1. Kedudukan Presiden
Undang Undang dasar (UUD 1945), kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan
dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden
menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan
adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil
Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan
dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing
berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
2. Pembentukan MPRS
Dan Presiden membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan
tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui
pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki
anggota-anggota yang duduk di MPR.
Anggota
MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat :
Setuju
kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan Setuju
pada manifesto Politik.
Keanggotaan
MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200 orang
wakil golongan.
Tugas MPRS terbatas pada menetapkan
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
3. Pembubaran DPR dan Pembentukan
DPR-GR
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak
RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan
pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR). Dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden.
Peraturan DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR harus mengikuti
kehendak serta kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat
membubarkan DPR.
Tugas
DPR GR adalah
sebagai berikut.
- Melaksanakan manifesto politik
- Mewujudkan amanat penderitaan rakyat
- Melaksanakan Demokrasi Terpimpin
4. Pembentukan Dewan Pertimbangan
Agung Sementara
Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden
No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS
terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang
utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi
jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah.
Pelaksanaannya
kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab presiden adalah
ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat
agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul ”Penemuan
Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1
tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian
Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK.
5. Pembentukan Front Nasional
Kemudian Front
Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front
Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita
proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya
adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk
menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri.
Tugas front nasional adalah sebagai berikut.
- Menyelesaikan Revolusi Nasional
- Melaksanakan Pembangunan
- Mengembalikan Irian Barat
6. Pembentukan Kabinet Kerja
Sedangkan Tanggal
9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden
diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali
perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut.
- Mencukupi kebutuhan sandang pangan
- Menciptakan keamanan Negara
- Mengembalikan Irian Barat.
7. Keterlibatan PKI dalam Ajaran
Nasakom
Sedangkan Perbedaan Ideologi dari partai-partai yang berkembang masa demokrasi parlementer
menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berdampak pada terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi
terpimpin pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis,
Agama, dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa.
Bagi
presiden NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat.
Presiden yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka persatuan
Indonesia akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada masyarakat. Dikeluarkan
ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat kedudukan Presiden sebab
jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden.
Kelompok
yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI. Upaya
penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa
PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut
menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan
bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis.
Selain itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah.
PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi
lemah terhadap TNI.
8. Adanya ajaran RESOPIM
Tujuan
adanya ajaran RESOPIM (Revolusi,
Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional) adalah untuk memperkuat kedudukan
Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan pada peringatan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.
Inti
dari ajaran ini
adalah bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai
melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan
nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Sukarno.
Dampak
dari sosialisasi Resopim ini maka
kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara ditetapkan dibawah
presiden. Hal ini terlihat dengan adanya pemberian pangkat menteri kepada
pimpinan lembaga tersebut, padahal kedudukan menteri seharusnya sebagai
pembantu presiden.
9. Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia
TNI
dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI
Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh
Menteri Panglima Angkatanyang kedudukannya langsung berada di bawah presiden.
ABRI menjadi salah satu golongan fungsional dan kekuatan sosial politik
Indonesia.
10. Pentaan Kehidupan Partai Politik
Pada
masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara
leluasa. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi
oleh penetapan presiden No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat,
misalnya jumlah anggota yang terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28
partai yang ada hanya tinggal 11 partai. Tindakan pemerintah ini dikenal dengan
penyederhanaan kepartaian.
Pembatasan
gerak-gerik partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden.
Kedudukan presiden yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk
membubarkan 2 partai politik yang pernah berjaya masa demokrasi Parlementer
yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan pembubaran partai
tersebuat adalah karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat
dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan
pada tanggal 17 Agustus 1960.
11. Arah Politik Luar Negeri
A.
Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi
penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung
condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik
konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara
Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh
pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old
Established Forces)
Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang
muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan
negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme.
Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah
mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis
(Nekolim). Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom
Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum
internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis.
B.
Politik Konfrontasi
Malaysia
Indonesia
juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena
pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang
dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan
negara-negara blok Nefo.
Dalam
rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora)
pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.
- Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
- Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
- Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
C.
Politik Mercusuar
Politik
Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia
merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler
yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di
kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar
mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the
New Emerging Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga
Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi asing.
Pada
tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia
diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
D.
Politik Gerakan Non-Blok
Gerakan
Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang
kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur.
Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan
bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan Perang Dingin. Keterlibatan
Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia
sudah cukup maju.
GNB
merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi
RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala
nasional dan internasional.
Besarnya
kekuasaan Presiden dalam Pelaksanaan demokrasi terpimpin tampak dengan:
a. Pengangkatan Ketua MPRS dirangkap
oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih
dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing
berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
b. Pidato presiden yang berjudul
”Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada tanggal 17 Agustus 1959 yang dikenal dengan
Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN
atas usul DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959.
c. Inti Manipol adalah USDEK
(Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL
USDEK.
d. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi yang berarti sebagai presiden seumur hidup.
e. Pidato presiden yang berjudul
”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedoman revolusi dan politik luar
negeri.
f. Presiden berusaha menciptakan
kondisi persaingan di antara angkatan, persaingan di antara TNI dengan Parpol.
g. Presiden mengambil alih pemimpin
tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk Komandan Operasi Tertinggi (KOTI).
C.
SISTEM EKONOMI DEMOKRASI TERPIMPIN
Seiring
dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun mengikuti
ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi
terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat
pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang
ditempuh pemerintah untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut.
1. Pembentukan Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas)
Untuk
melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah Dewan
Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh.
Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.
Tugas
Depernas :
Mempersiapkan
rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana
Menilai
Penyelenggaraan Pembangunan
Hasil
yang dicapai,
dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang
Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui
oleh MPRS.
Mengenai
masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar
dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai
harapan.
1963
Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan
Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
Tugas
Bappenas adalah
Menyusun
rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun daerah.
Mengawasi
dan menilai pelaksanaan pembangunan.
Menyiapkan
serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS.
2. Penurunan Nilai Uang (Devaluasi)
Tujuan
dilakukan Devaluasi :
Guna
membendung inflasi yang tetap tinggi
Untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat
Meningkatkan
nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
Maka
pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai penuruan
nilai uang (devaluasi), yaitu sebagai berikut.
a. Uang
kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50
b.
Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
c.
Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi
usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang
semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di
seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.
Pada
masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah
tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki
uang. Hal ini disebabkan karena :
Penghasilan
negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat pergolakan daerah yang
menyebabkan ekspor menurun.
Pengambilalihan
perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh tenaga kerja
manajemen yang cakap dan berpengalaman.
Pengeluaran
biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang mengeluarkan
kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.
3. Kenaikan laju inflasi
Latar
Belakang meningkatnya laju inflasi :
Penghasilan
negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan.
Nilai
mata uang rupiah mengalami kemerosotan.
Anggaran
belanja mengalami defisit yang semakin besar.
Pinjaman
luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada.
Upaya
likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil.
Penertiban
administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak
memberikan banyak pengaruh.
Penyaluran
kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat
dan pembangunan mengalami kegagalan.
Kegagalan-kegagalan
tersebut disebabkan karena:
Pemerintah
tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran.
Pemerintah
menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the New
Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging
Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada
setiap tahunnya.
Dampaknya
:
Inflasi
semakin bertambah tinggi
Harga-harga
semakin bertambah tinggi
Kehidupan
masyarakat semakin terjerpit
Indonesia
pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan neraca
pembayaran dari cadangan emas dan devisa.
Ekspor
semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.
1965,
cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar
US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara
barat.
Kebijakan
pemerintah :
Keadaan
defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan
uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi.
13
Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan uang
senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1.
Dampaknya
dari kebijakan pemerintah tersebut :
Uang
rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan
tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat
lebih tinggi dari uang rupiah baru.
Tindakan
moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya
angka inflasi.
REFERENSI
https://danzgeografi.wordpress.com/2011/10/21/penyimpangan-penyimpangan-pelaksanaan-uud-1945-pada-masa-demokrasi-terpimpin/
http://republicsociety8h.blogspot.co.id/2011/02/penyimpangan-terhadap-uud-tahun-1945.html
0 Comments