KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan Rahmat taufik dan hidayah – Nya sehingga Penulisan
Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah saya ini berjudul “MUNAKAHAT “, didalam Makalah saya ini terdapat beberapa pembahasan
diantaranya, Pengertian Munakahat, Syarat dan Hukum Munakahat, serta Hikmah Munakahat.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini, itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan
dorongan serta bimbingan dari Dosen Pembimbing serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah
ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya
serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan prestasi dimasa
yang akan datang.
Wassalam,
Desember
2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Munakahat ................................................................................... 2
B. Syarat dan
Hukun Munakahat ...................................................................... 3
E. Hikmah Munakahat
...................................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
................................................................................................... 12
B. Saran ........................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar
pernikahan adalah nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia, kata nikah berarti
berkumpul atau bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang
disyariatkan dalam agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang
menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga
yang bahagia dlan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang
berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Tujuan
pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk
hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui
lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI
tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat
perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu
perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut
hukum agama/fiqih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila
salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak
sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut
syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan
antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba membahas perbandingan
antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Munakahat
Secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki
dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa
Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah
syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki - laki dan
perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi
hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah
merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan
hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn
perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan,
keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi
keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling
kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki - laki dan perempuan
yang tidak dibina dengan sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi
kedua insan itu, keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang
diikat dengan tali pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan
kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling tolong
menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga kejahatan yang
mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang juga
akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Allah
SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
”
Maka kawinilah wanita - wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang
saja .” (An - Nisa : 3).
Ayat
ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan
nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan
kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat
lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan
syarat - syarat tertentu.
B. Syarat dan Hukum Munakahat
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum
nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
· Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah
dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
· Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah
tetapi dapat memelihara diri dari zina.
· Mubah, bila tak ada alasan yang
mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
· Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu
memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
· Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu
memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
Akad
nikah tidak akan sah kecuali jika
terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara
ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan
mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam
menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an
mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh)
sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah
tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat
ijab-qabul adalah :
a. Diucapkan
dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b. Menyebut
jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a. Muslim
& mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka )
b. Bukan
mahrom dari calon isteri
c. Tidak
dipaksa.
d. Orangnya
jelas.
e. Tidak
sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a. Muslimah (atau beragama samawi, tetapi
bukan kafirah/musyrikah) &
mukallaf
b. Tidak ada halangan syar’i (tidak
bersuami, tidak dalam masa ‘iddah &
bukan
mahrom dari calon suami).
c. Tidak dipaksa.
d. Orangnya jelas.
e. Tidak sedang melaksanakan ibadah
haji.
4. Adanya wali.
Syarat
wali adalah :
a. Muslim
laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b. ‘Adil
c. Tidak
dipaksa.
d. Tidaksedang
melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan
dan urutan wali adalah sebagai berikut:
a. Ayah
b. Kakek
c. Saudara
laki-laki sekandung
d. Saudara
laki-laki seayah
e. Anak
laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f. Anak
laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g. Paman
sekandung
h. Paman seayah
i. Anak laki-laki dari paman sekandung
j. Anak laki-laki dari paman seayah.
k. Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada
hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang
saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat
saksi adalah :
a. Muslim laki-laki & mukallaf (sehat
akal-baligh-merdeka).
b. Adil
c. Dapat mendengar dan melihat.
d. Tidak dipaksa.
e. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk
ijab-qabul.
f. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa
ketentuan tentang mahar :
a. Mahar
adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang
suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat
QS. An Nisaa’ : 4.
b. Mahar
wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua.
c. Mahar
yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d. Mahar
dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e. Mahar
tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini
untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi
tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang
mahar yang mudah dan pernah pula.
D. Wanita yang Haram di Nikahi
Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampai. Sesungguhnya perbuatan itu
amatlah dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudara yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang
sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campuri dengan isteri kamu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);, dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri yang telah kamu nikahi (campur) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah
saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa:22-24).
Dalam tiga ayat diatas Allah SWT menyebutkan perempuan-perempuan
yang haram dinikai. Dengan mencermati firman Allah tersebut, kita dapat
menyimpulkan bahwa tahrim, pengharaman’ ini terbagi dua:
Pertama: Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku
selama-lamanya), yaitu seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang
laki-laki di segenap waktu.
Kedua: Tahrim Muaqqat (pengharaman yang bersifat
sementara), jika nanti keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan ua menjadi
halal.
Sebab-sebab tahrim
muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga:
Pertama karena nasab,
kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena penyusuan.
Pertama: perempuan-perempuan
yang haram dinikahi karena nasab adalah :
1.
Ibu
2.
Anak perempuan
3.
Saudara perempuan
4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan).
Kedua: perempuan-perempuan
yang haram diwakin karena mushaharah adalah :
1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini
suami harus dukhul ”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah
dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.
2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul
(dikumpul), oleh karena itu, manakala akad nikah dengan ibunya sudah
dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk
halal bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi
kalian belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka
tidak berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram
dikawini hanya sekedar dilangsungkannya akad nikah.
4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi
isteri bapak dengan sebab hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
Ketiga: perempuan-perempuan
yang haram dikawini karena sepersusuan.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah
menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana
yang menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari
IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud
VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99). Hal.570
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung,
dan semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung,
haram pula dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang
lain haram kawin dengan:
1. Ibu susu (nenek)
2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)
3. Ibu Bapak susu (kakek)
4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu
susu)
5. Saudara perempuan bapak susu
6. cucu perempuan dari Ibu susu
7. Saudara perempuan sepersusuan
Persusuan Yang
Menjadikan Haram
Dari Aisyah r.anha bahwa
Rasulullah saw. Bersabda, ”Tidak bisa menjadikan haram, sekali isapan
dan dua kali isapan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2148, muslim II: 1073
no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud VI: 69 no: 2049, Ibnu Majah I:
624 no:1941, Nassa’i VI:101).
Dari Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk ayat Qur’an yang
diwahyukan. Sepuluh kali penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian
dihapus (ayat) ayat yang menyatakan lima kali penyusuan tertentu sudah menjadi
haram. Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Qur’an itu tetap di baca sebagai
bagian dari al-Qur’an.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim II:1075
no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308 no:1160, Ibnu Majah
II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100). Dipersyaratkan hendaknya penyusuan
itu berlangsung selama dua tahun, berdasar firman Allah, ”Para Ibu hendaklah
menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233)
Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak
menjadi haram karena penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus-usus di
payudara dan ini terjadi sebelum disapih.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150
dan Tirmidzi II:311 no:1162).
Perempuan-Perempuan Yang
Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu
1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara
Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada lampau.”
(An-Nisaa’:23).
2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah
ataupun dari pihak ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,
”Tidak boleh dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak
ayah dan tidak (pula) dari ibunya.” (Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi
II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan Nasa’i
VI:98).
3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.
”Dan (diharamkan juga
kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini
wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang
menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya setelah
berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini
mengacu pada hadits dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus
pasukan negeri Authas. Lalu mereka berjumla dengan musunya, lantar mereka
memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan mereka dan menangkap sebagian di
antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah saw
merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka
berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu
menurunkan ayat, ”Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita
bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. ’Yaitu mereka halal kamu
campuri bila mereka selesai menjalani masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim
no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan
’Aunul Ma’bud VI:190 no:2141).
4. Wanita yang dijatuhi talak tiga
Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama
sehingga ia kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah. Allah SWT
berfirman, ”Kemudian jika si suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah
:230).
5. Kawin dengan wanita pezina
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi
wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi seorang perempuan kawian dengan
seorang laki-laki pezina, terkecuali masing-masing dari keduanya tampak jelas
sudah melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina
tidak boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik; dan
perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina
atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang
yang mukmin.” (An-Nuur : 3).
Dari Amr bin Syu’aib,
dari ayanya dari datuknya bahwa Martad bin Abi Martad al-Ghanawi pernah membawa
beberapa tawanan perang dari Mekkah dan di Mekkah terdapat seorang pelacur yang
bernama ’Anaq yang ia adalah teman baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang
menemui Nabi saw. lalu kutanyakan kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya
menikah dengan ’Anaq Mak Beliau diam, lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik.” Kemudian Beliau memanggilku kembali dan membacakan ayat itu kepadaku,
lalu bersabda, ”Janganlah engkau menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i
no:3027, ’Aunul Ma’bud VI:48 no: 2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227).
C. Hikmah Munakahat
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya
terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah,
terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1.
Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2.
Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana
menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah
berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya
akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4.
Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah
pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara
kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan
dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena
sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari
dan Muslim dalam Kitab Shaum)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan
dalam agama Islam. Pernikahan merupakan
suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan mendapatkan
keturunan yang sah. Nikah adalah
fitrah yang berarti sifat asal
dan pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT.
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat. Hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum, nikah dapat
berubah menjadi sunah, wajib,makruh,atau haram.
Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat
manusia (prig terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah
tangga yang bahagia sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.
B. Saran
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang
menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk
keluarga yang bahagia dalam mendapatkan
keturunan yang sah.
Maka dari itu,
kita harus mengetahui segala
sesuatu, mulai dari hukum nikah, rukun nikah, kewajiban suami istri setelah
menikah, hikmah menikah, agar kita tidak sekali-kali bila ada kesalah pahaman di
dalam keluarga jangan terus
membuat keputusan untuk bercerai, karena bercerai itu tidak disukai oleh Allah
SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantoro
Sulaiman, SE, Agenda Pengantin, Hidayatul Insan, Solo, 2002
Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002
Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002
http://www.kosmaext2010.com/makalah-fiqih-makalah-munakahat-perkawinan.php
0 Comments