RESUME
PENGANTAR PENDIDIKAN
PENDIDIKAN
SEPANJANG HAYAT
DISUSUN
OLEH :
DOSEN
PEMBIMBING:
PROGRAM
STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
2014
PENGANTAR
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN
SEPANJANG HAYAT
A.
Wujud Sifat Hakekat Manusia
Sifat
hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara
prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun
antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi
biologisnya. Adapun wujud sifat hakikat manusia adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan Menyadari Diri
Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan
manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh
manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia,
maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau
karakteristik diri.
Yang lebih istimewa ialah bahwa
manusia dikarunia kemampuan untuk membuat jarak (distansi) diri akunya sendiri.
Aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subjek kemudian
memandang dirinya sebagai objek. Untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki
serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Inilah manifestasi dari
puncak karakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dari hewan. Oleh
karena itu pendidikan memiliki keharusan untuk menumbuhkembangkan kemampuan
peserta didik. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri yang oleh Langeveld
disebut self forming perlu mendapat
perhatian (Pengantar Pendidikan, Prof Dr.
Umar, 2000: 4-5).
2. Kemampuan Bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan
dengan membuat jarak antara aku dengan objek, lalu melihat objek itu sebagai
sesuatu, berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi
batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos
inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Kemampuan bereksistensi perlu
dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari
pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar
melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi
kreatif sejak dari masa kanak-kanak (Pengantar
Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 5-6).
3. Kata Hati (Conscience of Man)
Kata Hati atau conscience
of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara
hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah “pengertian yang ikut
serta” atau “pengertian yang mengikuti perbuatan”. Manusia memiliki pengertian
yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya,
bahkan mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 6).
4. Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang
menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut
etika) adalah perbuatan itu sendiri. Moral yang sinkron dengan kata hati yang
tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral
yang baik atau moral yang tinggi (luhur) (Pengantar
Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 7).
5. Tanggung Jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan
yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung
jawab. Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa
sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena
itu perbuatan tersebut dilakukan sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh
kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh
kesadaran dan kerelaan. Hal ini mengimplikasikan bahwa pendidikan moral sangat
penting bagi peserta didik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 8).
6. Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak
merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia” yang berarti ada ikatan.
Kemerdekaan dalam arti yang
sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya bebas berbuat
sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia (Pengantar Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 9).
7. Kewajiban dan Hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul
sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya
oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban. Sebaliknya kewajiban
ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Kemampuan menghayati
kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi
bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga
dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin.
8. Kemampuan Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah
yang lahir dari kehidupan menusia. Kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya
sebagai himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi
lebih dari itu, merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan,
kepuasan dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan.
Proses integrasi dari kesemuanya itu menghasilkan suatu bentuk penghayatan
hidup yang disebut “bahagia” (Pengantar
Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 12-13).
Manusia adalah makhluk yang serba terhubung, dengan
masyarakat, lingkungannya, dirinya sendiri, dan Tuhan. Beerling mengemukakan
sinalemen Heinemann bahwa pada abad 20 manusia mengalami krisis total. Disebut
demikian karena yang dilanda krisis bukan hanya segi-segi tertentu dari
kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis energi, dan sebagainya, melainkan yang
krisis adalah manusianya sendiri (Beerling, 1951: 43).
Dalam hubungan ini, pendidikan mempunyai peranan penting
sebagai wahana untuk menghantar peserta didik mencapai kebahagiaan, yaitu
dengan jalan membantu mereka meningkatkan kualitas hubungannya dengan dirinya,
lingkungannya, dan Tuhannya (Pengantar
Pendidikan, Prof Dr. Umar, 2000: 15).
B.
Aspek-Aspek Hakekat Manusia
1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Terdapat dua pandangan filsafat yang berbeda tentang
asal-usul alam semesta, yaitu (1) Evolusionisme dan (2) kreasionisme. Menurut
Evolusionisme, alam semesta menjadi
ada bukan karena diciptakan oleh sang pencipta atau prima causa, melainkan ada dengan sendirinya, alam semesta
berkembang dari alam itu sendiri sebagai hasil evolusi. Sebaliknya, kreasionisme menyatakan bahwa adanya
alam semesta adalah sebagai hasil ciptaan suatu creative cause atau personality yang kita sebut sebagai Tuhan YME
(J. Donal Butler, 1968). Bertolak dari pandangan tersebut, secara umum ada dua
pandangan yang berbeda pula tentang asal-usul manusia. Menurut evolusionisme
beradanya manusia di alam semesta adalah sebagai hasil evolusi. Hal ini, antara
lain dianut oleh Herbert Spencer (S.E. Frost Jr., 1957) dan Konosuke Matsushita
(1997). Sebaliknya kreasionisme menyatakan bahwa beradanya manusia di alam
semesta sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan. Filsul yang berpandangan demikian,
antara lain Thomas Aquinas (S.E.Frost Jr., 1957) dan Al-Ghozali (Ali Issa
Othman, 1987).
Oleh
karena manusia berkedudukan sebagai makhluk Tuhan YME maka dalam pengalaman
hidupnya terlihat bahkan dapat kita alami sendiri adanya fenomena kemakhlukan (M.I. Soelaeman, 1998). Fenomena kemakhlukan
ini, antara lain berupa pengakuan atas kenyataan adanya perbedaan kodrat dan
martabat manusia daripada Tuhannya. Manusia bersifat fana, sedangkan Tuhan
bersifat abadi, manusia merasakan kasih sayang Tuhannya, namun ia pun tahu
begitu pedih siksanya. Semua itu melahirkan rasa cemas dan takut pada diri manusia terhadap Tuhannya. Tetapi dibalik
itu diiringi pula dengan rasa kagum, rasa
hormat, dan rasa segan karena Tuhannya begitu luhur dan suci. Semua itu
mengunggah kesediaan manusia untuk bersujud dan berserah diri kepada
penciptanya. Selain itu menyadari akan
maha kasih sayangnya sang pencipta maka kepada-Nya lah manusia berharap
dan berdoa. Adapun hal tersebut dapat menimbulkan kejelasan akan tujuan
hidupnya, menimbulkan sifat positif dan
familiaritas akan masa depannya, menimbulkan rasa dekat dengan penciptanya (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008:
1.6-1.7).
2. Manusia sebagai Kesatuan Badan Roh
Terdapat empat paham berkenaan dengan struktur metafisik
manusia, empat paham tersebut sebagai berikut:
a.
Materialisme
Gagasan
para penganut materialisme, seperti Julien De La Mattie dan Ludwig Fauerbach
bertolak dari realita sebagai mana dapat diketahui melalui pengalaman diri atau
observasi. Karena itu, alam semesta atau reliatas ini tiada lain adalah serba
materi, serba zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari alam semesta
sehingga manusia tidak berbeda dari alam itu sendiri. Yang esensial dari
manusia adalah badannya, bukan jiwa atau rohnya. Manusia adalah apa yang nampak
dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang, urat syaraf). Segala hal yang
bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia dipandang hanya sebagai
resonansi saja dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Pandangan hubungan
antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai epiphenomenalisme (J.D.
Butler, 1968).
b.
Idealisme
Bertolak
belakang pandangan di atas, menurut penganut edialisme bahwa esensi dari
manusia adalah jiwanya atau spiritnya atau rohaninya. Hal ini sebagai mana
dianut oleh Plato. Sekalipun Plato tidak begitu saja mengingkari aspek badan,
namun menurut dia, jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Dalam
hubungan dengan badan, jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi
badan karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah asas
primer yang menggerakan semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada
memiliki daya. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal
sebagai spiritualisme (J.D. Butler, 1968).
c.
Dualisme
C.A.Van
Peursen (1982) mengemukakan pihak lain secara tegas bersifat dualistik yakni pandangan dari Rene
Descartes. Menurut Descartes esensi diri manusia terdiri atas dua substansi,
yaitu badan dan jiwa oleh karena itu manusia terdiri atas dua substansi yang
berbeda (badan dan jiwa) maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling
mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957) namun demikian setiap peristiwa kejiwaan
selalu paralel dengan peristiwa badaniah atau sebaliknya. Contohnya jika jiwa
sedih maka secara Paralel badan pun
tampak murung atau menangis. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti
itu dikenal sebagai paralelisme (J.D.
Butler, 1968).
d.
Kesatuan Badani-Rohani
Berbeda dengan ketiga paham diatas (Materialisme, Idealisme,
dan Dualisme), E.F. Schumacher (1980) memandang manusia sebagai kesatuan dari
hal yang bersifat badani dan rohani yang pada hakikatnya berbeda dari benda
material, tumbuhan, hewan maupun Tuhan. Sejalan dengan pandangan Schumacher,
Abdurahman Sholih Abdullah (1991) menegaskan bahwa: ’’meski manusia merupakan pendahuluan dua unsur yang berbeda, roh dan
badan, namun ia merupakan pribadi yang integral“. Berdasarkan penegasan
ini, jelaslah bahwa manusia itu adalah kesatuan badani-rohani. Adapun dalam
eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas,
keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau
berkomunikasi, memiliki historisitas dan dinamika (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.8-1.9).
3. Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagaimana anda alami bahwa manusia menyadari keberadaan
dirinya sendiri. Manusia akan dirinya sendiri merupakan perwujudan
individualitas manusia. Sebagai individu, manusia adalah satu kesatuan yang tak
dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan manusia yang lainnya sehingga bersifat
unik, dan merupakan subjek yang otonom.
Sebagai individu, manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek
badani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh.
Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan
sehingga bersifat unik. Perbedaan ini baik berkenaan dengan postur tubuhnya,
kemampuan berpikirnya, minat dan bakatnya. Dunianya, cita-citanya. Pernakah
anda menemukan anak kembar siam? Manusia kembar siam sekali pun tak pernah
memiliki kesamaan dalam keseluruhannya (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.9).
4. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak
hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk
dirinya sendiri. Manusia hidup dalam keterpautan dengan sesamanya. Dalam hidup
bersama dengan sesamanya (bermasyarakat) setiap individu menempati kedudukan
(status) tertentu. Di samping itu setiap individu mempunyai dunia dan tujuan
hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup
bersama dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri, terdapat pula kesadaran
sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesamanya lah manusia akan dapat
mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menyebut manusia
sebagai makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987) (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.10).
5. Manusia sebagai Makhluk Berbudaya
Manusia memiliki inisiatif dan kretif dalam menciptkan
kebudayaan hidup berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bukan sesuatu yang ada di
luar manusia, bahkan hakikatnya meliputi perbuatan manusia itu sendiri.
Kebudayan bertautan dengan kehidupan manusia sepenuhnya, kebudayaan menyangkut
sesuatu yang nampak dalam bidang eksistensi setiap manusia. Manusia tidak
terlepas dari kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena dan
bersama kebudayaanya (C.A. Van Peursen, 1957). Sejalan dengan ini Ernst Cassier
menegaskan bahwa “Manusia tidak menjadi
manusia kerena sebuah faktor didalam dirinya, seperti misalnya naluri atau akal
budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaanya, kebudayaanya.
Demikianlah kebudayaan termasuk hakekat manusia” (C.A.Van Pursen, 1988) (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008:
1.11).
6. Manusia sebagai Makhluk Susila
Manusia sadar akan diri dan lingkunganya, mempunyai potensi
dan kemampuan untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya
potensi untuk berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia memiliki aspek
kesusilaan. Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilan karena pada
manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Sebagai makhluk
yang otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada suatu
alterntif tindakan yang harus dipilihnya. Adapun kebebasan berbuat ini juga
harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan
perbuatanya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan
pertanggung jawaban atas perbuatannya (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.12).
7. Manusia sebagai Makhluk Beragama
Aspek keberagamaan merupakan salah satu karakteristik
esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu
agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Hal ini terdapat pada manusia
manapun, baik dalam rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang) maupun dalam
rentang geografis dimana manusia berada. Keberagamaan menyiratkan adanya
pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama.
Manusia
hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mulak maka
pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut
masing-masing individu. Hal ini baik berkenaan
dengan sistem keyakinanya, sistem peribadatan maupun berkenaan dengan
pelaksanaan tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam. Dalam
keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia
memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dan berbagai aspek
kehidupanya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008:
1.13).
C.
Hubungan Hakekat Manusia dengan
Pendidikan
1.
Asas-Asas Keharusan atau Perlunya
Pendidikan bagi Manusia
a. Manusia sebagai Makhluk yang Belum
Selesai
Manusia tidak mampu menciptakan
dirinya sendiri, beradanya manusia di dunia bukan pula sebagai hasil evolusi
tanpa Pencipta sebagaimana diyakini penganut Evolusionisme, melainkan sebagai
ciptaan Tuhan. Manusia berbeda dengan benda. Perbedaan itu antara lain dalam
hal cara beradanya. Menurut Martin Hedegger, benda-benda di sebut sebagai “yang
berada” (Seinde), dan bahwa benda-benda itu hanya “vorhanden”, artinya hanya
terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu,
benda-benda itu baru berarti. Sedangkan manusia, ia berinteraksi di dunia di
mana ia secara aktif “mengadakan” diriya, tetapi bukan dalam arti menciptakan
dirinya sebagai mana Tuhan menciptakan manusia, melainkan manusia harus bertanggung
jawab atas keberadaan dirinya, ia harus bertanggung jawab menjadi apa atau
menjadi siapa nantinya.
Sebagai kesatuan badan-rohani
manusia memiliki historisaitas dan hidup bertujuan. Karena itu, eksistensi
manusia terpaut dengan masa lalunya (misal ia berada karena diciptakan Tuhan,
lahir ke dunia dalam keadaan tidak berdaya sehingga memerlukan bantuan orang
tuanya atau orang lain, dan seterusnya), dan sekaligus menjangkau masa depan
untuk mencapai tujuan hidupnya. Manusia berada dalam perjalanan hidup,
perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah manusia, tertapi sekaligus “belum
selesai” mewujudkan diri sebagai manusia (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.18-1.19).
b. Tugas dan Tujuan Manusia adalah
Menjadi Manusia
Manusia hidup di dunia ini dalam
keadaan belum tertentukan menjadi apa atau menjadi siapa nantinya. Sebagai
individu atau pribadi, manusia bersifat otonom, ia bebas menentukan pilihan mau
menjadi apa atau menjadi siapa di masa depannya. Andaikan seseorang menentukan
pilihan dan berupaya untuk tidak menjadi manusia atau tidak mewujudkan
aspek-aspek hakikatnya sebagai manusia, maka berarti yang bersangkutan
menurunkan martabat kemanusiannya.
Sebagai pribadi setiap orang memang
otonom, ia bebas menentukan pilihannya, tetapi bahwa bebas itu selalu berarti
terikat pada nilai-nilai tertentu yang menjadi pilihannya dan dengan
kebebasannya itulah seseorang pribadi wajib bertanggung jawab serta akan
dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, tiada makna lain bahwa berada
sebagai manusia adalah mengemban tugas dan mempunyai tujuan untuk menjadi
manusia, atau bertugas mewujudkan berbagai aspek hakikat manusia. Karl Jaspers
menyatakannya dalam kalimat “to be a man
is to become a man”, ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad
Hasan, 1973). Implikasinya jika seorang tidak selalu berupaya untuk menjadi
manusia maka ia tidaklah berada sebagai manusia (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.19-1.20).
c. Perkembangan Manusia Bersifat
Terbuka
Dalam kenyataan hidupnya,
perkembangan manusia bersifat terbuka atau mengandung berbagai kemungkinan.
Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya atau mampu
menjadi manusia, sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang
sesuai atau bahkan tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaanya.
Menurut Gehlen seorang pemikir Jerman mengemukakan kesimpulan yang sama dengan
Teori Retardasi dari Bolk, yaitu bahwa “Pada
saat kelahirannya taraf perkembangan manusia tidak lebih maju dari hewan, tetapi
kurang maju daripada hewan yang paling dekat dengan dia (primat) sekalipun.
Manusia lahir prematur dan tidak mengenal spesialisai seperi hewan. Ia adalah
makhluk yang ditandai kekurangan” (C.A. Van Peursen, 1982). Nietzsche juga
mendukung kesimpulan ini yang menyebut manusia sebagai das nicht festgestellte Tier, artinya sebagai hewan yang belum
ditetapkan.
Pada dasarnya kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki,
kemampuan berperilaku lainnya yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan,
tidak dibawa manusia sejak kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan
tujuan hidupnya, kemampuan untuk hidup sesuai individualitas, sosialitasnya,
tidak dibawa manusia sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh manusia
melalui belajar, melalu bantuan berupa pengajaran, bimbingan, latihan, dan
kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan.
Dari hal inilah dapat dipahami bahwa manusia belum selesai
menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak
dengan sendirinya menjadi manusia, adapun untuk menjadi manusia ia memerlukan
pendidikan atau harus dididik. “Man can
become man through education only”, demikian pernyataan Immanuel Kant dalam
teori pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil
studi M. J. Langeveld. Bahkan sehubungan dengan kodrat manusia seperti
dikemukakan di atas, Langeveld memberikan identitas kepada manusia dengan
sebutan Animal Educandum (M.J. Langeveld, 1980) (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.20-1.22).
2.
Asas-Asas Kemungkinan Pendidikan
Atas dasar studi fenomenologis yang dilakukannya, M.J.
Langeveld (1980) menyatakan bahwa “manusia itu sebagai animal educandum, dan ia
memang adalah animal educabile”. Jika kita mengacu kepada uraian terdahulu
tentang sosok manusia dalam berbagai dimensinya, ada 5 asas antropologis yang
mendasari kesimpulan bahwa manusia mungkin dididik yaitu:
a. Asas Potensialitas
Berbagai potensi yang ada pada manusia yang memungkinkan ia
akan mampu menjadi manusia, tetapi untuk itu memerlukan suatu sebab, yaitu
pendidikan. Contohnya dalam aspek kesusilaan, manusia diharapkan mampu
berperilaku sesuai dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang diakui.
Ini adalah salah satu tujuan pendidikan atau sosok manusia ideal berkenaan
dengan dimensi moralitas. Oleh karena itu manusia akan dapat dididik karena ia
memiliki berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.23).
b. Asas Dinamika
Jika ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan dilakukan
dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar menjadi manusia ideal. Di
pihak lain, manusia itu sendiri (peserta didik) memiliki dinamika untuk menjadi
manusia ideal. Oleh karena itu, dimensi dinamika mengimplikasikan bahwa manusia
akan dapat dididik (Pengantar Pendidikan,
Dinn Wahyudin, 2008: 1.23-1.24).
c. Asas Individualitas
Individu antara lain memiliki kedirisendirian
(subjektivitas), ia berbeda dari yang lainnya dan memiliki keinginan untuk
menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya sendiri. Pendidikan dilaksanakan
untuk membantu manusia dalam rangka mengaktualisasikan atau mewujudkan dirinya.
Pendidikan bukan untuk membentuk manusia sebagaimana kehendak pendidik dengan
mengabaikan dimensi individualitas manusia (peserta didik). Di pihak lain
manusia sesuai dengan individualitasnya berupaya untuk mewujudkan dirinya. Oleh
karena itu individualitas manusia mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat
dididik (Pengantar Pendidikan, Dinn
Wahyudin, 2008: 1.24).
d. Asas sosialitas
Sebagai insan sosial, manusia hidup bersama dengan
sesamanya, maka ia butuh beraul dengan orang lain. Dalam kehidupan bersama
dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik setiap
individu akan menerima pegaruh dari individu yang lainnya. Kenyataan ini
memberikan kemungkinan bagi manusia untuk dapat dididik, oleh karena itu upaya
bantuan atau pengaruh pendidikan itu disampaikan justru melalui interaksi atau
komunikasi antar sesama manusia dan bahwa manusia dapat menerima bantuan atau
pengaruh pendidikan juga melalui interaksi atau komunikasi dengan sesamanya (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008:
1.24).
e. Asas Moralitas
Manusia memiliki kemampuan untuk
membedakan yang baik dan tidak baik, dan pada dasarnya ia berpotensi untuk
beperilaku baik atas dasar kebebasan dan tanggung jawabnya (aspek moralitas).
Pendidikan pada hakikatnya bersifat
normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem nilai dan norma tertentu
serta diarahkan untuk mewujudkan manusia ideal, yaitu manusia yang diharapkan sesuai
dengan sistem nilai dan norma tertentu yang bersumber dari agama maupun budaya
yang diakui. Pendidikan bersifat normatif dan manusia memiliki dimensi
moralitas karena itu aspek moralitas memungkinkan manusia untuk dapat dididik (Pengantar Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008:
1.24-1.25).
Atas dasar berbagai asas di atas,
pendidikan mutlak harus dilaksanakan. Jika berbagai asumsi tersebut diingkari,
kita harus sampai pada kesimpulan bahwa manusia tidak perlu dididik, tidak akan
dapat dididik karena itu kita tak perlu melaksanakan pendidikan.
D.
Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat
dan Implikasinya
Dalam
GBHN dinyatakan bahwa “Pendidikan
berlansung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga,
sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan ialah tanggung jawab bersama
antar keluarga, masyarakat, dan pemerintah”.
Hal
ini berarti bahwa setiap manusia diharapkan supaya selalu berkembang sepanjang
hidup, dan di lain pihak masyarakat dan pemerintah diharapkan agar dapat
menciptakan situasi yang menantang untuk belajar. Prinsip ini berarti, masa
sekolah bukanlah satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, melainkan
hanya sebagian dari waktu belajar yang akan berlansung seumur hidup.
Konsep
pendidikan sepanjang hayat atau seumur hidup merumuskan suatu asas bahwa
pendidikan adalah suatu proses yang terus-menerus (continue) dari bayi sampai
meninggal dunia. Konsep ini sesuai dengan konsep islam seperti yang tercantum
dalam hadist Nabi Muhammad SAW., yang menganjurkan belajar mulai dari buaian
sampai ke liang kubur. Sebenarnya ide pendidikan seumur hidup telah lama dalam
sejarah pendidikan, tetapi baru popular sejak terbitnya buku Paul Langrend An
Introduction to Life Long Education (Sesudah Perang Dunia II). Kemudian
diambil alih oleh International Commision on the Development of Education
(UNESCO) (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs.
H. Fuad Ihsan, 1995: 40-41).
Dalam
kenyataan hidup sehari-hari dari dahulu sudah dapat dilihat bahwa pada
hakikatnya orang belajar sepanjang hidup, meskipun dengan cara yang berbeda dan
melalui proses yang tidak sama. Pendeknya tidak ada batas usia yang menunjukkan
tidak mungkinnya dan tidak dapatnya orang belajar. Dorongan belajar sepanjang
hayat itu terjadi karena dirasakan sebagai kebutuhan. Setiap orang merasa butuh
untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya dalam menghadapi dorongan-dorongan
dari dalam dan tantangan alam sekitar yang selalu berubah. Sepanjang hidupnya
manusia memang tidak pernah berada di dalam suatu vakum. Mereka dituntut untuk
mampu menyesuaikan diri secara aktif, dinamis, kreatif, dan inovatif terhadap
diri dan kemajuan zaman.
Kegiatan
mendidik diri setiap saat sepanjang hidup selalu merupakan kebutuhan terlepas
dari hasilnya. Juga bukan semata-mata sebagai bekal untuk kehidupan di masa
datang. Dengan kata lain pendidikan itu merupakan bagian integral dari hidup
itu sendiri. Prinsip pendidikan seperti itu mengandung makna bahwa pendidikan
itu lekat dengan diri manusia, karena dengan itu manusia dapat terus-menerus
meningkatkan kemandiriannya sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat,
meningkatkan self fulfillment (rasa
kepenuhmaknaan) dan terarah kepada aktualisasi diri. Dalam hubungan dengan
lingkungan mereka dapat menyesuaikan diri secara adaptatif dan kreatif terhadap
tantangan zaman.
Pendidikan
sepanjang hayat yang dalam prakteknya telah lama berlangsung secara alamiah
dalam kehidupan manusia itu dalam perjalanannya menjadi pudar disebabkan oleh
semakin kukuhnya kedudukan sistem pendidikan persekolahan di tengah-tengah
masyarakat. Sistem pendidikan persekolahan yang polanya mentradisi membentuk
masyarakat tersendiri dan memisahkan diri dari lingkungan masyarakat luas
dengan pagar pekarangan sekolah, memdindingi kelas, membatasi waktu belajarnya
sampai usia tertentu dan jangka waktu tertentu. Seolah-olah sekolah membentuk
masyarakat khusus yang mempersiapkan diri untuk kehidupan di hari depan, bukan
kehidupan sekarang ini, dengan membekali diri berbagai ilmu pengetahuan dan
keterampilan menurut porsi yang telah ditetapkan dengan keyakinan bahwa bekal
tersebut pasti cocok dengan tuntutan zaman. Kenyataan menunjukkan bahwa
masyarakat selalu berubah dengan membawa tuntutan baru. Bekal yang telah
dipersiapkan secara baku pada saat seseorang ditempa di sekolah tidak selalu
sesuai dengan kebutuhan di lapangan yang nantinya akan diterjuni. Pendidikan
sepanjang hayat bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik
dengan persekolahan, PSH merupakan suatu proses bersinambungan yang berlangsung
sepanjang hidup.
Selanjutnya
Pendidikan sepanjang hayat didefinisikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan
pengalaman pendidikan. Pengorganisasiannya dan penstrukturan ini diperluas
mengikuti seluruh rentangan usia dari usia yang paling muda sampai paling tua.
(Cropley: 67).
Implikasi Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat
Implikasi
pendidikan sepanjang hayat pada program pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh
Ananda W.P. Guruge, dalam garis besarnya dapat dikelompokkan dalam enam
kategori, sebagai berikut:
1.
Pendidikan Baca Tulis Fungsional
Program ini tidak saja penting bagi
pendidikan sepanjang hayat atau seumur hidup karena relevansinya dengan kondisi
yang ada pada negara-negara berkembang karena masih banyaknya penduduk yang
buta huruf, melainkan juga sangat penting ditinjau dari implementasinya.
Jadi melek huruf fungsional itu di
samping merupakan isi program sekaligus juga merupakan sarana terlaksananya
pendidikan seumur hidup. Namun kemampuan membaca menulis apabila tidak
ditunjang oleh tersedianya bahan-bahan bacaan tidak ada artinya. Sebab itu
realisasi baca tulis fungsional itu harus memuat dua hal, yaitu:
a. Memberikan kecakapan membaca –
menulis – menghitung (3M) yang fungsional bagi anak didik; dan
b. Menyediakan bahan-bahan bacaan yang
diperlukan untuk mengembangkan lebih lanjut kecakapan yang telah dimilikinya
itu (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H.
Fuad Ihsan, 1995: 48-49).
2.
Pendidikan Vokasional
Apakah pendidikan vokasional itu sebagai program pendidikan
di luar sekolah bagi anak didik di luar batas usia sekolah, ataukah sebagai
program pendidikan formal dan non formal dalam rangka apprentice-skip training, merupakan salah satu program penting
dalam rangka pendidikan seumur hidup. Pada kebanyakan negara berkembang yang
sistem pendidikan formal umumnya diambil dari negara Barat, out put pendidikan sekolah pada umumnya
dirasakan kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun.
Sebab itu program pendidikan yang bersifat remedial agar para lulusan sekolah
itu menjadi tenaga kerja yang produktif dan menjadi sangat penting (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad
Ihsan, 1995: 49-50).
3.
Pendidikan Profesional
Dalam tiap-tiap profesi hendaknya telah tercipta built-in mechanism yang memungkinkan
golongan profesioanal selalu mengikuti perubahan dan kemajuan dalam metode perlengkapan,
tekhnologi dan sikap profesionalnya. Ini
merupakan realisasi dari pendidikan seumur hidup (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 50).
4.
Pendidikan ke Arah Perubahan dan
Pembangunan
Pendidikan bagi anggota masyarakat dari berbagai golongan
usia agar mereka mampu mengikuti perubahan sosial dan pembangunan merupakan
konsekuensi penting daripada asas pendidikan seumur hidup. Abad ilmu
pengetahuan dan tekhnologi itu pengaruhnya telah menyusup dalam berbagai aspek
kehidupan manusia dan masyarakat (Dasar-Dasar
Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 50).
5.
Pendidikan Kewargaan Negara dan
Kedewasaan Politik
Tidak saja bagi warga negara biasa, melainkan para pemimpin
masyarakat pun sangat membutuhkan pendidikan kewargaan negara dan kedewasaan
politik itu. Dalam alam pemerintahan dan masyarakat yang demokratis, maka
kedewasaan warga negara dan para pemimpinnya dalam kehidupan bernegara sangat
penting. Untuk itu program pendidikan kewargaan negara dan kedewasaan politik
itu merupakan bagian yang penting dari pendidikan seumur hidup (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad
Ihsan, 1995: 51).
6.
Pendidikan Kultural dan Pengisian
Waktu Luang
Spesialisasi yang berlebih-lebihan
dalam masyarakat, bahkan yang telah dimulai pada usia muda dalam program
pendidikan formal di sekolah, membuat manusia menjadi berpandangan sempit pada
bidangnya sendiri, buta kekayaan nilai-nilai kultural yang terkandung dalam
warisan budaya masyarakat sendiri. Seorang yang disebut “educated man” harus memahami dan menghargai sejarah, kesusastraan,
agama, filsafat hidup, seni dan musik bangsa sendiri. Sebab itu pendidikan
kultural dan pengisian waktu senggang secara kultural dan konstruktif merupakan
bagian penting dari pendidikan seumur hidup (Dasar-Dasar Kependidikan, Drs. H. Fuad Ihsan, 1995: 51).
DAFTAR PUSTAKA
Fuad
Hasan, Drs. H. 1995. Dasar-Dasar
Kependidikan. Jakarta: Bineka Cipta.
Umar
Tirtarahardja, Prof. Dr. dan Drs. La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Bineka Cipta.
Wahyudin, Dinn dkk. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta:
Universitas Terbuka.
0 Comments