MAKALAH
AKHLAK
DZUNUN AL MISRI DAN AJARANNYA
DISUSUN
OLEH :
KELOMPOK 3
NESTA LESTARI
RIKA
PURNAMA SARI
EMILIA
ROMADONA W
YULI
YANTI
GILANG
CHANDRA P
GURU
PEMBIMBING : MARIA ULFA, S.Pd
MADRASAH
ALIYAH NEGERI BATURAJA
TAHUN
PELAJARAN 2014/2015
KATA PENGANTAR
Rasa syukur alhamdulillah saya haturkan kehadirat Allah Swt,
sebab atas berkah rahmat dan hidayah-Nya lah saya dapat menyusun makalah yang
sederhana ini, salawat dan salam juga tak lupa senantiasa saya curahkan
keharibaan junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw
Dalam
proses penyusunan makalah ini saya juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh
rekan-rekan yang telah membantu sampai makalah ini dapat kami sajikan di forum
diskusi yang ilmiah ini
Saya juga
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan
makalah ini
Akhirnya kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin
Baturaja,
Pebruari 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.Biografi Dzun Al Mishri................................................................. 4
B. Perjalanan Menuju Mesir................................................................ 5
C. Perjalanan Keduania Tasawuf........................................................ 6
D. Pujian Para Ulama Terhadap Dzunun
Al Mishri............................ 7
E. Ajaran-Ajaran Tasawuf Dzunun Al
Mishri.................................... 8
F. Pandangan Dzunun tentang Maqamat
dan Ahwal......................... 12
G. Cinta dan Ma’rifat......................................................................... 13
H. Konsep Ma’rifat Dzunnun Al Mishri............................................. 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dzun Nun
al-Misri adalah seorang tokoh sufi yang telah banyak memberikan sumbangsih
berharga bagi perjalanan tasauf di dunia Islam, Sesungguhnya faham sufi (sufisme)
itu berkembang dari waktu ke waktu mengikuti keadaan jaman. Sejak jaman
Rasulullah saw hingga sekarang, banyak diwarnai dengan keragaman. Adapun
keragaman tersebut muncul dalam beberapa tahapan perkembangan.
Sebagian
ulama berpendapat, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun di Mekkah -periode Makkiyah
sudah menekankan betapa pentingnya spiritual, dalam kaitannya tentang orientasi
kenabian dan tentang wahyu. Dikisahkan pengalaman spiritual kenabian yang
dilalui Rasulullah saw (dikenal dengan Isra` Mi`raj),
Sebagian
ulama filosof mengatakan, bahwa pengalaman isra` mi`raj Nabi lebih kepada
pengalaman spiritual. Para yang mendapat cerita tentang isra` mi`raj langsung
menerima dan mereka tidak bertanya mengenai pengalaman-pengalaman tersebut. Ada
sejumlah alasan mengapa demikian, karena mereka dilatih untuk suatu tujuan
moral atas dasar keagamaan. Lagi pula aktifitas mereka telah membuat mereka
cenderung untuk tidak bertanya-tanya tentang rahasia metafisik itu. Kedua,
mereka menganggap bahwa pengalaman-pengalaman spiritual Nabi saw tersebut
merupakan ciri khas seorang rasul atau utusan Tuhan. Sedangkan kewajiban mereka
hanya mengimani dan melaksanakan apa yang diyakininya itu.
Dalam
masa ini, Rasulullah saw menanamkan kepada umatnya -walaupun pada tingkatan
yang berbeda- suatu keyakinan tentang ketuhanan, keesaanNya, kemahakuasaanNya,
serta perasaan mendalam pada pertanggungjawaban dihadapan pengadilan Tuhan
menyangkut perilaku selama di dunia.
Ajaran
Rasulullah ini mendapat sambutan yang mendalam oleh para sahabat, terutama yang
sangat dikenal adalah Abu Dzar Al Ghiffari. Dimana sepeninggal Rasulullah, Abu
Dzar merupakan tokoh penting yang dikenal keshalihannya dimata penduduk
Madinah. Keshalihan Abu Dzar inilah yang kemudian menjadi pondasi bagi
perkembangan zuhud (sufi) dua abad pertama Hijriyah.
Pada
perkembangan berikutnya, keshalihan beragama secara spiritual ini muncul dalam
bentuk kehidupan zuhud. Kemunculan kehidupan zuhud dipengaruhi oleh kondisi
umat Islam disaat itu yang tenggelam dalam menikmati kemewahan duniawi.
Kemewahan duniawi itu dipengaruhi oleh keberhasilan pemerintahan Islam dalam
mengembangkan politik dan militer hingga ke seluruh jazirah Arabia.
Menurut
sebagian ulama, kehidupan zuhud semata-mata merupakan reaksi terhadap kehidupan
sekuler dan sikap penguasa Dinasti Umayyah yang dianggap kurang religius.
Artinya, Dinasti Umayyah telah meninggalkan keshalehan dan kesederhanaan hidup
sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat empat.
Dua
abad sesudah hijriyah, kemudian bermunculan tokoh-tokoh (ulama) zuhud
mengembangkan konsep spiritual (batiniah) dalam beribadah disamping konsep
syariat. Lalu muncullah istilah sufisme (gerakan sufi) sebagai protes terhadap
kehidupan umat Islam yang dianggap kurang religius karena tenggelam dalam
kemewahan duniawi. Diantara dari para ulama zuhud itu, salah satu yang sangat
terkenal adalah Hasan al-Basri. Pengaruh konsep ajarannya demikian kuat selama
berabad-abad.
Setelah
itu, tradisi hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu. Pada masa itu konsep
ulama zuhud yang sangat populer adalah pemahaman tentang tawakkal (berserah
diri kepada Tuhan). Kemudian berubah menjadi dokrin-dokrin yang sangat
mencolok. Mereka menempuh jalan sufi dengan menyerahkan diri secara totalitas
kepada Allah.

Malik
bin Dinar memilih hanya memiliki sebidang tanah. Dimana, sebidang tanah itu dia
mengusahakan kehidupan tanpa menggantungkan dirinya kepada orang lain.
Sementara Wasi` lebih menyukai menjadi orang yang jika makan tidak peduli
darimana dia akan memperoleh makanan lagi nanti.
Ciri khas gerakan pada masa itu hanyalah
pada zuhud dan rajin beribadah yang bertujuan untuk membersihkan jiwa secara
lahir bathin. Belum ada teori-teori khusus yang menonjol.Baru pada abad ketiga
hijriyah, muncul ulama-ulama besar dalam tradisi sufi, diantaranya ialah Al
Muhasibi, Dzun Nun Al Misri, Abu Yazid al Bistami, Junaid Al Baghdadi dan Abu
Manshur al Halajj.
Ulama-ulama sufi tersebut menggunakan kebiasaan (tradisi) berpikir yang
berkembang pada masa itu. Dzun Nun Al Misri memiliki konsep sufi yang dikenal
"al ma`rifah" (pengetahuan). Abu Yazid al Bistami merumuskan
konsep yang disebutnya "Al Ittihad (penyatuan hamba dengan Tuhan).
Adapun Abu Manshur al Hallaj yang dikenal dengan Al Hallaj merumuskan konsep
yang disebut "Al Hulul" "(Tuhan mengambil tempat dalam diri
seseorang).
Sesungguhnya konsep-konsep tersebut semula tidak dikenal dalam islam.
Konsep tersebut hanyalah pengaruh dari beberapa tradisi pemikiran yang ada.
Namun dengan konsep tersebut, para sufi meyakini bisa memperoleh pengetahuan
tidak dengan alat indrawi atau akal sebagaimana yang ditempuh oleh para filsuf
dan teolog, melainkan dengan hati dan perasaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Dzun Al-Misri
Dzun-Nun
Al-Mishri nama lengkapnya adalah Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim, Ia dilahirkan
di Ikhmin, dataran tinggi Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada tahun
246 H/856 M dan makam
kan dekat makam Amr bin Ash dan Uqbah bin AL Harun. Ia adalah
seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia dan fisika dan dia juga
seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara konsepsional. Nama
Dzun-Nun mempunyai makna tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah ”seseorang
yang mempunyai huruf Nun dari mesir”. Huruf Nun ini mempunyai makna tersendiri
pula bahwa huruf Nun adalah sebuah simbol yang mempunyai makna spiritual power.
Huruf Nun dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan hambanya, dimana huruf Nun
ini mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang melingkarinya. Simbol
tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik tujuan
sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.
Kaum sufi
juga memaknai simbol ini sebagai simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu
pula dengan Dzun-Nun Al-Mishri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari simbol
yang dimilikinya apalagi sebagai nama dari dirinya sendiri. Yang kemudian makna
dari namanya itu membawayanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi
yang ikhlas dan tunduk kepada Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya
akan berawal dan berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik
sentral pada huruf Nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah
SWT. Yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir.
Sebagaimana firman Allah SWT :
“huwa al-awwalu waal-aakhiru
waalzhzhaahiru waalbaathinu wahuwa bikulli syay-in 'aliimun”
Artinya : Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir
dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).
Jadi bisa
kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan huruf Nun
yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan, dan titik sentral
tersebut adalah sesuatu yang yang awal dan yang akhir.
B. Perjalanan
menuju Mesir
Sejak usia anak-anak beliau sudah
dikenal sebagai ahli ilmu, karena kegigihannya dan ketekunan dalam memahami
beberapa ilmu pengetahuan agama. Usahanya untuk memperdalam ilmu pengetahuan
tidak ditempuh disuatu tempat saja, tapi ditempat yang berbeda-beda. Ketika
beliau berada disuatu negeri orang, beliau pernah ditangkap dan di penjara oleh
penguasa Baghdad selama 40 hari. Dan setelah bebas Dzun Nun pulang kenegeri
asalnya dan mengamalkan ilmu yang ia dapat. Dalam perjalanan hidupnya Al-Misri
selalu berpindah dari satu tempat ketempat yang lain, Ia pernah menjelajahi
berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Bagdad, Mekah,
Hijaz, Syria, Pegunungan Lebanon, Anthokiah dan Lembah Kan’an.Waliyullah
yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di
selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj).
Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya
para sufi, ia selalu menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri,
menggapai cinta dan ma'rifatulah yang hakiki.
Suatu ketika dalam perjalanan yang
dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak diiringi
nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi
ia bertanya pada orang di sampingnya : "ada apa ini?". Orang tersebut
menjawab : Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan
nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik ". Tidak jauh dari
situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang
dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini ?" begitu pikir sang wali.
Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab :
"Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal.
Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga ". Di sana
ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang
diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : "Ya Allah aku
tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini.
Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi
cobaan tapi tidak bersabar ". Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan
kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).[3][6]
C. Perjalanan
ke Dunia Tasawuf
Banyak
cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang
berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang
melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi
pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula
seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung
lemah tiada daya.
Pengarang kitab al-Risalah
al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya
"Wahai Abu al-Faidl !" begitu ia memanggil demi menghormatinya
"Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada
Allah SWT ? ". "Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak
akan mampu". Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki.
Al-Maghriby semakin penasaran "Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan
padaku" lalu Dzunnun berkata : "Suatu ketika aku hendak keluar dari
Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku
membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari
sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah
dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari
sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua
mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi
biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan
dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk
bertekad : "Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri
pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia
Yang Maha Asih berkenan menerimaku".
D. Pujian Para Ulama' Terhadap Dzunnun
Tidak
ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih terpuji.
Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika Yang Maha
Sempurna sudah memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta manusia dibanding
belaian kasih Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan harapan semoga semua
menjadi hikmah dan manfaat bagi semua paparan berikut ini hadir Imam Qusyairy
dalam kitab Risalah-nya mengatakan "Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam
ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara', Haal,
dan adab". Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan
"Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak
menemukan ada
seperti keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku,
Abu Turob, dan Abu Abid al-Basry". Seperti berlomba memujinya sufi
terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini
mengatakan "Dzunnun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita".
Pujian dan penghormatan pada Dzunnun
bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya
bercerita : Sahl al-Tustari (salah satu Imam tasawwuf yang besar) dalam
beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga
seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara
tentang makna-makna yang tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya
tentang ini, ia menjawab "Dulu waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku
tidak berani berbicara tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati
beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku :
berbicaralah!! Engkau telah diberi izin".
Sebelum
Al-Misri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ía adalah orang
pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat—isyarat tasawuf. Ia pun
merupakan orang pertama di Mesir yang berbicàra tentang ahwal dan inaqwnal para
wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang
bercorak sufislik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pernbentukan pemikiran
tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejum lab penulis menyebutnya sebagai
salali seorang peletak dasar tasawuf.’
Pendapat
tersebut cukup beralasan mengingat AI-Mishri hidup pada masa awal pertumbuhan
ilmu tasawuf. Lagi pula, ía seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan
keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya itulah yang rnenyebab
kannya harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengari tuduhan
zindiq. Akibatnya, ía dipanggil menghadap Khalifah AI-Mutawakkil, namun ia
dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya
sebagai wali diakui secara umurn tatkala Ia meninggalkan dunia yang fana ini.
a.
Pengerüan Ma’rifat Menurut Dzun Al-Misri
Al Ghazali dalam ihya memandang bahwa
ma’rifah datang sebelum mahabbah tetapi Al Kalabadi dalam al Ta’arruf menyebut dan menjelaskan bahwa ma’rifah
sesudah mahabbah, ada pula yang berpendapat bahwa keduanya merupakan kembar dua
yang selalu disebut bersama, keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan
seorang sufi dengan tuhan, mahabbah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk
cinta dan ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk pengetahuan dengan
hati sanubari
Al-Misri adalah pelopor paham ma‘rifat, Penilaian ini sangatlah tepat
karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi—yang kemudian dianalisis
Nicholson—dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-sufiah fi Al-Islam;
Al-Misri berhasil mernperkenaikan corak baru tentang ma’rifat dalam bidang
sufisme Islam. Pertama, ía membedakan antara ma‘rifat sufiah dengan ma‘rifat
aqliyah. Ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan
para sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa
digunakan para teolog.
Kedua,
menurut Al-Misri, ma‘rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian
hati), sebab ma‘riat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga,
teori-teori ma’rifat Al-Misri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik.
Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat
asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali
memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang ma’rifat pada
mulanya sulit diterima kalangan teolog sehingga ía dianggap sebagai seorang
zindiq dan ditangkap khalifah, tetapi akhirnya dibebas Berikut ini beberapa
pandangannya tentang hakikat ma’rifat
- Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilinu—ilinu hurliwi dan nazliar milik para hakim, mutakalimin, dan ahii balaghah, tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wall Allah. Hal iiui karena mereka adalah orang yang nienyaksikan Al lab dengan hatinya, sehingga terbukaia baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
- Ma’rifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifat yang rnurni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga ía merasa hilang dirinya, lebur dalarn kekuasaan-nya, mereka merasa hamba, mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan AI-Mishri di atas menjelaskan
bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan
pernbuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan
menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua yang ada
di dunia ini tidak mempunyal arti lagi. Melalui pendekatan ini sifat-sifat
rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang
sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya Ia sepenuhnya
hidup di dalam Nya dan lewat diri-Nya. Al-Misri membagi pengetahuan tentang
Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
a. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
b. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ularna,
Menurut
Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan dalam
kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan
ma’rifat tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan jenis ketiga harus
disebut dengan ma’rifat Dan ketiga macam pengetahuan tentang Tuhan di atas,
jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya—lah yang paling tinggi tingkatan nya,
karena mereka mencapal tingkatan musyahadah, sebaiknya para ulama dan filosofi
tidak dapat mencapai maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk
mengetahui Tuhan, sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.

a. Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh
itu, Al-Misri menjawab, ‘Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak
ada usaha untuk mengenal-Nya.”
b. Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam,
yaitu Thariq Al-inabah. adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas
dan benar, dan thariq ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa
pada seseorang karena merupakan urusan Allah semata.
c. Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu
ada dua macam, yaitu Darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju
jalàn iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas
kekuatan ma’rifat.
Menurut
pengalamannya, sebelum sampai pada maqam Al ma‘rjfat, Al-Misri melihat Tuhan
melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Adapun
tanda-tanda seorang arif, menurut Al-Misri, adalah sebagai benikut,
a. Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya
kewara’annya.
b. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak
hukum lahir.
Paparan Al-Mishri di atas menunjukkan bahwa seorang
arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya
kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalarn kondisi apapun, dan semakin dekat
serta menyatu kepada-Nya, Dzun
Nun al-Mishri cenderung mengaitkan ma’rifat dengan syari’at, seperti katanya
berikut: ” Tanda seorang arif itu ada tiga : cahaya ma’rifa-nya tidak
memudarkan cahaya kerendahan hatinya, secara batiniah tidak
mengukuhi ilmu yang menyangkal hukum lahiriah dan banyaknya karunia allah
tidak menjadikannya melanggar tirai-tirai larangan-Nya.”
Menurut Dzun Nun al-Mishri, Makrifat
adalah: karunia Allah yang dilimpahkan pada seorang arif, seperti yang
dikemukakannya ketika di tanya: “Dengan apakah kau mengenal mengenal
Tuhanmu?” Jawabnya: “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku! Tanpa
Tuhanlu, aku tidak mungkin mengenal Tuhanku.
Dalam kitabnya, al-Qalam ‘ala
al-Basmalah, Dzun Nun al-Mishri, membagi makrifat ke dalam tiga klasifikasi
: “Ma’rifa (mengenal ) Allah itu ada tiga macam, makrifat
tauhid, yang ini bagi orang-orang beriman yang awam, ma’rifah alasan dan
uraian mengenai Tuhan, yang ini bagi para ilmuwan, dan makrifat tentang
sifat-sifat keesaan dan ketunggalan Tuhan, yang ini bagi para wali dan kekasih
Allah.”
Menurut Dzun Nun al-Mishri, tujuan
kehidupan para sufi ialah mencapai tingkatan makrifat, dimana tampak hakikat
realitas yang dipahami seorang sufi secara ketersingkapan, yang padanya tidak
terdapat adanya dampak dari akal budi maupun pandangan lahir. Hal ini adalah
sesuatu yang dikhususkan bagi kekasih-kekasih Allah tertentu, yang melihat
dengan pandangan batin mereka.
F. Pandangan
Dzu An-Nun AI-Mishri Tentang Maqamat Dan Ahwal
Maqamat
menurutnya adalah kedudukan hamba dalam pandangan Allah, menurut apa yang
diusahakannya berupa ibadah, perjuangan, latihan dan perjalanan menuju Allah
Swt. Pandangan Al-Mishri tantang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja,
yaitu At-taubah, Ash-shabr, Al-tawakal, dan Ar-rida. Dalam Dairat Al-Ma’rifat
Al-Islamiyah terdapat keterangan yang berasal dan Al-Mishri bahwa simbol-simbol
zuhud adalah sedikit cita-cita, mencintai kefakiran, dan memiliki rasa cukup
yang disertai dengan kesabaran. Kendatipun demikian, dapat dikatakan bahwa
jumlah maqam yang disebut Al-Misri lebih sedikit dibandingkan dengan penulis
sesudahnya.
Untuk maqam pertama secara umum seseorang harus
menempuh jalan tobat dimana menurut Al-Mishri, ada dua macam tobat, yaitu tobat
awam dan tobat khawas. Orang awam bertobat karena kelalaian (dan mengingat
Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai
kebaikan oleh Al-abrar justru dianggap sebagai dosa oleh Al- muqarrabin.
Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat
adalah engkau melupakan dosamu. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan
hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang
tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Lebih lanjut
Al-Mishri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Orang yang bertobat dan dosa dan keburukannya.
2. Orang yang bertobat dan kelalaian dan kealfaan
mengingat Tuhan.
3. Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan
ketaatannya.
Pembagian tobat atas tiga tingkatan tidak dapat
dikatakan bertentangan dengan apa yang telah disebut di atas. Pada pembagian
Al-Mishri membagi lagi orang khawas menjadi dua bagian sehingga jenis tobat
dibedakan atas tiga macam.
Sedangankan untuk ahwal dapat di artikan sebagai
pemberian yang tercurah kepada seseorang dari tuhannya, baik buah dari amal
shaleh yang menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari Allah sebagai
pemberian semata, dinamakan ahwal karena melalui hal tersebut seorang hamba
mengalami perubahan dari penampilan lahiriyah seorang makhluk dan kedudukan
yang jauh menuju kualitas yang tidak tanpak atas kedudukan yang terdekat, ahwal
sebagai perkara yang didambakan dalam tasawuf sebab ahwal benih dari amal,
ahwal tidak datang melainkan melalui amal yang benar. Hanya orang yang berlaku
baik dan benar yang akan mendapatkan anugerah semacam itu.
G. Cinta dan ma'rifat
Suatu
ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui
Tuhan?". "Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun.
"kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku". Lebih
jauh tentang ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu akan Allah
adalah yang paling bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat
dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan
melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan
merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya".
Tentang cinta ia berkata : "Katakan pada
orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia
berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang
yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah".
"Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih
Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan
sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat
perkara: cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran
yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)".
H. Konsep
Ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri
Setelah
memaparkan sekelumit makna dari nama Dzun-Nun Al-Mishri, maka dibawah ini
penulis akan menyampaikan sedikit tentang konsep ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri.
Konsep ma’rifah Dzun-Nun tidak bisa lepas dengan makna yang ia dapati dari
namanya itu karena namanya itu menunjukkan sebuah kepemilikan dan penguasaan
terhadap makna dari huruf tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa huruf Nun
yang menjadi sentral kehidupan di dunia ini, maka untuk mencapai sentral
tersebut manusia juga harus memakai sentral dari diri manusia untuk bertemu
dengan sentral kehidupan ini.
Sentral
yang disebut diatas adalah Qalbu, dimana qalbu ini adalah sentral dari manusia
dan untuk bertemu dengan sentral yang hakiki maka manusia harus mengoptimalkan
sentralnya supaya sampai kepada sentral yang hakiki. Mengapa Qalbu atau hati
disebut sebagai sebuah sentral, karena pada qalbu ini berkumpul seluruh
kelakuan dan tindakan manusia. Maka menurut Dzun-Nun yang biasa dilakukan oleh
hati tersebut adalah : emosi, dekat, shahabat, cinta, mengenal, penyingkapan,
menyaksikan, al-ittihad, al-hulul, wahdatul wujud, dan wujudiyah.
Ada sebuah
perbedaan pengertian yang dimaksud oleh Dzun-Nun dengan penyingkapan, perbedaan
ini dibagi kepada tiga bagian, yaitu : al-Mukasyafah, inkisyaf, dan
al-kasy-syaf. Yang dimaksud dengan al-Mukasyafah adalah saling
keterbukaan dimana seorang hamba yang meminta dan Allah yang memberi; inkisyaf,
adalah penyingkapan atau keterbukaan Allah sebagai karunia kepada hambanya dan
seorang hamba hanya menerima saja, tidak dengan meminta.
Dimana pada
bagian ini keterbukaan hanya diartikan sebagai karunia Allah dan manusia tidak
meminta untuk keterbukaan tersebut; al-kasysyaf, pada hal ini tidak
menggambarkan proses tentang bagaimana keterbukaannya akan tetapi adanya sebuah
pengalaman keterbukaan.
Pada
penjelasan diatas disebutkan bahwasanya sentral kehidupan hanya bisa dirasakan
oleh sentral manusia, yaitu dimana hati manusia bisa merasakan keterbukaan
dengan Allah hanya dengan penglihatan hati yang menjadi sentral kehidupan
manusia. Menurut Dzun-Nun hati juga tidak serta merta bisa melihat Allah karena
hati yang paling dalamlah yang bisa sampai melihat kepada Allah SWT. Sebelum
kita langsung kepada hati yang dalam, maka akan disebutkan beberapa lapisan
hati yang harus dilalui seseorang sebelum bisa ma’rifah kepada Allah SWT.
Dan
lapisan-lapisan tersebut adalah : as-Suduur, al-Quluub, adh-Dhamaair,
al-Fuwaaid, as-sir, sir al-asraar, dan Basyirah. Yang dimaksud
dengan as-suduur hati yang paling luar, pada fase ini hati mengalami
penyempitan dan perluasan, dia tidak bisa konsisten dalam pendiriannya masih
tergoncang dan belum istiqamah. Setelah lulus atau berhasil dalam tahapan ini,
maka akan masuk lebih dalam lagi kepada tahapan yang kedua, yaitu al-Quluub.
Setelah masuk kepada tahapan ini, maka hati seseorang tersebut akan kokoh dan
lebih istiqamah dalam pendiriannya. Selain itu orang yang sudah sampai pada
tahap ini maka dia akan merasakan ketenangan dalam hatinya. Kemudian setelah
lapisan kedua ini berhasil dan tetap konsisten dengan keduanya, yaitu tahap
pertama dan kedua.
Maka
tahap selanjutnya adalah adh-Dhomaair, yaitu dimana bagian ini juga
disebut sebagai bagian terdalam pada tahapan qalbu. Dia menyimpan dan
menempatkan cahaya qalbu, kalau dia sudah sampai pada tahap ini, maka
dia akan memiliki kepekaan atau biasa disebut dengan indera keenam. Setelah
tahap ini maka selanjutnya adalah al-Fuwaaid, pada tahapan ini orang
sudah separuh perjalanan untuk menggapai puncak ma’rifah. Jika seseorang sudah
sampai tingkatan ini maka orang tersebut tidak akan bisa dibohongi atas apa
yang dia lihat atau rasakan. Kemudian tahap selanjutnya as-Sir dan Sir
al-Asraar, tahapan ini adalah tahapan yang hampir mendekati kesempurnaan
dan mencapai ma’rifah. Tahapan ini adalah proses untuk mempersiapkan diri
kepada tahapan akhir, Maka tahapan terakhir, yaitu ketika setiap tahapan tetap
terjaga dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, maka sampailah
pada tahapan Basyirah, yaitu tahapan akhir yang bisa menyampaikan
manusia untuk bisa melihat dan merasakan Allah SWT. Dan hal ini disebut dengan
ma’rifah.
Menurut
Dzun-Nun ma’rifah itu bisa diklasifikasikan kepada tiga bagian, yaitu : pertama,
ma’rifah tauhid sebagai ma’rifahnya orang awam. Kedua, al-burhan wa
al-istidlal yang merupakan ma’rifahnya Mutakallimin dan para Filosof, yaitu
pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal. dan ketiga,
ma’rifah para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan melalui
sifat dan ke-Esaan Tuhan. Dengan demikian, apabila dilihat dari sisi
epistimologi, ada tiga metoda ma’rifah yang berbeda, yakni metoda transmisi,
metoda akal budi, dan metoda ketersingkapan langsung. Ma’rifah awam lebih
bersifat penerimaan dan kepatuhan semata tanpa dibarengi argumentasi, sedangkan
ma’rifah Mutakallimin dan filosof adalah pemahaman yang sifatnya rasional
melalui berfikir spekulatif. Lain halnya dengan ma’rifah para sufi atau aulia,
adalah penangkapan dan penghayatan langsung terhadap obyek sehingga ia
merasakan dan melihat obyek itu. Dan disini Dzun-Nun menegaskan bahwasanya
ma’rifah itu sepenuhnya adalah karunia dan pemberian Allah SWT.
Jadi
kesimpulan menurut Dzun-Nun bahwasanya kalau kita ingin sampai pada tingkat
ma’rifah, maka kita harus melaluinya setahap demi setahap dan dilakukan dengan
kesungguhan dan keseriusan. Dan dia juga mengatakan bahwasanya adanya perbedaan
ma’rifah kepada Allah yang disebabkan oleh kemampuan dan kesadaran dia sebagai
makhluk. Ma’rifah juga sepenuhnya diberikan oleh Allah SWT atas karunianya dan
kasih sayangnya. Maka seorang hamba tidak akan sampai pada tingkat ma’rifah
tanpa usaha dan anugrah serta karunia Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah
uraian-uraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu
tentang keesaan Tuhan,
2. Ma’rifat
yang sebcnarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
Al-Misri
membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
2. Pengetahuan khusus untuk para filosofdan ularna,
Abdul Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika
Al-Misri sebagal berikut:
a. Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh
itu, Al-Misri menjawab, ‘Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak
ada usaha untuk mengenal-Nya.”
b. Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam,
yaitu Thariq Al-inabah. adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas
dan benar, dan thariq ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa
pada seseorang karena merupakan urusan Allah semata.
c. Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu
ada dua macam, yaitu Darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju
jalàn iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas
kekuatan ma’rifat.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd Nashr
AI-Sarraj Ai-Thusj, Al-Lzuna Dar Al-Kutub Ai-Haditsah.( Mesir, 1960 )
Abdul Qadir
Mahmud, Falsujulu .4 s/i /1 t/-I.v/wn. Dar ,(Al -Fikr Al-Arab. Kairo :
1966)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta, PT Raja Grapindo Persada : 2010)
Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang, Jakarta :1973)
Muhammad
Syafiq Ghirb, Al-Mausu’ah Al-‘Arabiyyah, Al-Muyassarah, (Mesir: Dar
Al-Qalam, tth)
Reynold A.
Nicholson, The Mystics ofislan (Routledge and Kegan Paul. London:1975)
The
Encyclopedia of islam, (E.J. Brill, Lieden : 1933)
Walijot.Com, http:/www.bloger.com/post-edit.9?
(Diakses pada tanggal 10 November 2010
0 Comments