada sekarang, simpanse misalnya, volume
otaknya sekitar 400 cc. “Java man” terlalu pandai untuk mengisi missing
link kera-manusia, ia lebih tepat disebut manusia purba. Penemuan
fosil manusia purba yang telah dilakukan oleh Dubois pada akhirnya mendorong
penemuan-penemuan selanjutnya yang dilakukan oleh para peneliti lainnya. Pada
tahun 1907-1908, dilakukan upaya penyelidikan
dan penggalian yang dipimpin
oleh Selenka di daerah Trinil (Jawa Timur). Penggalian yang
dilakukan oleh Selenka memang tidak berhasil menemukan fosil manusia. Akan
tetapi upaya penggaliannya telah berhasil menemukan fosil-fosil hewan dan
tumbuh-tumbuhan yang dapat memberikan dukungan untuk menggambarkan lingkungan
hidup manusiaPithecanthropus.
G.H.R von
Koenigswald mengadakan
penelitian dari tahun 1936 sampai 1941 di daerah sepanjang Lembah Sungai Solo.
Pada tahun 1936 Koenigswald menemukan fosil tengkorak anak-anak di dekat
Mojokerto. Dari gigi tengkorak tersebut, diperkirakan usia anak tersebut belum
melebihi 5 tahun. Kemungkinan tengkorak tersebut merupakan tengkorak anak dari
Pithecanthropus Erectus, tetapi von Koenigswald menyebutnya Homo
Mojokertensis. Pada tahun-tahun selanjutnya, von Koenigswald banyak
menemukan bekas-bekas manusia prasejarah, di antaranya bekas-bekas Pithecanthropus lainnya.
Di samping itu, banyak pula didapatkan fosil-fosil binatang menyusui.
Berdasarkan atas fauna (dunia hewan), von Koeningswald membagi diluvium Lembah
Sungai Solo (pada umumnya diluvium Indonesia) menjadi tiga lapisan, yaitu
lapisan Jetis (pleistosen bawah), di atasnya terletak lapisan Trinil (pleistosen
tengah) dan paling atas ialah lapisan Ngandong (pleistosen atas).
Pada setiap lapisan itu ditemukan
jenis manusia purba. Pithecanthropus Erectuspenemuan E. Dubois
terdapat pada lapisan Trinil, jadi dalam lapisan pleistosen tengah.Pithecanthropus lainnya
ada yang di pleistosen tengah dan ada yang di pleistosen bawah. Di
plestosen bawah terdapat fosil manusia purba yang lebih besar dan
kuat tubuhnya daripada Pithecanthropus Erectus, dan dinamakan Pithecanthropus
Robustus. Dalam lapisan pleistosen bawah terdapat
pula Homo Mojokertensis, kemudian disebut pula Pithecanthropus
Mojokertensis. Jenis Pithecanthropus memiliki
tengkorak yang tonjolan keningnya tebal. Hidungnya lebar dengan tulang pipi
yang kuat dan menonjol. Mereka hidup antara 2 setengah sampai 1
setengah juta tahun yang lalu. Hidupnya dengan memakan
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pithecanthropus masih hidup berburu
dan mengumpulkan makanan. Mereka belum pandai memasak, sehingga
makanan dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu. Sebagian mereka
masih tinggal di padang terbuka, dan ada yang tewas dimakan binatang
buas. Oleh karenanya, mereka selalu hidup secara berkelompok. Pada
tahun 1941, von Koeningwald di dekat Sangiran Lembah Sungai Solo
juga, menemukan sebagian tulang rahang bawah yang jauh lebih besar dan
kuat dari rahang Pithecanthropus. Geraham-gerahamnya menunjukkan corak-corak
kemanusiaan, tetapi banyak pula sifat keranya. Tidak ada dagunya.
Von Koeningwald menganggap makhluk ini lebih tua daripada Pithecanthropus. Makhluk
ini ia beri nama Meganthropus Paleojavanicus (mega = besar),
karena bentuk tubuhnya yang lebih besar. Diperkirakanhidup pada 2 juta sampai
satu juta tahun yang lalu. Von Koenigswald dan Wedenreich kembali
menemukan sebelas fosil tengkorak pada tahun 1931-1934 di dekat
Desa Ngandong Lembah Bengawan Solo. Sebagian dari jumlah itu telah
hancur, tetapi ada beberapa yang dapat memberikan informasi bagi
penelitiannya. Pada semua tengkorak itu,tidak ada lagi tulang rahang dan
giginya. Von Koeningswald menilai hasil temuannya ini merupakan
fosil dari makhluk yang lebih tinggi tingkatannya daripada Pithecanthropus
Erectus, bahkan sudah dapat dikatakan sebagai manusia.
Makhluk ini oleh von Koeningswald disebut Homo Soloensis (manusia
dari Solo).
Pada tahun 1899 ditemukan sebuah
tengkorak di dekat Wajak sebuah desa yang tak jauh dari Tulungagung, Kediri.
Tengkorak ini ini disebut Homo Wajakensis. Jenis manusia purba ini
tinggi tubuhnya antara 130 – 210 cm, dengan berat badan kira-kira 30 – 150 kg.
Mukanya lebar dengan hidung yang masih lebar, mulutnya masih menonjol. Dahinya
masih menonjol, walaupun tidak seperti Pithecanthropus. Manusia
ini hidup antara 25.000 sampai dengan 40.000 tahun yang lalu. Di Asia Tenggara
juga terdapat jenis ini. Tempat-tempat temuan yang lain ialah di Serawak
(Malaysia Timur), Tabon (Filipina), juga di Cina Selatan. Homo ini dibandingkan
jenis sebelumnya sudah mengalami kemajuan. Mereka telah membuat alat-alat dari
batu maupun tulang. Untuk berburu mereka tidak hanya mengejar dan
menangkap binatang buruannya. Makanannya telah dimasak, binatang-binatang
buruannya setelah dikuliti lalu dibakar. Umbian-umbian merupakan jenis makanan
dengan cara dimasak. Walaupun masakannya masih sangat sederhana, tetapi ini
menunjukkan adanya kemajuan dalam cara berpikir mereka dibandingkan dengan
jenis manusia purba sebelumnya. Bentuk tengkorak ini berlainan dengan tengkorak
penduduk asli bangsa Indonesia, tetapi banyak persamaan dengan tengkorak
penduduk asli benua Australia sekarang. Menurut Dubois, Homo Wajakensis termasuk
dalam golonganbangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan
nantinya menurunkan bangsa-bangsa asli di Australia. Menurut von
Koenigswald, Homo Wajakensis seperti juga Homo
Solensis berasal dari lapisan bumi pleistosin atas dan mungkin sekali
sudah termasuk jenisHomo Sapiens, yaitu manusia purba yang sudah
sempurna mirip dengan manusia. Mereka telah mengenal penguburan pada saat
meninggal. Berbeda dengan jenis manusia purba sebelumnya, yang belum mengenal
cara penguburan.
Selain di Indonesia, manusia
jenis Pithecanthropus juga ditemukan di belahan dunia lainnya.
Di Asia, Pithecanthropus ditemukan di daerah Cina, di Cina
Selatan ditemukanPithecanthropus Lautianensis dan di Cina Utara ditemukan Pithecanthropus
Pekinensis. Diperkirakan mereka hidup berturut-turut sekitar 800.000 –
500.000 tahun yang lalu. Di Benua Afrika, fosil jenis manusia Pithecanthropus ditemukan
di daerah Tanzania, Kenya dan Aljazair. Sedangkan di Eropa fosil manusia Pithecanthropus ditemukan
di Jerman, Perancis, Yunani, dan Hongaria. Akan tetapi, penemuan fosil
manusia Pithecanthropusyang terbanyak yaitu di daerah Indonesia dan
Cina.
Di Australia Utara ditemukan fosil
yang serupa dengan manusia jenis Homo Wajakensis yang terdapat
di Indonesia. Sebuah tengkorak kecil dari seorang wanita, sebuah rahang bawah,
dan sebuah rahang atas dari manusia purba yang ditemukan di Australia itu
sangat mirip dengan manusia Wajak. Apabila menilik
peta Indonesia yang terbentuk pada masa glasial, memperlihatkan bahwa
pulau Jawa bersatu dengan daratan Asia dan bukan dengan Australia. Oleh karena
itu, diperkirakan manusia Wajak ini bermigrasi ke Australia dengan menggunakan
jembatan penghubung. Diduga mereka telah memiliki keterampilan untuk membuat
perahu serta mengarungi sungai dan lautan, sehingga akhirnya sampai di daratan
Australia.
Setelah masa penjajahan Belanda
selesai, penelitian manusia purba dilanjutkan oleh orang Indonesia sendiri.
Pada tahun 1952 penelitian dimulai. Penelitian ini terutama dilakukan oleh
dokter dan geolog yang kebetulan harus meneliti lapisan-lapisan tanah. Seorang
dokter dari UGM yang mengkhususkan dirinya pada penyelidikan tersebut adalahProf.
Dr. Teuku Jacob. Dia memulai penyelidikannya di daerah Sangiran. Penelitian
ini kemudian meluas ke Bengawan Solo.
Zaman
sebelum manusia mengenal tulisan disebut zaman praaksara. Manusia tersebut,
yaitu meganthropus, pithecanthropus, dan homo. Jenis manusia tersebut belum
bisa dipastikan asli Indonesia atau pendatang. Berdasarkan
keserupaan artefak mesolithikum yang digunakan dengan artefak di Bacson-Hoabinh, dapat
diperkirakan bahwa mereka berasal dan Teluk Tonldn. (Bacson Hoabinh terletak di Teluk Tonkin).
Menurut
penyelidikan para ahli, nenek moyang bangsa Indonesia bukan asli dari
Indonesia. Jenis manusia Homo Sapiens ini terbagi atas tiga subspesies atau
ras.
1. Ras Mongoloid: berkulit kuning,
tinggi badan cukup, hidung menonjol sedikit (tidak mancung, tetapi juga tidak
pesek), menyebar ke Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
2. Ras Kaukasoid: berkulit putih,
tinggi, badan jangkung, hidung mancung, menyebar di Eropa dan Asia kecil (Timur
Tengah).
3. Ras Negroid: berkulit hitam, bibir
tebal, rambut keriting, menyebar di Afrika, Australia, dan Iran.
Hasil penyelidikan
Von Hiene Geldern tentang penyebaran kapak persegi, menyimpulkan bahwa jenis
manusia Homo Sapiens bukan asli dari Indonesia. Nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari
daerah Campa, Cochin China,
Kamboja, dan daerah-daerah di sepanjang pantai di Teluk Tonkin. Sementara itu,
kalau dilihat dari pangkal kebudayaannya, mereka berasal dari wilayah Yunnan di
Tiongkok Selatan. Mereka termasuk rumpun bangsa Austronesia. Rumpun bangsa
Austronesia terdiri atas dua subspesies/ras, yaitu ras Mongoloid dan ras Austro
Melanesoid. Mereka inilah nenek moyang bangsa Indonesia sesungguhnya.
Berdasarkan
jenis artefak yang ditemukan, para ahli memperkirakan nenek moyang berasal dari
Teluk Tankin yang melakukan migrasi ke daerah lain.
Selain
berasal dari Teluk Tankin, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan
Asia yang berimigrasi ke Indonesia yang menyebabkan manusia purba di Indonesia
mengalami kepunahan. Jenis homo waja kensis yang menjadi penghuni asli
Indonesia yang menyebar kea rah Barat dan timur. Mereka yang menyebar ke arah
Barat dan Timur termasuk Austro Melansoid, mereka menetap di Sumatera Timur.
Dan yang arah Timur menetap di Papua, kepulauan Kei, pulau Seram, dan Sulawesi
Selatan. Adapun beberapa pendapat para ahli mengenai asal-usul Nenek moyang
Indonesia diantaranya adalah:
1. Von Hiene Geldern
Menurut Von Hiene
Geldern, penduduk bangsa Indonesia sebelum nenek moyang masuk ke Indonesia
adalah Homo Wajakensis. Homo wajakensis yang tidak mau berasimilasi berimigrasi
menuju ke Timur dan akhirnya melahirkan penduduk Asia Australia.
2. Mandaline Coloni
Sebelum nenek
moyang bangsa Indonesia datang, di wilayah Indonesia sudah berpenduduk suku
nagrito dan suku weddoit. Kedua suku ini berasal dari Tonkin yang menyebar ke
Indonesia dan pulau-pulau di Pasifik.
Pada saat nenek moyang bangsa Indonesia
datang, suku nagrito sudah punah. Namun suku weddoit masih ada, diantaranya
suku Sakai di Siak, suku Kubu di Jambi, dan suku Kubu di Palembang.
3. H. Kern dan Hiene
Geldern
Menurut H. Kein dan
Hiene Geldern nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia. Pada
mulanya nenek moyang Indonesia bertempat di daerah Yunan (Cina Selatan) ke
Selatan daerah Vietnam.
4. Prof. Dr. H. Kern
Ilmuwan
asal Belanda ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia. Kern
berpendapat bahwa bahasa –
bahasa yang digunakan di
kepulauan Indonesia, Polinesia, Melanesia, Mikronesia memiliki akar bahasa yang
sama, yakni bahasa Austronesia. Kern menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia
berawal dari satu daerah dan menggunakan bahasa Campa. Menurutnya, nenek-moyang
bangsa Indonesia menggunakan perahu-perahu bercadik menuju kepulauan Indonesia.
Pendapat Kern ini didukung oleh adanya persamaan nama dan bahasa yang
dipergunakan di daerah Campa dengan di Indonesia, misalnya kata
“kampong” yang banyak digunakan sebagai kata tempat di Kamboja. Selain nama
geografis, istilah-istilah binatang dan alat perang pun banyak kesamaannya.
Tetapi pendapat ini disangkal oleh K. Himly dan P.W. Schmidt berdasarkan perbendaharaan
bahasa Campa.
5. Moh.
Yamin
Pendapat
Moh. Yamin adalah bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah
Indonesia sendiri. Hal ini berdasarkan penemuan fosil-fosil dan artefak manusia
tertua di Indonesia.
B.
Persebaran
Nenek Moyang di Indonesia
Homo erectus dan
homo wajakensis pernah tinggal dan hidup di Indonesia. Namun ada yang menduga
bahwa kedua jenis manusia purba tersebut bukan nenek moyang bangsa Indonesia.
Demikian pula
dengan Austro Melanesoid
yang juga diragukan sebagai nenek moyang bangsa Indonesia. Berdasarkan
ciri-ciri fisik bangsa Indonesia terutama yang tinggi di kawasan Timur yaitu
Austro Melanesoid.
Ciri-ciri fisiknya tinggi, berkulit agak
gelap, hidung lebih mancung dan berambut keriting. Adapun dugaan bahwa Austro
Melanesoid sebagai nenek moyang bangsa Indonesia.
a. Keturunan
langsung dari homo wajakensis, dugaan tersebut didasarkan atas pewaris
ciri-ciri fisik ragawi.
b. Keturunan
protoaustroid yang berpindah di sekitar laut tengah dan pernah tinggal di India
sebelum bangsa Dravida. Persamaan ragawi dan bahasa mendasari dugaan. Jadi,
bangsa ini bukan asli Nusantara.
Nenek
moyang bangsa Indonesia bukanlah manusia-manusia jenis Meganthropus Palaeojavanicus,
Pithecantropus Erectus, Homo Soloensis, atau Homo Wajakensis. Walaupun terdapat
di Indonesia, manusia-manusia jenis itu sudah punah. Untuk mengetahui asal nenek moyang bangsa Indonesia,
kita dapat menggunakan dua cara, yakni persebaran rumpun bahasa dan persebaran
kebudayaan bercocok tanam.
1.
Rumpun
Bahasa Melayu Austronesia
Bahasa yang tersebar di Indonesia
termasuk rumpun bahasa Melayu Austronesia. Rumpun bahasa ini meliputi wilayah
yang luas: dari Madagaskar di Afrika sampai ke Melanesia dan Polinesia di
Samudera Pasifik, lalu dan Taiwan sampai ke Indonesia. Penggunaan bahasa Melayu
Austronesia di wilayah yang luas itu erat kaitannya dengan persebaran penduduk
yang menggunakan bahasa tersebut. Para pakar sejarah berpendapat bahwa bahasa Melayu Austronesia berasal dari Taiwan.
Sekitar 5000 SM, masyarakat di Taiwan menggunakan bahasa yang disebut Proto
Austronesia (Austronesia kuno).
Masyarakat di tempat itu telah mengenal cocok tanam dan beternak.
Masyarakat itu kemudian menyebar ke sebelah selatan Cina, Vietnam, Semenanjung
Malaya, lalu ke Indonesia. Ada juga yang mengarungi laut menuju Filipina terus
ke arah kepulauan di Indonesia dan Samudera Pasifik.
2.
Masyarakat
Tani di Yunan
Peralihan dan kebudayaan berburu dan
mengumpulkan makanan pada kebudayaan
bercocok tanam merupakan perubahan amat besar. Perubahan itu tidak
mungkin dilakukan oleh penduduk asli Indon esia yang sudah terbiasa dengan
kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan. Para pakar sejarah menyimpulkan
bahwa kebudayaan bercocok
tanam diperkenalkan oleh masyarakat pendatang. Mereka ini
sudah terbiasa dengan bercocok tanam dan beternak di tempat asalnya. Kebiasaan
itu mereka terapkan di tempat baru di Indonesia. Pendatang inilah yang menjadi
nenek moyang bangsa Indonesia.
Nenek
moyang bangsa Indonesia ternyata
berasal dan luar Indonesia, yaitu dan daerah Yunan, di sebelah selatan Cina
(sekarang RRC). Kesimpulan tersebut dibuktikan oleh kesamaan artefak prasejarah
yang ditemukan di wilayah itu dengan artefak prasejarah di Indonesia. Dari
artefak yang ditemukan di Yunan, tampak bahwa sekitar 3000 SM, masyarakat di
wilayah itu telah mengenal cocok tanam.
Kemudian, masyarakat Yunan melakukan
migrasi ke daerah sekitar Teluk Tonkin, sebelah utara Vietnam. Di tempat itu
mereka mengembangkan kebudayaan
bercocok tanam. Dari tempat itu, mereka melakukan migrasi ke
Kepulauan Indonesia. Migrasi dilakukan secara bergelombang. Gelombang yang satu
dengan yang berikut bejarak waktu lebih dan 1000 tahun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nenek moyang bangsa Indonesia datang
ke nusnatara melalui dua jalur yakni jalur barat dan timur.Migrasi jalur barat
di lakukan dari yunan ke semenanjung Malaysia, Kalimantan, menuju Jawa dan Nusa
Tenggara. Penyebaran jalur timur di mulai dari Teluk Tonkin menyusuru
pantai asia timur menuju Taiwan , Filipina, Sulawesi, Maluku, papua, sampai
australia . Mereka datang secara bergelombang, gelombang pertama adalah bangsa
prota melayu yang datang membawa kebudayaan kapak persegi dan kapal bercadik
satu. Gelombang kedua adalah bangsa deutro melayu yang datang membawa kebudayaan
kapak lonjong dan kapal bercadik dua.
Sebelum kedua bangsa melayu tersebut
datang ke nusantara da beberapa suku primitive yang sudah terlebih dahulu
menetap di nusantara.
Oleh karna itu saat bengsa melayu
datang ke nusantara meraka melakukan proses kawin mengawin dangan suku asli
yang sudah mendiami nusantara terlebih dahulu. Karna itu bangsa Indonesia
sekarang adalah turunan dari bangsa deutro melayu, prota melau, bangsa
Melanesia dan bangsa primitive yang dulu mendiami nusantara.
Dan padasaat itu keadaan geografis
Indonesia yang luas memaksa mereka untuk tinggal terpencar di seluruh wilayah
nusantara yang sangat luas. Sehingga mereka hidup sacara terisolasi dari suku
bangsa yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
http://fitrinuraenialhafidza.wordpress.com/2013/02/19/makalah-asal-usul-penyebaran-dan-pengaruh-nenek-moyang-bangsa-indonesia/
http://www.artikelsiana.com/2014/09/persebaran-nenek-moyang-bangsa-Indonesia.html#_
Mustafa Shodiq . 2006. Wawasan Sejarah
1 Indonesia dan Dunia. Solo : Tiga Serangkai
Mustopo Habib. 2007. Sejarah
1. Jakarta : Yudhistira
MAKALAH
ASAL-USUL NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA
Disusun Oleh :
Kelompok II
Kelas : X OTM B
Guru Pembimbing :
SMK
TAHUN PELAJARAN 2014/2015
1 Comments
Kesimpulan tersebut dibuktikan oleh kesamaan artefak prasejarah yang ditemukan di wilayah itu dengan artefak prasejarah di Indonesia. Dari artefak yang ditemukan di Yunan, tampak bahwa sekitar 3000 SM, masyarakat di wilayah itu telah mengenal cocok tanam. KENAPA INI GAK KITA BALIKAN. NENEK MOYANG YUNAN ?TAIWAN ITU BERASAL DARI INDONESIA KARENA PERSAMAAN ARTEFAK TADI???
ReplyDelete