MAKALAH
ISLAM DAN
KEMASYARAKATAN DALAM RUANG LINGKUP MASJID DAN KONTEKS PEMASYARAKATAN
DISUSUN OLEH
:
MATA KULIAH :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DOSEN PEMBIMBING :
PROGRAM
STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
BATURAJA
2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah makalah
ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki.
Penulis
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh
dari apa yang penulis harapkan. Untuk itu, penulis berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.
November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .......................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C.
Tujuan ........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Masyarakat .............................................................................. 3
B.
Masyarakat dan Negara ............................................................................. 4
C.
Kemasyarakatan dalam Islam .................................................................... 9
D.
Majelis Islam .............................................................................................. 9
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai teori atau konsep, civil society sebenarnya sudah
lama dikenal sejak masa Aristoteles pada zaman Yunani Kuno, Cicero, pada zaman
Roma Kuno, pada abad pertengahan, masa pencerahan dan masa modern. Dengan
istilah yang berbeda-beda, civil society mengalami evolusi pengertian yang
berubah dari masa ke masa. Di zaman pencerahan dan modern, isttilah tersebut
dibahas oleh para filsuf dan tokoh-tokoh ilmu-ilmu sosial seperti Locke,
Hobbes, Ferguson, Rousseau, Hegel, Tocquiville, Gramsci, Hebermas.Dahrendorf,
Gellner dan di Indonesia dibahas oleh Arief Budiman, M.Amien Rais, Fransz,
Magnis Suseso, Ryaas Rasyid, AS. Hikam, Mansour Fakih.
Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun kota budaya
bukan sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat lokal, tetapi lebih
dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan
individu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai
nilai-nilai kemanusiaan .
Umat Islam telah memperkenalkan konsep masyarakat
peradaban, masyarakat madani, atau civil society, adalah Nabi Muhammad, Rasulullah S.A.W. sendiri yang
memberikan teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban tersebut. Setelah
perjuangan di kota Makkah tidak menunjukkan hasil yang berarti, Allah telah
menunjuk sebuah kota kecil, yang selanjutnya kita kenal dengan Madinah, untuk
dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat peradaban yang dicita-citakan. Di
kota itu Nabi meletakan dasar-dasar masyarakat madani yakni kebebasan. Untuk
meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik,
Nabi diizinkan untuk
memperkuat diri dengan membangun kekuatan bersenjata untuk melawan musuh
peradaban. Hasil dari proses itu dalam sepuluh tahun, beliau berhasil membangun
sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan
dilandasi ketaqwaan dan ketaatan kepada ajaran Islam. Salah satu yang utama
dalam tatanan masyarakat ini adalah pada penekanan pola komunikasi yang
menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep
ketaqwaan pada tataran vertikal. Nurcholis Madjid (1999:167-168) menyebut dengan
semangat rabbaniyah atau ribbiyah sebagai landasan vertikal, sedangkan semangat
insyanyah atau basyariah yang melandasi komunikasi horizontal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian masyarakat?
2. Bagaimana masyarakat dan negara?
3. Bagaiamana kemasyarakatan dalam
pandangan Islam?
4. Bagaimana ruang lingkup masyarakat
dalam majelis Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian
masyarakat.
2. Untuk mengetahui masyarakat dan
negara.
3. Untuk mengetahui kemasyarakatan
dalam pandangan Islam.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup
masyarakat dalam majelis Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup dalam
wilayah yang sama dan memiliki tujuan yang sama. Unsur-unsur
pembentukan masyarakat :
1. Bahasa
Bahasa memungkinkan manusia membentuk hubungan rohaniah.
Secara jasmaniyah warga masyarakat terpisah antara satu dengan lainnya tetapi
secara rohaniah mereka berhubungan. Tanpa hubungan rohaniah masyarakat tidak
terbentuk. Dengan bahasa si A menyampaikan apa yang ada dalam dirinya kepada si
B. Tanpa saluran itu si B tidak akan tahu apa-apa yang dipikirkan
,dirasakan,diinginkan,dan dialami oleh si A. Dengan adanya bahasa terjadilah
interaksi antara seseorang dengan orang lain atau sekelompok dengan kelompok lainnya.
Dengan interaksi timbullah kerja sama dan kehidupan bersama antara kelompok
pribadi itu, sehingga terbentuklah masyarakat.
2. Api
Api memberi manusia energi. Dengan api ia dapat memasak
melunakkan bahan makanan yang mentah dan ia memakan yang sudah dimasak. Api
memberikan energi teknik. Tenaga manusia yang sangat terbatas menjadi tanpa
batas oleh energi kerja itu. Apabila tidak ada tenaga api yang dalam bentuk
modernnya menjadi uap, listrik, dan atom apa yang akan terjadi?Kita akan hidup
seperti nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu.
3. Agama
Manusia bersahaja dahulu ketika pada awal pembentukan
pengetahuan ,menghadapi alam dan peristiwa-peristiwa alam dalam kehidupan
dengan penuh tanda tanya. Mana yang tak terjawaboleh pengetahuan mereka yang
dangkal mereka pulangkan pada hal-hal yang gaib. Apa yang tak terjawab oleh
pengetahuan mereka yang dangkal,dipulangkan pada agama,antara lain tentang
hidup mati, keraguan dan ketakutan dalam mengahadapi berbagai peristiwa,
harapan setelah meniggalkan dunia ini. Tanpa agama manusia terdampar pada
kehidupan jasmaniah saja. Tanpa kehidupan rohaniah lenyap tempat tegak etika
dan moral serta kepercayaan kehidupan di seberang kubur.
B. Masyarakat
dan Negara
Ibnu khaldun
mengemukakan bahwa penyebab masyarakat berkembang adalah karena perbedaan tata
pemerintahan dan perubahan keluarga yang memerintah, karena pencampuran
kebiasaan tiap-tiap keluarga dengan kebiasaan keluarga yang terdahulu,
kecendrungan alami yang terdapat pada orang-orang yang diperintah untuk
memeruntah datang membawa kebiasaan dan tradisi yang berbeda-beda dengan
kebiasaan keluarga terdahulunya serta tradisinya:” Selama bangsa dan generasi
silih berganti raja dan sultan, perbedaan pada kebiasaan-kebiasaan dan hal
ihwalnya akan tetap terjadi (Al Muqaddamah, al Bayan:253)2. Dari
kutipan pernyataan tersebut sudah jelaslah bahwa bagi Ibnu Khaldun, adanya
masyarakat, negara, dan peradaban tidak bergantung pada adanya agama.
Hal lain jika pemikir besar Yunani Kuno seperi Plato dan Aristoteles tidak membeadakan antara masyarakat dengan negara. Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang bebeda, mengenai masyarakat lahir dengan tabiat serta fitrah kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat, manusia itu memerlukan masyarakat, sebab mereka memerlukan kerjasama antarsesama untuk dapat hidup, baik ini dalam rangka memperoleh makanan sehari-hari maupun untuk mempertahankan diri.
Hal lain jika pemikir besar Yunani Kuno seperi Plato dan Aristoteles tidak membeadakan antara masyarakat dengan negara. Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang bebeda, mengenai masyarakat lahir dengan tabiat serta fitrah kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat, manusia itu memerlukan masyarakat, sebab mereka memerlukan kerjasama antarsesama untuk dapat hidup, baik ini dalam rangka memperoleh makanan sehari-hari maupun untuk mempertahankan diri.
Ikatan bermasyarakat, bernegara dan
berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang tumbuh dan tenggelam lepas dari
soal apakah agama dalam pengertian nubuwwah datang atau tidak, karena ia
mengakui bahwa banyak peradaban dan Negara tumbuh dan tenggelam tanpa didatangi
oleh ajaran-ajaran nabi. Bagi Khaldun, adanya masyarakat, Negara dan peradaban
tidak bergantung pada adanya agama. Meski di lain pihak Khaldun adalah seorang
yang ditandai oleh ajaran-ajaran agama Islam, terutama fikih dan tafsir. Ini
mempengaruhi sikapnya terhadap tuhan, manusia dan masyarakat.
Ibnu Khaldun telah membedakan antara
masyarakat dan negara. Menurut pemikiran Yunani Kuno bahawa Negara dan
masyarakat adalah identik. Adapun Khaldun, berpendapat bahwa berhubung dengan
tabiat dan fitrah kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat, artinya bahwa
manusia itu memerlukan kerjasama antara sesamanya untuk dapat hidup; baik untuk
memperoleh makanan maupun mempertahankan dirinnya sendiri. Sungguhpun ada
perbedaan antara Negara dan masyarakat, namun antara keduanya tidak dapat
dipisahkan. Negara dihubungkan dengan pemegang kekuasaan yang dalam zamannnya
disebut daulah merupakan bentuk masyarakat. Sebagaimana bentuk suatu benda
tidak dapat dipisahkan dari isi, maka demikian pulalah keadaannya dengan Negara
dan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang menetap, yang
telah membentuk peradaban, bukan yang masih berpindah-pindah mengembara seperti
kehidupan nomaden di padang pasir.
Ibnu Khaldun seorang kritikus dan pakar
sosiologi, berpendapat bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu
keharusan bagi kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat yang telah
banyak dikemukakan oleh para ahli sosiologi, bahwa manusia adalah makhluk
politik (zoon politicon) atau makhluk sosial. Manusia akan merasa kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya jika ia hidup sendirian tanpa adanya institusi
yang mengorganisasikannya.
Kebutuhan utama manusia adalah makanan
dan keamanan. Dua kebutuhan tersebut tidak dapat tercapai seorang diri, maka
secara otomatis manusia memerlukan kerjasama antar sesamanya. Hal inilah yang menyebabkan
manusia membutuhkan organisasi kemasyarakatan. Setelah terbentuknya organisasi
kemsyarakatan dan peradaban, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang dengan
pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pelaksana keadilan di antara
mereka. Manusia selain membtuhkan rasa keadilan juga memiliki rasa agresif dan
watak tidak adil, maka keberadaan seseorang yang mampu mengayomi dan melindungi
hak-haknya dari serangan dan kelaliman sesamanya sangat dibutuhkan.
Fenomena riil inilah yang akhirnya mengilhami
Ibnu Khaldun untuk memikirkan tentang asal mula negara dan menjadi embrio
konsep negara menurut Ibnu Khladun. Karena negara dalam skala makro menempati
posisi organisasi kemasyarakatan yang dapat memenuhi kebutuhan kodrati manusia.
Gagasan ini juga serupa dengan yang telah diungkapkan terlebih dahulu oleh
Plato.
Menurut Khaldun, kehidupan padang pasir itu belumlah disebut Negara. Negara mengandung peradaban dan ini hanya mungkin tercapai dengan kehidupan menetap. Negara pun harus mengandung kekuasaan, kehidupan menetap mendorong kemauan untuk berkuasa dan kekuasaan inilah dasar pembedaan Negara dan masyarakat. Dan untuk tercapainya suatu tujuan dari relasi antara masyarakat dan negara akan dibutuhkan suatu Ashabiyah untuk menyatukan interest setiap masyarakat.
Menurut Khaldun, kehidupan padang pasir itu belumlah disebut Negara. Negara mengandung peradaban dan ini hanya mungkin tercapai dengan kehidupan menetap. Negara pun harus mengandung kekuasaan, kehidupan menetap mendorong kemauan untuk berkuasa dan kekuasaan inilah dasar pembedaan Negara dan masyarakat. Dan untuk tercapainya suatu tujuan dari relasi antara masyarakat dan negara akan dibutuhkan suatu Ashabiyah untuk menyatukan interest setiap masyarakat.
Dalam bernegara, diperlukan rasa
Ashabiyah, rasa golongan untuk mengikat warga negara, rakyat negara itu atau
golongan pendukung negara bersangkutan, bila diperlukan untuk mempertahankan
negara dibawah suatu pemimpin, penguasa atau kepala negara. Menurut Khaldun,
suatu suku mungkin dapat membentuk dan memelihara suatu Negara apabila suku itu
memiliki sejumlah karakteristik social-politik tertentu, yang oleh Ibnu Khaldun
disebut dengan Ashabah. karakteristik ini justru berada hanya dalam kerangka kebudayaan
desa. Oleh karena itu penguasaan atas kekuasaan dan pendirian Negara, sehingga
munculnya kebudayaan kota akan membuat sirnanya ashabiyah yang mengakibatkan
melemahnya Negara. Dalam soal Ashabiyah ini menunjukkan, bagi pendapat Ibnu
Khaldun negara itu tidak terikat dengan adanya nubuwwah, hal yang penting dalam
soal penguasa atau kepala negara.
Menurut Ibnu Khaldun, solidaritas kelompok (Ashabiyyah) sangatlah diperlukan karena dapat melahirkan semangat saling mendukung dan saling membantu serta rasa ikut malu dan tidak rela jika di antara mereka diperlakukan tidak adil atau hendak dihancurkan. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun untuk menguraikan teori ‘ashabiyyah ini, antara lain:
Menurut Ibnu Khaldun, solidaritas kelompok (Ashabiyyah) sangatlah diperlukan karena dapat melahirkan semangat saling mendukung dan saling membantu serta rasa ikut malu dan tidak rela jika di antara mereka diperlakukan tidak adil atau hendak dihancurkan. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun untuk menguraikan teori ‘ashabiyyah ini, antara lain:
a.
Secara alamiah solidaritas kelompok itu terdapat
dalam watak manusia.
b.
Adanya solidaritas kelompok yang kuat
merupakan suatu keharusan dalam membangun suatu negara.
c.
Seorang kepala negara, agar dapat secara
efektif mengendalikan ketertiban negara dan melindunginya, harus mampu menumbuhkan
solidaritas kelompok.
Solidaritas kelompok dapat melahirkan
pemimpin yang unggul dan superior. Negara menurut Khaldun adalah suatu makhluk
hidup yang lahir, mekar menjadi tua dan akhirnya hancur. Negara mempunyai umur
seperti makhluk hidup lainnya. Khaldun berpendapat bahwa umur suatu Negara
adalah tiga generasi, yakni sekitar 120 tahun. Satu genarasi dihitung umur yang
biasa bagi seseorang yaitu 40 tahun. ketiga generasi tersebut ialah:
a.
Genersi pertama, hidup delam keadaan
primitive yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota, masih tinggal
di pedesaan dan padang pasir.
b.
Generasi kedua, berhasil meraih
kekuasaan dan mendirikan Negara, sehingga generasi ini berlih dari kehidupan
primitive yang keras ke kehidupan kota yang penuh dengan kemewahan.
c.
Generasi ketiga, Negara mengalami
kehancuran, sebab generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut dan
kehilangan makna kehormatan, keperwiraan dan keberanian.
Pemikiran Ibnu Khaldun dan Sosial
Politik Indonesia
Gagasan Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa asal mula suatu negara ditimbulkan karena kodrat manusia yang tidak hanya sebagai makhluk individu tetapi juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dan yang memiliki kepentingan dan kebutuhan masing-masing. Untuk memenuhi kebutuhan itu, manusia membutuhkan kerjasama yang terakomodasi dalam bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat aturan yang disepakati. Dalam konteks ini, maka negara sangat berperan. Di Indonesia, negara menjalankan fungsinya sebagai organisasi yang mengatur semua tata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman.
Gagasan Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa asal mula suatu negara ditimbulkan karena kodrat manusia yang tidak hanya sebagai makhluk individu tetapi juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dan yang memiliki kepentingan dan kebutuhan masing-masing. Untuk memenuhi kebutuhan itu, manusia membutuhkan kerjasama yang terakomodasi dalam bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat aturan yang disepakati. Dalam konteks ini, maka negara sangat berperan. Di Indonesia, negara menjalankan fungsinya sebagai organisasi yang mengatur semua tata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman.
Di dalam menjalankan fungsinya, negara
harus dipimpin oleh seorang kepala negara. Konsep kepala negara yang dicitakan
oleh Ibnu Khaldun haruslah seorang yang berilmu, adil, mampu, sehat, dan dari
keturunan Quraiys. Jika konsep ini diterapkan di Indonesia maka sangatlah tepat
dan relevan, kendati harus dilakukan reaktualisasi dan rekontekstualisasi dalam
konteks ke-Indonesia-an. Kepala negara yang akan memimpin bangsa Indonesia
haruslah orang yang memiliki integritas keilmuan yang tinggi. Mustahil seorang
dapat menjalankan fungsi kepemimpinannya secara optimal jika tidak mempunyai
perangkat keilmuan. Kontekstualisasi dari syarat ‘dari keturunan Quraiys’
adalah bahwa kepala negara atau pemerintah harus mempunyai kewibawaan dan mendapatkan
legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat. Suatu pemerintahan yang tidak
legitimate akan mendapatkan kendala dalam menjalankan tugasnya.
Bagi Ibnu Khaldun, idealnya suatu negara berdasarkan nilai Islam secara formal untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, namun ia juga tidak menutup realitas beberapa negara yang dapat berkembang secara progresif, mandiri, dan mencapai kesejahteraan tanpa harus berasaskan Islam secara formal. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai negara yang plural, multikultural, dan multireligius, tidak mutlak harus berdasarkan Islam tetapi nilai-nilai Islam yang menjadi ruh (soul) dan jiwa (spirit) dari peraturan dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia.
Bagi Ibnu Khaldun, idealnya suatu negara berdasarkan nilai Islam secara formal untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, namun ia juga tidak menutup realitas beberapa negara yang dapat berkembang secara progresif, mandiri, dan mencapai kesejahteraan tanpa harus berasaskan Islam secara formal. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai negara yang plural, multikultural, dan multireligius, tidak mutlak harus berdasarkan Islam tetapi nilai-nilai Islam yang menjadi ruh (soul) dan jiwa (spirit) dari peraturan dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia.
Dalam konteks penerapan syariat Islam di
Indonesia misalnya, maka sangat sulit diterapkan, karena kondisi geografis dan
kultur masyarakat Indonesai jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Arab ketika
ayat al-Qur’an diturunkan. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk peraturan dan
sistem ketatanegaraan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Islam secara substantif bukan menjadi hal yang signifikan.
Bagi Ibnu Khaldun sendiri tidak terlalu
mempersoalkan apakah negara itu harus mengikuti sistem pemerintahan Islam
seperti pada masa Rasulullah dan para sahabatnya. Yang paling esensi baginya
adalah bahwa tujuan diadakannya negara untuk melindungi rakyat dan menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran tercapai, dengan tetap mengapresiasi dan
mengakomodasi nilai-nilai universal Islam yang diturunkan Allah melalui
Rasul-Nya. Itu semua memiliki tujuan agar ajaran Islam yang komprehensif,
universal dan berjiwa rahmatan li al-‘alamin tidak mengalami kejumudan
(stagnancy) jika didialogkan dengan kondisi nyata sosio-kultur masyarakat pada
saat ini.
C. Kemasyarakatan
dalam Pandangan Islam
Masyarakat Islam adalah kelompok manusia dimana hidup
terjaring kebudayaan Islam, yang diamalkan oleh kelompok itu sebagai
kebudayaannya. Dalam artian kelompok itu bekerja sama dan hidup bersama
berasaskan prinsip Al Qur’an dan Hadist dalam kehidupan.
Masyarakat dalam pandangan Islam merupakan alat atau
sarana untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang menyangkut kehidupan
bersama. Karena itulah masyarakat harus menjadi dasar kerangka kehidupan
duniawi bagi kesatuan dan kerja sama umat menuju adanya suatu pertumbuhan
manusia yang mewujudkan persamaan dan keadilan.
D. Majelis Islam
1.
Pesantren
Di
Indonesia istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok pesantren”, yaitu
suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik)
yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid
yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan terebut, serta didukung adanya
pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Dalam
kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri,
atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren
adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok
(asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum,
bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya
sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam
kehidupan bermasyarakat.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam
tertua di indonesia. Lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaanislam
masuk ke Indonesia. Pesantren merupakan sebuah kompleks dengan lokasi umumnya
terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu terdiri dari beberapa
bangunan, di antarnya rumah kediaman kyai, sebuah masjid, tempat pengajaran
diberikan diasrama tempat tinggal para santri. Ada lima elemen atau unsur
penting dalam pesantren, yaitu kyai, santri, pondok dan masjid, dan kitab-kitab
islam klasik.
Menurut
para ahli pesantren baru dapat disebut pesantren bila memenuhilima syarat,
yaitu: ada kiai, ada pondok, ada masjid, ada santri, ada pelajaran membaca
kitab kuning.
Ciri-ciri
khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada
ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi Arab, hukuk Islam,
sistem yurisprudensi islam, Hadis, tafsir Al-Quran, teologi islam, tasawuf,
tarikh, dan retorika. Dan literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab
klasik yang disebut dengan istilah “kitab kuning”. Pada tahap selanjutnya,
pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan
islam yang terdapat, yaitu didalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun
nonformal.
2.
Madrasah
Madrasah
adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk
belajar. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami sebagai
lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan. Adapun sekolah sering dipahami
sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan pada umumnya.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh
negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di dalamnya
terdapat komunitas masyarakat Islam.
Istilah
madrasah pada masa klasik berbeda pada masa sekarang. Pada masa klasik madrasah
disamakan dengan Universitas, namun pada masa sekarang adalah fenomena baru
dari lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang kehadirannya pada awal abad
ke-20. Lembaga pendidikan madrasah, sejak tumbuhnya merupakan lembaga
pendidikan yang mandiri, tanpa bantuan atau bimbingan dari pemerintah kolonial
belanda. Setelah Indonesia merdeka barulah madrasah dan pesantren mulai
mendapat perhatian dari pemerintah. Dalam hal ini pembinaan dan tuntunan,
wewenang diserahkan ke Departemen Agama.
Kementrian
Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor I tahun 1952. Menurut
ketetapan ini yang di namakan madrasah ialah tempat pendidikan yang telah
diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam islam
menjadi pokok pelajaran.
3.
Majelis Taklim
Menurut akar katanya, istilah majelis taklim terdiri
dari dua kata: majelis yang berarti tempat dan taklim berarti pengajaran.
Majelis taklim adalah suatu lembaga pendidikan diniyah non formal yang
bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia
bagi jamaahnya.
Majelis Taklim adalah lembaga
pendidikan islam non formal merupakan salah satu wadah tempat berlangsungnya
proses penyampaian dan peralihan ajaran-ajaran Islam. Tujuan majelis taklim
adalah untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara
manusia dengan Allah, antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan
lingkungannya dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah Swt.
Dan berfungsi sebagai taman rekreasi rohaniah, karena penyelenggaraannya
santai, sebagai ajang berlangsungnya silaturrahmi missal yang dapat menghidup
suburkan dakwah dan ukhuwah Islamiyah.
Dalam prakteknya majelis taklim merupakan tempat
pengajaran atau pendidikan agama Islam yang paling fleksibel dan tidak terkait
dengan waktu. Majlis taklim bersifat terbuka terhadap segala usia, lapisan atau
strata sosial, dan jenis klamin. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat,
bisa pagi, siang, sore, atau malam. Tempat penyelenggaraanya pun bisa dilakukan
dirumah, masjid, gedung, dan halaman.
Eksistensi majelis taklim
beserta perangkatnya sebagai lembaga pendidikan dan dakwah serta lembaga
kemasyarakatan telah tumbuh dan berkembang bersama warga masyarakatnya sejak
berabad-abad. Oleh karena itu secara kultural lembaga ini bisa diterima, tetapi
juga ikut serta membentuk dan memberikan corak serta nilai kehidupan kepada
masyarakat yang senantiasa tumbuh dab berkembang. Figur kyai, jama’ah serta
seluruh perangkat fisik yang menandai sebuah majelis taklim senantiasa
dikelilingi oleh sebuah kultur yang bersifat keagamaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada hakikatnya manusia adalah sama.
Hanya ketaqwaanlah yang membedakan derajat mereka di sisi Allah. Allah
menciptakan manusia dengan beragam jenis perbedaan. Agar manusia bisa mengenal
dan menerima perbedaan tersebut kemudian saling bersaudara. Karena sesungguhnya
seluruh umat Islam adalah saudara. Islam mengajarkan Ukhuwah Islamiah dan
membenci perceraian. Tanpa ukhuwah atau rasa kekeluargaan tidak akan terwujud
persatuan dan kesatuan. Salah satu keistimewaan umat Islam adalah rasa
solidaritas dan kebersamaan yang mereka miliki sehingga Islam menjadi agama
yang kuat berkat kesatuan yang terbentuk dikalangan umatnya.
Kita patut bersyukur,meskipun ada 5 agama yang diakui di
Indonesia, tetap damai dan tidak pernah terjadi war of religions seperti yang
pernah terjadi di Eropa pada abad ke 16 sampai awal abad ke 17 M.
Begitu juga dalam bermasyarakat. Apabila dalam suatu
masyarakat sudah mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari,
maka akan tercipta suasana yang rukun dan harmonis. Rasa kekeluargaan dan
kebersamaan yang tertanam dalam diri mereka akan menghasilkan sifat gotong
royong dalam segala aktifitas bersama. Hal ini sesuai dengan arti agama Islam
sebagai agama yang sejahtera, aman sentausa, damai dan selamat.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul. .Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Penada Media. 2006
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Cet.
ke-9. Jakarta: Kalam Mulia. 2011
http://ningsihsriutami.wordpress.com/konteks-penerapan-syariat-islam-di-indonesia/
0 Comments