KATA PENGANTAR
Pertama-tama Saya ucapkan
puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga pembuatan makalah ini dapat diselesaikan.
Dalam membuat makalah ini Kami mendapat
beberapa hambatan dan kesulitan. Namun atas bantuan,dan bimbingan dari semua
pihak akhirnya Saya dapat menyelesaikannya. Sebelumnya kami selaku
penulis ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini, terutama kepada para narasumber yang sudah
memberikan keterangan dan data pendukung laporan ini.
Semoga makalah yang Kami buat dapat
bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata Saya sebagai Penyusun mengucapkan banyak
terimakasih.
Desember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL................................................................................... i
KATA
PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR
ISI ............................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang....................................................................................... 1
1.2. Maksud dan tujuan ................................................................................ 1
1.3 Ruang
lingkup ....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hakikat
Reformasi.................................................................................. 2
2.3 Bentuk Reformasi................................................................................... 2
2.3 Sebab
munculnya reformasi.................................................................... 5
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................ 12
3.2 Saran...................................................................................................... 12
Daftar
Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Reformasi adalah perubahan, Sejak
dikumandangkan bulan Mei 1998, reformasi di segala bidang tengah digalakkan
oleh Bangsa kita dengan semangat untuk menegakkan demokrasi. Tapi apa yang bisa
kita rasakan dan kita lihat dari hasil reformasi ini? Reformasi yang telah
berjalan dua belas tahun ini semula bertujuan menegakkan demokrasi dan HAM,
kini kita lihat hasilnya.
Reformasi yang dapat memperbaiki nasib bangsa
dan mengangkat harkat martabat bangsa.
Reformasi merupakan suatu gerakan yang
menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan
kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih
baik, demo-kratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi
kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan
faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi.
1.2. Maksud dan tujuan
Adapun maksud dan tujuan kami
dalam pembuatan makalah ini, adalah agar kita dapat mengetahui apa yang
dimaksud dengan Reformasi dan bagaimana prosesnya sehingga dapat mempengaruhi
perjalanan bangsa ini
1.3.
Ruang lingkup masalah
Adapun ruang lingkup
permasalahan yang dibahas pada makalah kali ini adalah sebagai berikut.
a.
Hakikat
Reformasi
b.
Bentuk
Reformasi
c.
Sebab
munculnya Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Reformasi
Reformasi merupakan suatu gerakan yang
menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan
kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih
baik, demo-kratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi
kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan
faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis
kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang menentukan. Artinya,
reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi dan
karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan
tersebut. Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya
pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal. Pergantian kepemimpinan
nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum,
sosial, dan budaya. Semua itu merupakan jalan menuju terwujudnya kehidupan yang
aman, tenteram, dan damai. Rakyat tidak mempermasalahkan siapa yang akan
pemimpin nasional, yang penting kehidupan yang adil dalam kemakmuran dan makmur
dalam keadilan dapat segera terwujud (cukup pangan, sandang, dan papan). Namun
demikian, rakyat Indonesia mengharapkan agar orang yang terpilih menjadi
pemimpin nasional adalah orang yang peduli terhadap kesulitan masyarakat kecil
dan krisis sosial.
2.2 Bentuk Reformasi
Reformasi
Prosedural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan
pada tataran normatif atau aturan perundang-undangan dari yang berbentuk
otoriter menuju aturan demokratis. Undang- Undang yang mengatur bidang politik
harus menjamin adanya ruang kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas
politik. Undang- Undang yang mengatur bidang sosial budaya harus memberikan
kesempatan masyarakat untuk membentuk kelompok sosial sebagai ekspresi kolektif
dari identitas masing- masing. Undang-undang yang mengatur bidang ekonomi harus
melindungi kepentingan masyarakat umum (ekonomi kerakyatan) bukan pengusaha dan
penguasa. Begitulah kira- kira gambaran umum arah reformasi prosedural. Pada
konteks ini, hemat penulis , Indonesia dapat dikatakan telah menjalankan
reformasi prosedural itu. Pasca tahun 1998, peraturan perundang- undangan telah
banyak dirubah bahkan peraturan yang mendasari berdirinya Republik Indonesia
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sudah empat kali dilakukan perubahan
(amandemen).
Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang
pokok-pokok pemerintah daerah yang dinilai sentralistik telah dirubah menjadi
Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan dirubah lagi menjadi Undang-undang No 32 tahun
2004 tentang pemerintah daerah yang menjunjung tinggi asas demokrasi yaitu
dengan adanya desentralisasi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Pembahasan perubahan kesemua undang-undang tidak mungkin
dibahas pada tulisan ini. Setidaknya dalam era reformasi ini secara prosedural
terbersit harapan adanya repositioning pola relasi antara
masyarakat dan negara, seperti yang dicatat oleh Lukman Hakim dalam bukunya
yang berjudul Revolusi Sistemik (2003:196) di era reformasi, negara telah
memberi kesempatan seluas mungkin kepada rakyat untuk melakukan usaha-usaha
produktif guna memperkuat posisi tawarnya terhadap negara.Pertanyaannya, rakyat
yang mana yang dapat merasakan reformasi prosedural itu? Rakyat, menurut
Gramsci ada tiga model yakni rakyat kapital, rakyat politik kolektif, dan
rakyat proletar. Hemat penulis, selama ini reformasi prosedural hanya dinikmati
oleh rakyat kapital (konglomerat) dan rakyat politik kolektif (Parpol,LSM).
Sedangkan rakyat proletar (masyarakat tani dan buruh) hanya menjadi penonton,
objek politik, dan bahkan seringkali di eksploitasi oleh politikus, pengusaha,
dan penguasa.
Reformasi Struktural, adalah
tuntutan perubahan institusional negara dari birokratik menuju birokrasi.
Birokratik adalah lembaga negara yang hirarkis, sentralistik dan otoriter.
Birokrasi adalah lembaga negara yang responsif, penegak keadilan,
transparantif, dan demokratis yang menegakkan istilah-istilah suport
system reformasi yang diuaraikan diawal tulisan ini. Terbentuknya
sejumlah lembaga non struktural (komisi) menandakan Indonesia telah masuk pada
reformasi struktural. Komisi adalah Lembaga ekstra struktural yang memiliki
fungsi pengawasan, mengandung unsur pelaksanaan atau bersentuhan langsung
dengan masyarakat atau pihak selain instansi pemerintah (lapis
primary), biasanya anggota terdiri dari masyarakat atau profesional
dan kedudukan sekretariat tidak menempel dengan instansi pemerintah
konvensional. Pasca gerakan reformasi 1998 hingga saat ini lembaga non
struktural berjumlah 12 komisi, yakni: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi
Yudisial, Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman, Komisi Nasional HAM, Komisi
Kepolisian Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Nasional,
Komisi Pemilihan Umum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Kejaksaan. Lembaga non struktural tersebut
memiliki kewenangan, yakni: meminta bantuan, melakukan kerjasama dan atau
koordinasi dengan aparat atau institusi terkait, melakukan pemeriksaan (investigasi), mengajukan
pernyataan pendapat, melakukan penyuluhan, melakukan kerjasama dengan
perseorangan, LSM, Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah, Memonitor dan
mengawasi sesuai dengan bidang tugas, Menyusun dan menyampaikan laporan rutin
dan insidentil, Meningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota. Pada umumnya,
komisi-komisi tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan keadilan dan
membantu masyarakat untuk memonitoring, membina, mengawasi, dan menyelidiki
proses kerja lembaga negara, Presiden,MA,MK,DPR,DPD, dan seluruh jajaran
birokrasi dibawahnya agar menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga
terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good
governance) yaitu birokrasi yang sanggup menempatkan dirinya sebagai
pelayan masyarakat.
Reformasi Kultural, adalah
tuntutan untuk melakukan perubahan pola pikir, cara pandang, dan budaya seluruh
elemen bangsa untuk menerima segala perubahan menuju bangsa yang lebih baik.
Reformasi kultural merupakan kata kunci untuk mewujudkan agenda reformasi
prosedural dan struktural yang dijelaskan di atas. Tanpa adanya reformasi
kultural, reformasi prosedural dan struktural hanyalah sebuah simbol yang tidak
memiliki makna apa-apa. Diandaikan sebuah komputer, reformasi prosedural dan
kultural adalah hadwernya, reformasi kultural adalah sofwernya.
Hadwer tanpa sofwer itu bukan dikatakan komputer yang baik.
2.3 Sebab Munculnya Reformasi
Kesulitan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan faktor atau penyebab utama
lahirnya gerakan reformasi.
Namun, persoalan itu tidak muncul secara
tiba-tiba. Banyak faktor yang mem-pengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam
kehidupan politik, ekonomi, dan hukum. Pemerintahan orde baru yang dipimpin
Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam
melak-sanakan cita-cita orde baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966, orde baru
bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Orde baru adalah tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan pelaksanaan pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan orde
baru banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat
kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk
mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu telah melahirkan krisis
multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi,
seperti:
1. Krisis politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998
merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik pemerintahan orde baru.
Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan orde baru selalu
dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang
sebe-narnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden
Suharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi yang dilaksa-nakan pemerintahan
orde baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Dengan
demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk
rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa.
Pemerintahan orde baru selalu melakukan
intervensi terhadap ke-hidupan politik. Misalnya, ketika Kongres Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua partai,
sedangkan pemerintahan Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai ketua PDI.
Keja-dian itu mengakibatkan keadaan politik dalam negeri mulai memanas. Namun,
pemerintahan orde baru yang didukung Golongan Karya (Golkar) merasa tidak
bersalah. Keadaan itu sengaja direkayasa oleh pemerintah dalam rangka
memenangkan pemilihan umum secara mutlak seperti tahun-tahun
sebelumnya.Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah orde baru
sehingga pasal 2 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pasal
2 UUD 1945 berbunyi bahwa: 'Kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat'. Namun
dalam kenyataannya, kedaulatan ada di tangan seke-lompok orang tertentu.
Anggota MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu
diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme). Oleh karena
itu, tidak mengherankan apabila anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak,
dan kerabat dekat para pejabat negara. Keadaan itu mengakibatkan munculnya rasa
tidak percaya masya-rakat terhadap institusi pemerintah, MPR, dan DPR.
Ketidakpercayaan itulah yang menyebabkan lahirnya gerakan reformasi yang
dipelopori para mahasiswa dan didukung oleh para dosen maupun kaum
cendekia-wan. Mereka menuntut agar segera dilakukan pergantian presiden, reshuffle kabinet,
menggelar Sidang Istimewa MPR, dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya.
Gerakan reformasi menuntut untuk mela-kukan reformasi total dalam segala bidang
kehidupan, termasuk keang-gotaan MPR dan DPR yang dipandang sarat KKN. Di samping
itu, gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaruan terhadap lima
paket undang-undang politik yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan. Keadaan
partai-partai politik dan Golkar dianggap tidak mampu menampung dan
memperjuangkan aspirasi masyarakat. Pembangunan nasional selama pemerintahan
orde baru dipandang telah gagal mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Bahkan, pembangun-an nasional telah
mengakibatkan terjadinya ketimpangan politik, ekonomi, dan sosial.
Krisis politik semakin memanas, setelah
terjadi peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa itu sebagai
akibat pertikaian internal dalam tubuh PDI. Kelompok PDI pimpinan Suryadi
menyerbu kantor pusat PDI yang masih ditempati oleh PDI pimpinan Megawati.
Peristiwa itu menimbulkan kerusuhan yang membawa korban, baik kendaraan, rumah,
pertokoan, perkantoran, dan korban jiwa. Pada dasarnya, peristiwa itu merupakan
ekses dari kebijakan dan rekayasa politik yang dibangun pemerintahan orde baru.
Pada masa orde baru, kehidupan politik sangat
represif, yaitu ada-nya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak
oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang
represif, di antaranya:
·
Setiap orang atau kelompok yang mengkritik
kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang
Negara Kesatuan Republik Indonesia).
·
Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau
demokrasi rekayasa.
·
Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan
masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
·
Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara
(sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.
·
Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak
terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR,
tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.
Ciri-ciri itulah yang menjadi isi tuntutan
atau agenda reformasi di bidang politik.
Sepanjang tahun 1996, telah terjadi
pertikaian sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat. Kerusuhan terjadi di
mana-mana, seperti pada bulan Oktober 1996 di Situbondo (Jatim), Desember 1996
di Tasikmalaya (Jabar) dan di Sanggau Ledo yang meluas ke Singkawang dan
Pontianak (Kalbar). Ketegangan politik terus berlanjut sampai menjelang Pemilu
Tahun 1997 yang berubah menjadi konflik antar etnik dan agama. Pada bulan Maret
1997, terjadi kerusuhan di Pekalongan (Jateng) yang meluas ke seluruh wilayah
Indonesia. Bahkan, kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa yang tidak
sedikit jumlahnya. Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya gerakan
reformasi.
Kekecewaan rakyat semakin memuncak ketika
semua fraksi di DPR/MPR mendukung pencalonan Suharto sebagai presiden untuk
masa jabatan 1998-2003. Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998, Suharto
terpilih sebagai Presiden RI dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden untuk masa
jabatan 1998-2003. Bahkan, MPR menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan
kewenangan khusus kepada presiden untuk mengendalikan negara. Semua itu tidak
dapat dipisahkan dari komposisi keanggotaan MPR yang lebih mengarah pada
hasil-hasil nepotisme.
Kekecewaan masyarakat terus bergulir dan
berusaha menekan kepemimpinan Presiden Suharto melalui berbagai demonstrasi.
Para mahasiswa, anggota LSM, cendekiawan semakin marah ketika bebe-rapa
aktivitis ditangkap oleh aparat keamanan. Gerakan reformasi tidak dapat
dibendung dan dipandang sebagai satu-satunya jawaban untuk menata kehidupan
masyarakat Indonesia yang lebih baik.
2. Krisis
hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan
orde baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam bidang hukum pun,
pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus
dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani
masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat
pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasa 24
UUD 1945 yanf menyatakan bahwa 'kehakiman me-miliki kekuasaan yang merdeka
dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif)'.
Sejak munculnya gerakan reformasi yang
dimotori para mahasiswa, masalah hukum telah menjadi salah satu tuntutannya.
Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar setiap persoalan
dapat ditempatkan pada posisinya secara proporsional. Terjadinya ke-tidakadilan
dalam kehidupan masyarakat, salah satunya disebabkan oleh sistem hukum atau
peradilan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, para
mahasiswa menuntut agar reformasi di bidang hukum dipercepat pelaksanaannya.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar terwujudnya
kehidupan yang demo-kratis, sekaligus sebagai wahana untuk mengadili seseorang
sesuai dengan kesalahannya.
2. Krisis
ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara
Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia.
Ter-nyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda
dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agus-tus 1997, nilai tukar
rupiah turun dari Rp 2,575.oo menjadi Rp 2,603.oo per dollar Amerika Serikat.
Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
turun menjadi Rp 5,000.oo per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai
tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.oo per
dollar.
Melemahnya nilai tukar rupaih mengakibatkan
pertumbuhan eko-nomi Indonesia menjadi 0% dan iklim bisnis semakin bertambah
lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan dan beberapa bank harus
dilikuidasi pada akhir tahun 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Ternyata, usaha pemerintah itu tidak
dapat mem-berikan hasil karena pinjaman bank-bank bermasalah justru semakin
besar.
Keadaan di atas mengakibatkan pemerintah
harus menanggung beban hutang yang sangat besar. Di samping itu, kepercayaan
dunia internasional terhadap Indonesia semakin menurun dan gairah investasi pun
semakin melemah. Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia mem-buat kebijakan uang
ketat dan bunga bank tinggi guna membangun kepercayaan dunia internasional.
Namun, krisis moneter tetap tidak dapat diatasi.
Banyak perusahaan yang tidak mampu membayar
hutang-hutang luar negerinya, meskipun telah jatuh tempo. Oleh karena itu,
beberapa perusahaan harus mengurangi kegiatannya dan sebagian lagi harus menghentikan
kegiatannya sama sekali. Akibatnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di
mana-mana. Angka penganggguran pun terus meningkat dan daya beli masyarakat
terus melemah. Kesenjangan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin
melebar seiring dengan terjadinya krisis ekonomi.
Kondisi perekonomian nasional semakin
memburuk pada akhir tahun 1997 sebagai akibat persediaan sembako semakin
menipis dan menghilang dari pasar. Akibatnya, harga-harga sembako semakin
tinggi. Kekurangan makanan dan kelaparan melanda beberap wilayah Indonesia,
seperti di Irian Barat (Papua), Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah di
pulau Jawa. Untuk mengatasi persoalan itu, peme-rintah meminta bantuan kepada
Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, bantuan dana dari IMF belum dapat
direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia telah menandatangani 50 butir
kesepahaman, Letter of Intent (LoI) pada tanggal 15 Januari
1998.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak
dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
4. Hutang
Luar Negeri Indonesia.
Hutang luar negeri Indonesia yang sangat
besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan
sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya
untuk mengatasi krisis ekonomi. Sampai bulan Februari 1998, sebagaimana
disampaikan Radius Prawiro pada Sidang Pemantapan Ketahanan Ekonomi yang
dipim-pin Presiden Suharto di Bina Graha, hutang Indonesia telah menca-pai
63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang swasta menca-pai 73,962 dollar
Amerika Serikat.
5. Pelaksanaan
Pasal 33 UUD 1945.
Pemerintah orde baru ingin men-jadikan negara
RI sebagai negara industri. Keinginan itu tidak sesuai dengan kondisi nyata
masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris
dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata). Oleh karena itu,
mengubah Indonesia menjadi negara industri merupakan tugas yang sangat sulit
karena masyarakat Indonesia belum siap untuk bekerja di sektor industri. Itu
semua merupakan kesalahan pemerintahan orde baru karena tidak dapat
melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan kon-sekuen.
6. Pemerintahan
Sentralistik.
Pemerintahan orde baru sangat sentral-istik
sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu, peranan
pemerintah pusat sangat menentukan dan peme-rintah daerah hanya sebagai
kepanjangan tangan pemerintah pusat. Misalnya, dalam bidang ekonomi, di mana
semua kekayaan diangkut ke Jakarta sehingga peme-rintah daerah tidak dapat
mengembang-kan daerahnya. Akibatnya, terjadilah ketimpangan ekonomi antara
pusat dan daerah. Keadaan itu mempersulit Indonesia dalam menga-tasi krisis
ekonomi karena daerah tidak tidak mampu memberikan kontribusi yang
memadai.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Reformasi merupakan suatu gerakan yang
menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan
kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih
baik, demo-kratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi
kehidupan.
3.2. Saran
Sebaiknya sebagai warga negara yang baik
setidaknya kita bisa menerapkan perubahan sederhana guna membuat “reformasi”
kecil dalam kehidupan seperti menaati hukum/peraturan yang berlaku.
REFERENSI
http://nikkafreak.blogspot.com/2011/04/reformasi-yang-dapat-memperbaiki-nasib.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Reformasi
http://raiaramanda.blogspot.com/2013/05/reformasi-yang-dapat-memperbaiki-nasib.html
http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=3153
0 Comments